Part 2

1509 Words
“Siapa kamu..? Ngapain kamu di sini..?” Tanya Dylan menggeram.     Virly memandangnya kesal. “Apaan sih? Aku penumpang! Masih supir taksi aja belagu, sok mau mati gitu lagi.” Gerutu Virly kesal. Amarahnya belum teredam, Virly semakin emos sehingga tanpa sadar menendang jok mobil yang ditumpanginya.     Dylan melebarkan mata. Semakin syok pada gadis bar-bar yang berada di mobilnya. “Apa?? Sopir taksi?? Kamu bodoh atau begok sih? Kamu nggak bisa bedain mobil pribadi sama taksi, ya?” Ejeknya.     “Apa...? Begok...? Bodoh…?” Gantian, Virly tidak terima dengan ucapan Dylan.     Lelaki itu mengangguk membenarkan. “Iya, coba kamu periksa. Taksi atau nggak??” Tanya Dylan. Gadis itu memperhatikan ruangan mobil, dan ternyata berbeda dengan taksi yang biasa dia naiki.     “Oh.” Virly manggut-manggut menyadari kesalahannya, lalu melirik Dylan “Iya, beda sama taksi biasa.” Gumannya. Dylan mencibir mendengar pengakuan gadis di belakangnya. “Taksi online, ya?”  Dylan kembali kesal.     “Dasar aneh!” Umpat Dylan pelan     “Apa?? Aneh? Dasar laki-laki begok.” Balas Virly kesal. Gadis itu mengedarkan pandangannya melalui jendela mobil. “Dimana kita sekarang?” Tanyanya     “Di pantai.” Jawab Dylan singkat.     Virly melebarkan mata tidak percaya. “Apa? Pantai? Oh, Tuhan, rumahku jauh dari pantai. Gimana ini?!” Ucap Virly mulai heboh.     “Dasar aneh!” Dylan kembali mencibir. “Tadi kamu masuk dari mana?” Tanya Dylan.     “Di jalan Diponegoro, lampu lalu lintas pertama.” Jawab Virly     “Astaga, pantesan aku nggak tau kamu masuk. Kamu pasti masuk saat lampu merah tadi, ya?” Dylan menepuk pelan keningnya, menyadari kelalaiannya. Virly sama sekali tidak mendengarkannya, dia keluar dari mobil tersebut dan menghirup udara pantai yang segar.     “Hhm.... Udaranya seger banget. Udah lama aku nggak ke pantai.” Guman Virly, ia berjalan menghampiri ombak yang tengah berkejar-kejaran di lautan lepas. Mengalihkan perhatiannya dari ketiga mantan sahabatnya yang telah membuatnya kehilangan arah, sehingga tidak sadar masuk kendaraan.     Dylan yang sedari tadi memperhatikannya ikut keluar dari dalam mobil. Dia ber pada nyandar pada mobilnya dan terus memperhatikan gadis yang baru ditemuinya.     “Dasar aneh.” Cibirnya     Tidak puas dengan ombak, Virly menghampir gadis kecil yang tidak jauh dari mereka. Gadis kecil itu berumur sekitar empat tahunan, sedang membangun istana pasir sendirian.     “Adek lagi buat apa?” Tanya Virly senyum. Dia berjongkok di depan anak kecil yang tengah serius dengan pekerjaannya.     Gadis kecil itu mendongak dan menatap Virly dengan kernyitan di dahi. “Lagi buat istana pasir. kak” Jawabnya agak ragu, kemudian kembali lagi dengan mainannya.     Virly tersenyum senang. “Waw, kakak bantuin ya, boleh kan?” Tawar Virly senyum sembari menyelinapkan rambutnya yang tengah di tiup angin pantai ke daun telinganya.     “Iya, kak, boleh. Ini.” Gadis Kecil itu memberikan sekop kecil pada Virly, sehingga gadis itu mulai ikut ambil bagian dalam pembangunan istana pasir tersebut yang setengah jadi.     “Nama kamu siapa, dek?” Tanya Virly di sela-sela bangunannya.     “Cali kakak.” Jawab gadis kecil itu tanpa menoleh pada Virly.     Virly manggut-manggut. Bertanya akrab agar bisa mengakrabi gadis kecil itu. “Cali ke sini sama siapa?” Tanyanya lagi.      “Sama mama dan papa.”     “Kemana mereka?”     “Di pondok sana, kak, lagi makan. Kakak sama siapa ke sini?” Virly tersenyum. Mereka mulai akrab.     “Kakak sama… Hm... Temen. Iya, sama temen kakak” Jawab Virly sedikit canggung dan terbata. Jelas saja ia seperti itu, dia tidak mengenal laki-laki yang bersamanya tadi, bahkan namanya ia tidak tahu.     Keduanya kembali berbincang santai sembari membangun istana pasir. Hampir selesai, Virly mengerahkan semua tenaganya untuk membangunnya. Sehingga Cali berdecak kagum dan senang.     “Hei, boleh pinjam handphonemu?” Virly mendongak mendengar suara yang memasuki gendang telinganya. Sesaat ia bingung dan menatap tajam orang yang berdiri di depannya.     “Denger nggak, sih?” Ucapnya sekali lagi, guna memperjelas permintaannya.        “Heh?!”      “Aku mau pinjam handphone kamu, mana?!” Dylan mengulurkan tangannya.     Virly mengernyit. “Pinjam handphone aku? Emangnya kamu nggak punya handphone?!” Virly balik tanya.     Dylan mendengus kasar. “Handphone aku ketinggalpan di kantor. Cepetan sini!” Dylan mengulurkan tangannya lebih dekat pada Virly     “Handphone bisa ketinggalan di kantor? Aku nggak yakin” Gerutu Virly tidak yakin, mencari kebohongan di wajah Dylan, tetapi sama sekali tidak menemukannya. Dia tidak tau bagaimana raut wajah kebohongan dan kejujuran laki-laki yang baru di temuinya itu.     “Cepet!! Bisa, nggak?!” Dylan mulai kesal     “Ini orang mau minjem kok maksa banget sih?! Ngga tau apa, tata cara meminjam yang benar dan baik itu gimana?!” Cerocos Virly mengerucutkan bibirnya.     “Hei?!”     “Kamu bisa di percaya nggak?!”     “Bisa!” Jawab Dylan menahan amarah     Virly mengernyit. “Yakin nggak mau bawa handphone aku lari?” Dylan berdecak. Virly merogoh kantongnya dan menatap handphonennya. “Pulsanya tinggal dikit, jangan di habisin ya!”      “Ya ampun! Kamu belum ngasih pinjam udah protes gini!” Dylan menghela nafas kasar.     “Nih…” Virly menyerahkan handphone miliknya pada Dylan dengan ragu-ragu, sangat berat rasanya meminjamkannya. Tetapi Dylan merampas kasar dari tangan Virly, ia mengutak-atik handphone tersebut kemudian menempelkan pada telinga.     “Kak, itu teman kakak, ya?” Tanya Cali pelan, sedari tadi gadis kecil itu memperhatikan kedua orang dewasa di depannya.     Virly mengangguk. “Hm, iya. Kamu di sini dulu, ya. Kakak mau nyamperin temen kakak dulu.” Jawab Virly, terus memperhatikan gerak-gerik Dylan yang sudah berjalan beberapa langkah ke pesisir pantai.      Virly mendekati Dylan, menempatkan telinganya di samping telinga lelaki tersebut. Ingin menguping pembicaraannya dengan yang di seberang.     “Kamu mau ngapain, sih?? Mau nguping, ya?” Sergah Dylan menjauhkan dirinya dari Virly. Lelaki itu terlihat kesal dengan kelakuan gadis tersebut.     “Ye..! Aku juga pengen tau siapa yang kamu telpon. Soalnya kamu mencurigakan!” Virly mengerucutkan bibirnya.     “Ish... Hallo.... Ini aku Dylan. Aku sudah memikirkannya. Kamu benar, mari kita akhiri saja. Kita jalani hidup kita masing-masing aja, selamat tinggal!” Dylan mengakhiri percakapannya, lalu hening sejenak. Virly menatapnya dengan tatapan bingung, namun pandangan laki-laki itu terlihat kosong. Sesaat kemudian Dylan melempar handphone kesayangan Virly ke lautan lepas. Virly melebarkan mata lalu menunjuk ke lautan.     “Handphoneku... kenapa kamu membuang handphone baruku??!! Itu masih baru, garansinya masih panjang. Aku belum puas makenya.” Teriak Virly panjang lebar.     “Astaga!” Dylan tersadar akan perbuatannya, ia menatap gadis di sampingnya yang tengah menatapnya intens. Kedua mata gadis itu berkaca-kaca hendak menangis. Dylan meringis dan merasa bersalah.     “Ganti!! Aku mau handphone kayak gitu! Aku nggak mau yang lain. Aku maunya SEKARANG!!” Sergah Virly penuh penekanan.     “Besok aku ganti.” Jawab Dylan enteng.     “Aku maunya sekarang!!!” Teriak Virly marah.     