“Terus mau gimana sekarang? Bisa-bisanya kehilangan kehormatan dengan begitu gampang, Kanika?”
Sejenak meninggalkan tentang Fabian yang uring-uringan dan memaksa Mohan untuk mencari gadis yang telah dia renggut kehormatannya itu, di sisi lain sang pemilik kehormatan itu tengah mengurung diri di dalam kamar mandi.
Ukurannya tak begitu besar, tapi juga tidak begitu kecil, cukup untuknya meratapi nasib dan kebodohan di bawah guyuran air.
Sudah lebih dari dua jam sejak dirinya melarikan diri, Kanika Zahira pulang dengan membawa luka ternganga yang dia sayat sendiri.
Bukan tanpa alasan kenapa dia begitu lama meratap di dalam kamar mandi, tapi yang membuatnya serasa akan gila memang cukup banyak.
Bagaimana tidak? Tepat satu bulan lagi, dia akan menikah resmi menjadi istri dari Zidan Adyanata, putra konglomerat yang meminangnya tiga bulan lalu.
Mereka sudah menjalani hubungan sejak satu tahun terakhir, hanya saja memang tidak begitu dipublish. Sekalipun Kanika adalah seorang influencer, dia memilih untuk merahasiakan hubungan tersebut.
Bukan karena followers-nya yang masih sedikit dan statusnya masih influencer kurang terkenal, tapi hal itu memang kesepakatan dari mereka berdua dan permintaan Zidan juga.
Bahkan tentang pertunangan mereka, tidak banyak yang tahu. Hanya beberapa pihak saja, terutama keluarga dan juga teman dekat Kanika maupun Zidan.
Meski begitu, Kanika termasuk wanita yang bahagia. Dia sangat beruntung dipertemukan dengan Zidan yang ternyata bersedia meminang sebagai istri.
Kanika juga termasuk wanita yang bahagia dan dia cukup dirayakan oleh Zidan, calon suaminya.
Tak jarang Kanika mendapat hadiah mahal, makan di restoran mewah dan merasakan hal-hal yang biasa dilakukan oleh orang kaya.
Semua berkat Zidan, jika hanya mengandalkan penghasilannya jelas tidak mampu untuk mengikuti gaya hidup di kota besar.
Tarif endorse Kanika masih cukup rendah mengingat followers-nya juga tidak seberapa dibanding influencer lain.
Dan, kini kehidupannya besar kemungkinan akan berubah total pasca malam panas yang tak sengaja dia lewati.
Kanika benar-benar tidak mengerti bagaimana bisa dirinya berakhir di atas ranjang bersama pria asing yang jujur saja tidak dia kenali.
Hanya saja, sekilas Kanika tetap ingat apa yang mereka lalui semalam dan memang benar adanya bahwa dia telah memberikan mahkotanya.
Mahkota yang harusnya dia jaga dan berikan untuk Zidan setelah mereka resmi menikah.
"Aarrrrggh bodoh!! Apa yang kamu pikirkan sampai bisa terjadi hal semacam ini? Hah?!!“ Kanika terus mengutuk dirinya sendiri, dia marah, dia murka bahkan tak segan menyakiti diri sendiri.
Matanya sudah bengkak karena menangis, terbayang berapa banyak orang yang dia kecewakan karena kejadian ini.
Bukan hanya calon suami dan keluarga mereka, tapi kedua orangtua Kanika juga jelas kecewa luar biasa.
Dalam situasi ini, Kanika merenung dan berandai tentang hari kemarin. "Andai aku ikuti kata Zidan, pasti hal semacam ini tidak akan terjadi 'kan?"
Kanika tertawa miris, kembali dia mengingat ucapan Zidan sewaktu dirinya mengantar pria itu hingga Bandara beberapa hari lalu.
Saat ini, mereka memang terpisah jarak yang cukup jauh. Mengingat Zidan bukan orang biasa, perjalanan bisnisnya tidak semata-mata di dalam kota hingga mereka tidak bisa bertemu setiap waktu tentu saja.
Kanika terus bertahan di posisinya, sampai dia tidak sadar sewaktu jemari mulai keriput dan bibirnya sudah membiru lantaran dingin yang dia rasakan di sekujur tubuh.
Merasa yang dia lakukan hanya sia-sia dan menyiksa diri sendiri, Kanika bangkit berdiri dan perlahan melangkah ke luar.
Kamar tidur berukuran empat kali empat itu tampak bersih, juga terlihat begitu menenangkan.
Berbanding terbalik dengan jiwa Kanika yang merasa dirinya telah begitu kotor. Terlebih lagi, tatkala desahan dan rintihan tertahan itu justru terbayang di otaknya, sungguh Kanika jijik sekaligus murka.
Tak segera mengenakan pakaiannya, wanita itu terus memandangi diri di cermin. Menatap kasihan padanya karena akan menghancurkan masa depan yang diimpikan banyak orang, juga dirinya sejak lama.
“Ke mana otakmu, Kanika? Bisa-bisanya mau mengikuti apa kata mereka,“ gumam Kanika menatap kosong pantulan wajah sendunya di cermin.
Sedikitpun dia tidak menyangka bahwa pesta ulang tahun bersama teman-teman influencer-nya yang lain akan berakhir demikian.
Dia yang memang belum pernah mabuk coba-coba merasakan nikmatnya demi membuktikan perkataan temannya.
Baru minum sedikit, nyatanya Kanika sudah mulai sempoyongan dan salah-satu temannya mengarahkan Kanika untuk segera beristirahat.
Mana dia tahu bahwa semalam akan salah masuk kamar, dia sudah cukup yakin bahwa kamar yang dia tuju adalah kamar yang dikatakan Talia, sahabatnya.
Drrt ... Drrt ... Drrt
Perhatian Kanika beralih sejenak, ponselnya bergetar dan dengan perlahan dia meraih benda pipih itu.
"Talia ....“ Dia bergumam, menatap lesu nama yang terpampang di layar ponselnya.
Sahabatnya itu menghubungi, jika dilihat dari riwayatnya sudah berulang kali dan Kanika menerka buka pertama kali.
“Hallo, Lia?”
“Kamu ke mana sih? Dicariin dari pagi, pulang ya?”
Suara Talia terdengar mendesak, tampak sahabatnya itu butuh jawaban atas kekhawatiran yang menyergap dirinya.
Dengan tenang, Kanika yang belum siap bercerita tentang kejadian memalukan semalam memilih berbohong demi cari aman.
“Iya, aku pulang ... karena kecapekan, aku tidur dan baru bangun sekarang,” jelas Kanika seadanya, suara wanita itu terdengar lesu sebenarnya.
Dari seberang sana, terdengar helaan napas pelan seolah memaklumi hal ini dan dianggap sudah biasa.
"Sudah kuduga, kamu tu kebiasaan ya ... main pulang mentang apartemen-nya nyaman, ini tas sama handphone utama kamu masih di aku, mau aku anterin ke sana sekarang atau ntar malem sekalian?” Talia memberikan penawaran, dan Kanika yang belum bersedia bertemu siapapun segera menolak mentah-mentah.
"Tidak perlu, Talia, terlalu jauh juga, amanin saja dulu, nanti aku ke rumah kamu di lain waktu.“ Begitu jelas Talia sebelum mengakhiri panggilan bersama Kanika.
Tinggal dirinya kini sendirian, Kanika yang kebingungan harus berbuat apa hanya bisa menangis dan berpikir keras tentang jalan keluarnya. “Ya, Tuhan ... apa yang harus kukatakan pada Zidan? Apa mungkin dia akan membuangku andai tahu apa yang telah kulakukan?”
.
.
- To Be Continued -