bc

neighLOVEbour

book_age16+
1.1K
FOLLOW
4.9K
READ
dark
drama
tragedy
comedy
twisted
sweet
humorous
kicking
mystery
scary
like
intro-logo
Blurb

Muda, tampan, kaya, perfeksionis, namun dingin. Itulah gambaran yang paling tepat untuk Dylan Pradipta Lafewa. Namun, kadang kala ia juga cerewet seperti ibu-ibu hamil, sehingga sering membuat orang di sekitarnya merasa jengkel. Ia juga tidak tahu berterima kasih pada orang yang sudah menolongnya.

- Habis manis sepah di buang -

Wajah pas-pasan, muda, polos, lugu, ngangenin, sembarau, pintar menebak. Itulah gambaran yang paling tepat untuk gadis yang bernama Virly Dwi Sari Iskandar. Sifatnya yang terlalu polos, membuat ia sering di manfaatkan banyak orang. Sehingga, tidak jarang jika ia sering menelan kekecewaan dari orang di sekitarnya

- Bocah tengik, tidak tau sopan santun -

chap-preview
Free preview
Part 1
“Oke, mulai dari sekarang aku nggak mau lagi berteman dengan kalian! Aku nyesel pernah temenan sama kalian!” Sergah Virly emosi, salah satu diantara keempat kawanan tersebut yang sedang bercekcok mulut di belakang kampus.     “Huh, asal kamu tahu ya, kami juga udah bosan berteman sama kamu. Sifatmu yang nggak jelas, sembarau, aneh, sering marah. Kayak sekarang nih, sifat aslimu nyeremin banget.” Jawab Lala, juga dilanda emosi.     “Yah, aku yang terlalu bodoh mau berteman dengan kalian. Asal kalian tahu juga ya, kalian itu nggak ada harganya bagiku! Kalian sok pintar dan sok dibutuhin!!” Tambah Virly tidak mau mengalah     “Jadi kenapa kamu masih di sini?! Pergi!! Jangan pernah muncul di depan aku lagi!!” Tambah Indah, ia mensedekapkan tangannya di dada dan menatap Virly tajam.     Virly memutar bola mata. “Tanpa kalian suruh juga, aku pasti pergi. Aku nggak mau berlama-lama berhadapan dengan kalian, huh!” Jawab Virly sarkastik     “Dasar anak sialan…!!” Ucap Dhea dengan nada tinggi. Virly meninggalkan ketiga temannya, beberapa cacian  masih keluar dari mulut mereka mengenai dirinya.     Dhea, Lala, dan Indah adalah sahabat Virly. Mereka bersahabat sejak pertama masuk kuliah. Sudah dua tahun mereka lalui bersama dalam suka dan duka, tetapi hari ini persahabatan mereka hancur begitu saja karena kesalahpahaman dan keegoisan.     “Dasar sialan!! Gara-gara mereka aku ngabisin masa mudaku dengan hal-hal yang menyedihkan! Aku bodoh banget mau temenan sama mereka.” Gerutu Virly. Ia menghempaskan tubuhnya di salah satu bangku kelas kampusnya. Kelas akan di mulai, mahasiswa lain sudah banyak yang berdatangan sehingga dalam beberapa menit saja suasana kelas berubah bagaikan pasar.     “Virly, kenapa kamu duduk di belakang?” Tanya Raisa, teman sekelas Virly     “Nggak apa-apa, pengen aja duduk di sini.” Jawab Virly senyum kecut, melirik kesal pada ketiga mantan sahabatnya yang duduk paling depan.     “Iya, kamu tumben banget duduk jauh dari gengmu. Ada masalah?” Tanya yang lain. Virly diam saja, malas menanggapi kejanggalan yang dirasakan teman sekelasnya. Bagaimana tidak janggal, semenjak mereka kuliah, belum pernah sekalipun Virly dan ketiganya duduk berjauhan, setiap hari mereka duduk selalu satu barisan.     Hingga kelas usai, Virly masih murung dan kesal, perasaannya bercampur aduk, pikirannya melayang-layang. Menyesal pernah berteman akrab dengan mereka.  Sekarang dia sedang berjalan menuju pintu keluar, meninggalkan kampus tempatnya belajar selama dua tahun ini. Setelah agak jauh berjalan, dia menyetop sebuah taksi, mereka melaju dengan kecepatan rata-rata. Virly masih menghayal, teringat akan masa-masa yang sudah di laluinya bersama ke tiga sahabatnya.     “Happy birthday, Virly…” Sebuah kejutan dari ketiga sahabatnya di ulang tahunnya yang ke-20, beberapa bulan yang lalu. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa haru dari ke tiganya.     “Semoga panjang umur, ya…” Ucap Lala, memeluk Virly     “Sukses juga, ya.” Tambah Indah, memeluk Virly menggantikan pelukan Lala     “Yang terpenting itu, semoga tahun ini dapat pacar, biar nggak jones mulu” Canda Dhea, mengikuti kedua sahabatnya memeluk Virly.     “Aamiin…. Thankz ya. Kalian baik banget.” Balas Virly sambil memeluk ketiga sahabatnya sekaligus.     “Iya, sama-sama. Ini, tiup dulu lilinnya.” Kata Dhea, menyodorkan sebuah chake mini dengan satu lilin di atasnya.     “Eits, sebelum itu, kamu make a wish dulu.” Sergah Lala, hampir saja Virly mengembuskan nafas pada lilin.     “Oh, iya” Ucap Virly senyum. Memejamkan mata dan berdoa untuk ulang tahunnya kali ini.     Memory selama dua tahun terakhir ini mengitari pikiran gadis itu, ia masih ingat dengan jelas bagaimana mereka memulai persahabatan, bagaimana mereka pertama kali bertemu pada saat MOS. Semua masih tersimpan rapi di benak Virly.    ***       Dylan sedang termenung sembari menyetir. Pandangannya lurus ke depan namun kosong. Dia tampak frustasi dan patah semangat. Ingatannya kembali berputar saat-saat kehancuran melandanya.     “Mona, maukah kamu menikah denganku?” Tanya Dylan harap, dia mendongak dan menyodorkan sebuah kotak cincin pada Mona, kekasihnya.     “Menikah? Dylan?!” Ucap Mona, Wanita yang hendak dilamarnya, sedikit terkejut.     “Kamu kenapa, Mon? Ada yang salah?” Tanya Dylan bingung.     Mona menggeleng. “Dylan, kenapa harus sekarang? Kita baru saja mendapat pekerjaan, kita belum menikmati hasilnya.” Ucapnya parau.     “Iya, aku tau. Tapi aku ingin menikah denganmu. Aku ingin membahagiakan kamu dan keluargamu.” Pinta Dylan pelan. Entah sejak kapan dia berdiri dan menatap tajam sekaligus was-was pada gadis di depannya.     “Dylan, aku juga ingin menikah denganmu, tapi bukan sekarang. Kamu jangan terlalu buru-buru memutuskan suatu masalah.” Tolak Mona halus sembari meremas kedua tangannya.     “Kenapa kamu tidak mau sekarang, Mona? Apa bedanya nanti dan sekarang?” Tanya Dylan datar,. Hatinya benar-benar hancur mendengar penolakan dari Monalisa Puspa Nengsi, kekasihnya selama lima tahun terakhir ini. Mereka menjalin hubungan semenjak masuk kuliah di salah satu universitas negeri Jakarta.     “Tanpa aku jelaskan, kamu sudah mengerti Dylan. Aku tinggal dengan ibu dan kedua adikku. Ayahku sudah meninggak. Aku sebagai anak tertua bertanggung jawab atas keluargaku. Sampai saat ini, aku belum bisa membahagiakan ibu dan adik-adikku. Kalau kita menikah sekarang, bagaimana dengan mereka? Siapa yang akan mengurus mereka?” Tutur Mona lirih.     Dylan menghela nafas frustasi. “Mona, seperti itukah pemikiranmu selama ini? Apa kamu berpikir kalau kita menikah, aku tidak akan membiayai keluargamu dan kamu tidak bisa mengurus keluargamu lagi?” Tanya Dylan serius.     “Bukan! Bukan seperti itu, Dylan” Sangkal Mona parau sembari menggeleng.     “Jadi...?”     Mona menarik nafas panjang, “Aku sudah berjanji pada diriku sendiri dan pada Almarhum ayahku. Aku akan menikah ketika aku sudah bisa membahagiakan ibuku, membelinya sebuah rumah dan menyekolahkan adik-adikku hingga perguruan tinggi.” Jelas Mona panjang lebar.     “Apa bedanya, Mona?” Kata Dylan kesal. “Aku akan bertanggung jawab atas keluargamu. Kita bisa membahagiakan ibumu bersama-sama, dan adik-adikmu, aku yang akan menanggung semua kebutuhan mereka hingga ke perguruan tinggi.” Jelasnya bersikeras     Namun Mona tetap menggeleng. “Maafkan aku Dylan. Aku belum siap menikah denganmu. Umur kita masih muda, emosi kita masih mudah diguncang, kita belum terlalu dewasa. Setidaknya kamu tunggu empat tahun lagi.” Putusnya telak. “Tapi..., kalau kamu tidak bisa menunggu, kamu bisa mencari perempuan lain. Maafkan aku, aku tidak bisa, permisi.” Mona menghapus air matanya, kemudian bergegas meninggalkan Dylan yang masih mematung, air matanya juga telah membasahi pipi.     Dylan kembali ke dunia nyata, menarik nafas panjang sambil memarkirkan mobilnya di tepi pantai. Memandang hamparan laut, namun sama sekali tidak menarik perhatiannya. Dylan kembali pada masa lalu.     “Dylan, aku di terima kerja!” Kata Mona begitu keluar dari ruangan interview, Dylan menunggunya di luar sambil memanjatkan doa.     “Selamat ya, Mona. Aku seneng banget, akhirnya kita bisa bekerja di perusahaan yang sama.” Jawab Dylan memeluk Mona sembari tersenyum lebar.     “Iya, aku juga seneng banget.” Mona membalas senyuman kekasihnya dengan mata yang berbinar     “Kita harus rayain ini, yuk, kita makan-makan di rumah kamu.” Usul Dylan.     Mona mengangguk tanpa menghilangkan senyumnya. “Iya, aku setuju. Ibu pasti seneng banget mendengar berita ini.” Katanya dengan mata mulai berkaca-kaca bahagia.     Keduanya bergandengan tangan menuju parkiran. Dylan membukakan pintu untuk kekasihnya. Lalu memutari bagian depan mobil dan masuk dari pintu lain. Lelaki itu melaju dengan kecepatan rata-rata, mereka memperbincangkan banyak hal dengan diterimanya Mona bekerja di perusahaan yang sama dengan Dylan.  Beberapa rencana telah tersusun rapi. Keduanya memiliki semakin banyak waktu bersama. Mona mengangguk senang, Dylan pun semakin bahagia dengan hubungan mereka.  Satu setengah jam kemudian, Mona dan Dylan sampai di sebuah pekarangan rumah yang begitu sederhana dan rindang. Belum terjamah oleh polusi udara seperti  rumah-rumah lain yang baru di lewati oleh mereka beberapa saat tadi.     Hampir di sekeliling rumah itu di tumbuhi beberapa jenis pohon dan tanaman keluarga, membuat udara di sini begitu sejuk dan enak di pandang mata. Salah satu alasan Dylan sering berkunjung ke rumah ini. Selain menemui wanita yang dicintainya, ia juga menemui berbagai tanaman yang dapat menyegarkan mata.     “Ibu, Mona seneng banget.” Kata Mona berlari  dan menghambur ke pelukan ibunya yang tengah menyapu halaman.     “Seneng kenapa, nak? Tidak seperti biasanya kamu begini.” Kata Ibu Mona, mengelus puncak kepala putrinya sembari tersenyum.     “Iya, bu. Soalnya Mona diterima kerja di perusahaan yang sama dengan Dylan. Terus, itu perusahaan gede banget, bu, Mona seneng banget.” Jelas Mona tanpa bisa membendung kebahagiaannya.     Ibu Mona memeluk putrinya. “Selamat ya, nak. Ibu ikut senang.” Wanita itu menitikkan air mata kebahagiaan. Terbayar sudah usaha Mona beberapa bulan ini berusaha keras mencari pekerjaan.      “Iya, bu. Makasih ya, bu” Mona memeluk ibunya lagi. Dylan yang sedari tadi memperhatikan mereka ikut bahagia, Senyumnya tersungging menyaksikan kedua wanita yang tengah dekat dengannya beberapa tahun ini.     “Eh, nak, Dylan, ayo silahkan masuk.” Ibu mempersilahkan Dylan masuk ke dalam rumahnya. ”Mona, kamu ajak masuk nak Dylan-nya, dong. Jangan di biarin di luar aja.” Suruhnya pada Mona.     “Iyaa, bu.” Balas Dylan senyum, kemudian masuk ke rumah, mengikuti Mona dari belakang.     “Sialan….! Brengsek!!” Dylan berlonjak kaget. Menoleh ke belakang dan melebarkan mata. Dia syok. Menemukan seseorang berada di jok belakang mobilnya sedang emosi menggebu.      “Siapa kamu..? Ngapain kamu di sini..?” Tanya Dylan menggeram. *** Jakarta, 11 Juni 2020

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Me and My Broken Heart

read
34.5K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
53.2K
bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
50.0K
bc

Dependencia

read
186.4K
bc

The Ensnared by Love

read
103.8K
bc

Hubungan Terlarang

read
501.1K
bc

Wedding Organizer

read
46.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook