Malam itu meja makan terasa lebih hangat dari biasanya. Zio dan Gia sudah duduk rapi, sup hangat dan nasi sudah terhidang. Mereka baru saja akan mulai makan ketika suara langkah perlahan terdengar dari arah lorong. Farid muncul, mengenakan kaos rumah dan membawa aroma teh hangat yang baru ia seduh. “Maaf terlambat,” ujarnya pelan sambil tersenyum lembut. “Boleh Ayah gabung?” Gia tersenyum. “Tentu, Yah. Duduk.” Farid menarik kursi dan bergabung di meja makan bersama menantu dan anaknya. Ia makan perlahan, menikmati setiap suapan. Tidak ada percakapan malam itu—hanya suara sendok bertemu mangkok, aroma sup mengepul, dan ketenangan yang jarang mereka rasakan bersama. Zio sesekali melirik Gia, memastikan ia makan cukup. Sementara Gia tampak tenang, meski matanya menyimpan kelelahan khas i

