Part 3

1145 Words
“Hei, ngapain kamu duduk di belakang? Emangnya kamu pikir aku supirmu?!” Gerutu Dylan jengkel, melirik Virly yang tengah duduk manis di belakangnya lewat kaca spion.     Keduanya bergega pulang ketika hari telah menjelang sore. “Kenapa? Apa masalahnya? Aku belum kenal kamu!” Ucap Virly menyedekapkan tangan di dada.     “Astaga!” Dylan memijit pangkal hidungnya. “Kalau kamu nggak kenal aku, kenapa kamu masuk ke mobilku?” Protes Dylan kesal     “Lah.., kan, kamu sendiri yang bawa aku ke sini!” Jawab Virly tidak mau kalah.     “Huft...,” Dylan menghela nafas panjang. “Kalau kamu nggak mau ke depan, turun! Pilih sekarang!!” Bentak Dylan emosi     Gadis itu mendadak ngeri melihatnya. “Iya, iya, iya!” Virly sedikit bungkuk dan pindah ke depan, duduk di samping Dylan. Ia menatap kesal Dylan, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela.     Dylan mulai melajukan mobilnya. Hari kian gelap, tetapi mereka belum juga sampai tujuan. Sepanjang jalan bernaung dengan kemacetan. Virly, gadis yang mudah bosan itu mulai memperhatikan seluruh sudut mobil, membuka dashboard namun tidak ada yang menarik perhatiannya. Acara musik di radio malam ini juga gagal total menarik perhatiannya. Sedangkan, Dylan, laki-laki di sampingnya sesekali meliriknya dengan tatapan sinis, sama sekali tidak menegur atau melarang gadis itu.     “Bosenin banget!” Gerutu Virly, teringat kembali dengan handphonennya. Andai saja laki-laki di sampingnya itu tidak membuangnya ke lautan lepas, pasti dia tidak sejenuh sekarang ini. Setidaknya ada beberapa notification yang diperiksa atau chattingan dengan teman dunia maya-nya.     Virly kemudian mengambil setumpuk kertas file milik Dylan yang berada di jok belakang. Dia sudah melihatnya dari tadi, akan tetapi dia bosan jika berurusan dengan kertas. Yang dia tahu, kertas seperti itu pasti berisi kalimat-kalimat kantoran yang membosankan. Tetapi, dari pada bengok kayak patung nyamukan, Virly meraih beberapa lembar.     “Jangan sampai robek!” Ucap Dylan mengingatkan, sejak tadi ekor matanya tidak lepas dari Virly. Gadis itu tengah membolak-balikkan kertas tersebut dengan setengah hati.     Virly mengerucutkan bibirnya. “Aku bosan banget!” Jawabnya lesu. “Oh…, nama kamu Dylan...? Dylan Pradipta Lafewa, ya?” Ucapnya tiba-tiba. “Dari tadi kita nggak ada kenalan. Nama aku Virly, Virly Dwi Sari Iskandar” Ucapnya memperkenalkan diri.        “Aku nggak nanya!” Jawab Dylan dingin     Virly memutar bola mata. “Ya, ya, ya, ya! Orang baru patah hati memang nggak mood ngapain aja. Kenala sama orang secantik aku juga nggak minat”.” Ucapnya percaya diri. “Tapi, bukan kamu aja yang mengalami nasib buruk hari ini, aku juga. Tadi pagi ketiga sahabatku, kami telah memutuskan persahabatan yang telah dua tahun berjalan. Mereka mengataiku yang bukan-bukan.” Ucap Virly sedih     “Hm, aku nggak gemuk-gemuk amat, kan? Pakaian aku biasa saja kan? Sopan kan?” Tanya Virly tiba-tiba menghadap pada Dylan, membuat laki-laki itu terkejut.     “Heh?!”      “Nggak kan??” Tanya Virly lagi.     “Hm…” Jawab Dylan malas dan singkat.     Virly berdecak. “Mereka memang egois banget. Nggak mau nerima kekurangan teman. Kalau aku gemuk, emang kenapa? Masalah buat mereka? Kenapa mereka selalu mencaciku?” Gerutu Virly kesal.     Dylan menghela nafas panjang.      Sepanjang jalan, Virly menceritakan tentang persahabatannya dengan Lala, Indah dan Dhea. Bagaimana mereka memutuskan persahabatan, semuanya lengkap di ceritakan selama perjalanan. Di wajahnya tersirat kekecewaan dan marah, sesekali ia mendenggus kasar, menyesal karena mengenal mereka.     Sejauh apapun Virly bercerita, laki-laki di sampingnya sama sekali tidak menanggapi, tidak bergeminang menjawab atau sekedar memberi saran. Dia hanya beberapa kali melirik, memastikan kalau gadis itu tidak menangis. Dia sibuk dengan pemikirannya tentang Mona, gadis yang menolak lamarannya tadi pagi.     “Berhenti di sini aja. Itu rumahku.” Virly menunjuk rumahnya yang berada di samping mereka. “Kamu tau dari mana kalau rumahku di sini? Kamu penguntit, ya? Oh, jangan-jangan, kamu maling, ya?” Virly menunjuk Dylan, curiga     Lelaki itu mendelik. “Hah? Penguntit? Maling? Rumah aku ituh, di sebelah rumah kamu!” Bentak Dylan kesal, Virly mengikuti arah tangan Dylan. Gadis itu termanga tidak percaya.     “Beruntung kamu, kita tetanggaan. Kamu sampai dengan selamat.” Dylan memicing. “Kalau rumahmu bukan daerah sini, aku nggak akan mau mengantarmu!” Ucapnya santai.     “Seriusan itu rumah kamu? Kita tetanggak?! Sejak kapan? Kamu baru pindah, ya? Aku nggak pernah melihat kamu sebelumnya.” Tanya Virly heran dan beruntun. Dylan tidak menanggapi, hanya menghela nafas panjang. Virly memandangnya, menunggu Dylan menjawab.     “Kamu aja kali baru pindah! Aku udah lama tinggal di sini.” Jelas Dylan akhirnya     “Oh, hebat ya, kita tetangga.” Verly manggut-manggut senang     “Kamu mau turun atau mau di sini aja?” Tanya Dylan mengernyit.      “Oh, iya, iya. Aku lupa.” Kata Virly menyengir dan bergegas hendak turun “Hmm..., handphone aku jangan lupa. Harus sama persis! Aku nggak mau model atau warna yang lain, apalagi merek yang lain.” Sergahnya mengingatkan.     “Iya” Jawab Dylan singkat, kemudian melajukan mobilnya ke pekarangan rumahnya setelah Virly turun. Begitu juga dengan Virly, mengendap-endap memasuki ruang tengah rumahnya.  Bahaya jika dia ketahuan pulang selarut ini. Meskipun memberikan alasan, tetap saja Virly yang salah.     “Dari mana saja kamu?” Tiba-tiba lampu ruangan dinyalakan. Hampir saja Virly berteriak karena terkejut. Baru saja dia memikirkannya, lalu sekarang Virly telah dihadapkan dengan ibunya.     “Eh, mama…” Virly memaksa senyum di wajahnya.     “Dari mana kamu? Kenapa baru pulang?” Tanya Sulinda galak. Menatap tajam pada anak gadisnya.     “Virly habis jalan, ma.” Jawab Virly sekenanya     Wanita itu mengerutkan dahi. “Jalan? Sama siapa? Sampai selarut ini? Kenapa nggak ngabarin mama?” Tambah wanita paruh baya itu.     “Maaf, ma, handphone Virly lowbad.” Jawab Virly bohong     Wanita itu menghela nafas panjang. “Alasan kamu aja! Kamu tau nggak sekarang udah jam berapa? Ngga baik anak gadis seperti kamu berkeliaran di luar tengah malam gini.”      “Ya elah, ma, sekarang kan masih jam 23.59, belum pas tengah malam kali, ma.” Canda Virly melirik jam dinding sembari menyengir.     “Kamu bilang apa? Belum tengah malam?” Mama bercak pinggang, membuat Virly menggigit bibir bawahnya.     “Iya ma, masih kurang satu menit lagi baru tengah malam, ma.” Cengirnya lagi sembari manggut-manggut.     “Kamu ini!” Lalu memberikan kode. “Udah, cepat sana tidur. Besok mama mau pergi.”      Virly mengerutkan dahi. “Kemana lagi, ma? Berapa hari?” Tanyanya malas. Gadis itu selalu malas mendengar kata pergi dari ke dua orangtuanya. Dia bosan sendirian di rumah, sementara kedua orangtuanya selalu pergi dalam jangka waktu yang tidak menentu.     “Hanya seminggu. Ke Singapura.”     “Sendiri lagi, deh.” Virly mengerucutkan bibir.     “Kamu kan udah dewasa, bukan anak-anak lagi.” Kata Sulinda mengingatkan. “Oh, selama seminggu ini kamu jangan keluyuran tengah malam gini lagi. Mama nggak mau kamu jadi orang yang nggak bener. Mama nggak pernah ngajarin kamu yang aneh-aneh.” Jelas mama tegas     “Iya, mama. Oiya ma, mama kenal nggak sama tetangga kita yang itu? Yang disamping kiri rumah kita.” Tanya Virly penasaran.     “Nak Dylan maksud kamu??” Tebak mama Virly     Virly mengangguk membenarkan. “Iya, kok mama tau sih. Dia udah lama ya, ma, tinggak di sini?”     “Udah.”     “Aku kok nggak tau ya, ma?”     “Kamu sih, keluyuran mulu. Tetangga sedekat itu aja nggak tau.” Sulinda mencibir. “Mama aja yang jarang di rumah masih tau dan kenal dengan beberapa tetangga kita. Udah, kamu ganti baju lalu tidur.” Suruhnya kemudian.     “Iya, ma, Virly ke kamar dulu.” Virly mulai menaiki satu persatu tangga lantai dua menuju kamar tercintanya sejak ia kecil.     “Capek banget.” Guman Virly, menghempaskan tubuhnya di tempat tidur king size miliknya, mulai memejamkan mata tanpa mandi ataupun mengganti pakaian. *** Jakarta, 17 Juni 2020
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD