Ryan menyetir sendiri ke Bandung. Sorot matanya gelap dan tajam, rahangnya mengetat menahan amarah yang memuncak, cengkramannya begitu kuat pada kemudi mobilnya. Ia harus tiba di lokasi tempat istrinya berada secepat mungkin. “Argh… sial!” umpat Ryan geram ketika ia harus berhadapan dengan macet. Ia menggigit kuku jempolnya gelisah. Waktunya sudah banyak terbuang sejak ia memutuskan untuk menyusul Nina saat ini juga. Ia harus ‘mengusir’ bu Yati dan Rani lebih dulu. Harus mengantar Riry ke rumah orang tuanya dulu, belum lagi rentetan pertanyaan dari mama dan papanya yang heran melihat ekspresi putra sulung mereka. Ryan tak bisa menceritakan soal isi amplop cokelat itu. Tidak saat ini, ia masih harus memastikan kebenarannya. Ryan mendesah kasar, mobilnya hanya bisa maju semeter demi seme