Plak! Telapak tangan Novina mendarat di pipi sang putra dengan sangat keras. “Lancang kamu! Gara-gara wanita itu, kamu berani sama Mama, hah!” Altha menunduk. Tubuhnya merosot, duduk bersimpuh di bawah kaki sang mama. “Ma, mohon maaf. Maaf banget. Aku tadi bicara perbandingan. Mama sangat mencintai papa. Begitu juga sebaliknya. Kalau kalian dipaksa bercerai, nggak akan mau, kan? Aku sama Mazida juga begitu. Terlalu sulit bagi kami untuk berpisah. Hubungan kami sangat baik, jadi nggak ada alasan untuk bercerai.” Novina terus menggeleng, menangis. Ia menepis tangan Altha yang hendak menggenggam telapak tangannya. “Aku mohon, Ma. Sekali ini saja biarkan aku memilih pasangan sendiri. Selama ini, aku selalu menuruti dan patuh pada Mama, sama papa. Untuk kali ini tolong hargai pilihanku. I