Dylan berdecak kesal. “Di sini nggak ada yang jual handphone. Lihat tuh sekitaran sini, kamu ngga ada kan?!” Kata Dylan menunjuk ke sekeliling mereka. “Kalau ada ngga mungkin aku pinjam handphone kamu.” Jawab Dylan     “Jadi, handphone aku sekarang apa? Gimana nanti kalau teman aku nelfon, gimana kalau mama nelfon? Aku jawab pake apa?” Suara Virly semakin parau.     “Udah, udah, udah! Besok aku ganti, persis kayak tadi!” Jawab Dylan tidak mau tahu.     “Tapi...” “Besok! Janji!!” “Bener ya?! Awas kalau nggak!” Ancam Virly menunjukkan kepalan tangannya.     “Iya” Jawab Dylan santai.     “Aku mau merek yang sama, warna yang sama. Ngga mau yang lain!” Kata Virly mengingatkan.      “Iya.” Jawab Dylan lagi. “Udah, ngga usah nangis!”     “Siapa yang nangis?” Potong Virly cepat. “Aku nggak nangis!!” Tambahnya kesal.     “Tuh, air mata kamu keluar.” Tunjuk Dylan pada wajah gads itu.     Virly mengusap wajahnya. “Nggak ada!”      “Dasar cengeng!” Ledek Dylan     Virly membuang pandangannya. “Bener ya, besok kamu ganti handphone aku!!” Ucapnya sekali lagi.     “Iya, bawel” Jawab Dylan. Virly tersenyum, kembali mengusap wajahnya. Mskipun menemukan sedikit titik air mata, namun dia tidak akan mau mengakuinya. Dia memandang Dylan yang sedang memandang hamparan lautan lepas. Senyumnya terpantri di wajah ovalnya.     “Aku tau, kenapa kamu keliatan frustasi banget.” Virly senyum mengejek. Dylan menyerngit tidak mengerti. Tetapi sama sekali tidak menjawab perkataan gadis itu. “Kamu pasti habis diputusin sama pacar kamu.” Ucapnya berbinar. “Kalau nggak, kamu ngajak dia nikah, tapi kamu ditolak!” Tebak Virly kekeh.     “Hah?!” Dylan terlihat serius, tidak menyangka jika Virly bisa menebaknya dengan tepat.     “Tuh, kan!” Virly kembali tersenyum “Jadi, bener kamu di tolak?” Gadis itu tergelak senang. “Kasian banget.” Ejeknya.     “Hei...!” Dylan geram, menunjuk Virly kesal.     Virly mengibaskan tangannya. “Nggak usah malu, akuin aja. Huh! Aku memang paling jago soal menebak, dan tebakanku selalu tepat. Itu salah satu keahlianku” Puji Virly berbangga hati pada dirinya sendiri. “Tenang aja, aku nggak akan bocorin rahasia kamu pada orang lain. Aku adalah teman yang baik dan bisa di percaya. Pokoknya semua rahasiamu akan ku simpan dengan baik, di sini” Virly menunjuk dadanya dengan kedua tangannya.      “Bagaimana kamu bisa tau?” Tanya Dylan penasaran. Menyipit pada gadis tersebut.     “Yah, secara kan aku suka nonton drama. Mula dari drama Korea, Philiphina, Vietnam, Turki, Taiwan, Thailand, sampe Jepang. Aku tonton semua.” Ucapnya menggebu sembari menghitung dengan jemarinya. “Jadi, setiap cowok yang ditolak sama ceweknya, kebanyakan ngelakuin hal yang sama kayak yang kamu lakukan tadi. Nggak bakalan jauh-jauh, kok.” Cengir Virly polos     “Oh, anak kurang kerjaan memang selalu begini.” Gumannya. “Sudahlah! Lupakan!” Dylan mengabaikan Virly yang masih menggebu. “Tapi, om. Ini memang beneran!!” Elak Virly menyangkal. Dylan melotot. “Jangan memanggilku om. Aku belum setua itu. Dan aku nggak nikah sama tante kamu!” Elaknya. Virly mengerucutkan bibirnya. “Om, kan udah tua. Udah ditolak sama pacar om.” Jelasnya. “Maksud kamu?” Virly mengangguk mengiyakan. “Udah. Mending kamu diam, bocah tengik! Jangan sok ngurusin masalah orang dewasa.” Gerutu Dylan semakin kesal. “Dasar kurang kerjaan!”     “Apa kamu bilang? Kurang kerjaan? Bocah tengik? Woi... Aku ini udah gede, udah dewasa! Aku bukan anak SMA lagi, aku sudah semester empat.” Sergah Virly, Dylan tidak memperdulikan ocehan gadis itu. Dia melangkah semakin jauh.     “Dasar orang aneh!!” Umpat Virly kesal menatap punggung Dylan. Dia memutar tubuhnya dan menghampiri Cali yang masih bermain pasir. *** Jakarta, 17 Juni 2020
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD