Alyan datang membawakan aku segelas air putih. Aku mulai bisa tenang berkat dirinya yang mendekap diriku tadi dengan perasaan sangat tulusnya. Trauma masih tampak nyata membayangi diriku. Aku sampai gemetar begitu hebatnya hanya melihat bekas luka di perut Alyan, bukan masalah bentuk bekas lukanya yang sebenarnya tidak menyeramkan, tetapi lebih pada aku terbayang kejadian pisau menancap diperut Alyan. “Minumlah.” Ujarnya sembari mengulurkan gelas padaku yang sedang duduk di sofa yang terletak di Rooftop gedung latihan. Tempat yang sama ketika aku bicara kedua kali dengan Alyan, berakhir aku nekat menciumnya. Aku meraih gelas tersebut, menggenggam kemudian mulai meminumnya. Alyan masih berdiri di depanku, sudah mengganti pakaian. Menyadari tatapan Alyan yang intens, dadaku berdebar ku