bc

Anemone

book_age16+
1.9K
FOLLOW
12.8K
READ
HE
second chance
CEO
bxg
city
betrayal
coming of age
feminism
naive
like
intro-logo
Blurb

Kenan Adam menikahi Dara Arumi bukan karena ia mencintainya. Ia menyiksa Dara, memaksanya tetap di sisinya tanpa peduli perasaan wanita itu. Sialnya saat melihat Dara bersama pria lain, ia akan marah dan menyalahkan Dara.

“Jika kamu sudah tidak menginginkanku, kenapa kamu tidak membiarkan aku pergi? Apa salah jika aku tidak ingin membuatmu muak? Karena yang selalu kamu ucapkan hanya kata benci. Tidak ada lagi.” –Dara Arumi.

“Cinta? Lelucon macam apa itu? Aku menikahimu, namun tidak untuk mencintaimu.” –Kenan Adam.

Kisah tentang pesakitan orang jatuh cinta, dan makna akan Anemone. Menjadi bodoh semata-mata ingin mencintai dengan tulus. Tanpa sadar bahwa hatinya terluka, busuk, bahkan mati rasa. Mencintai dan konsekuensi adalah luka sekaligus obat.

chap-preview
Free preview
01
Masakan di atas meja selesai terhidang, Aroma sedapnya menguar kemana-mana. Satu jam yang lalu, wanita berusia hampir dua puluh tiga tahun itu usai menyiapkan makanan untuk suaminya. Pernikahan mereka menginjak bulan kelima sejak Desember lalu. Keduanya memutuskan menikah setelah mengenal satu tahun lamanya. Semoga saja suka, batin wanita bernama lengkap Dara Arumi. Doa yang selalu ia gumamkan dalam hati. Berharap suaminya, Kenan Adam, suka masakan buatannya itu. Pintu utama ruang tamu terketuk, sudah pasti itu Kenan. Seperti biasa Dara merasa gugup saat sang suami pulang. Takut-takut suasana hati pria itu sedang tidak baik. Dengan langkah cepat Dara berjalan ke arah pintu utama setelah mendengar ketukan pintu yang berubah menjadi gedoran. Saat pintu terbuka, sosok pria jangkung berdiri di hadapannya. Kenan Adam, pria yang biasa dipanggil Ken olehnya tanpa embel-embel Kak, Mas, atau Abang, meski Ken berjarak lima tahun lebih tua. "Lama banget buka pintunya!" bentak Kenan memasang raut wajah kesalnya. Sudah biasa, bentakan itu sudah biasa Dara terima. Bukannya marah, ia malah menampilkan senyum manisnya. Wanita itu mengambil alih tas kerja Ken. Kenan Adam adalah pemilik agensi di bidang modeling dan periklanan. Seorang direktur muda yang bisa dibilang cukup sukses karena karirnya melonjak tinggi setelah penayangan iklan fashion yang diproduksinya beberapa bulan lalu menjadi sangat popular baru-baru ini. Meski agensinya belum bisa dibilang perusahaan besar yang mampu bersaing secara global, namun agensi Kenan sudah bisa dibilang beruntung karena cepat berkembang pesat sehingga layak untuk digunakan jasanya. Kantor Ken juga masih menyewa di salah satu gedung pencakar langit di ibu kota. Letaknya di lantai Sembilan gedung tersebut. Di lantai sembilan itu, ada studio edit, tempat pemotretan, kantor untuk para pegawai, tempat istirahat, tempat pemotretan, meeting, dan lainnya. Ken tak hanya bekerja sebagai direktur, ia juga mensutradarai beberapa video iklan yang dibuat agensinya. Tentu pria itu mencari kesibukan, menjadi direktur tidak terlalu sibuk mengingat ia punya sekretaris dan beberapa tim yang bekerja untuk mengurusi bagian office. Ken lebih suka terjun di lapangan mengingat hobinya adalah memotret. Kembali lagi, Ken masuk dengan wajah kesal. Ia duduk di sofa untuk sekadar menyenderkan punggungnya yang serasa remuk karena pekerjaannya kali ini menuntutnya untuk riset tempat pemotretan. Begitu matanya terbuka setelah beberapa menit terpejam, Ken masih melihat istrinya berdiri dengan tas yang dipegangnya. Tentu saja hal itu mengganggu pandangan Kenan. "Ngapain masih di sini? Gamau pergi? Mau ganggu saya?" sinisnya. "Bukan, Ken, saya tadi masak makan malam. Kamu gak lapar?” tanya Dara. Tidak heran percakapan mereka terlihat aneh. Karena memang Ken dan Dara menyebut dirinya sendiri dengan sebutan 'Saya'. Hubungan mereka tak dekat meski mereka sepasang suami istri. Bahkan mereka tidak tidur satu ranjang layaknya pasangan suami istri pada umumnya. Pernah mereka satu ranjang, saat malam pertama mereka. Kala Ken menjadi orang pertama bagi Dara. Namun setelah itu Dara tak mendapat sentuhan lagi dari Ken, hingga sekarang. Ken bahkan berani mengusirnya dari kamar yang hanya semalam mereka tempati bersama. Jika ditanya benarkah mereka tak pernah dekat? Tentu saja jawabannya pernah. Sebelum Ken menyunting Dara sebagai istrinya, mereka pernah sedekat nadi. Ken tak seburuk sekarang kepada Dara. Seperti bukan Ken yang dulu, pria itu berubah menjadi orang lain. "Saya sudah makan sama tim tadi. Kamu ke kamar saya aja, taruh tas, siapin air hangat buat saya mandi," ujar Ken dingin. Cukup kecewa, makanan yang dibuat Dara tak akan tersentuh lagi seperti kemarin-kemarin. Dara menelan rasa kecewa itu bulat-bulat. Lagi bibirnya tersenyum untuk menutupi kekecewaan yang serasa menjadi sobatnya selama lima bulan terakhir. Ia mengangguk dan pergi dari hadapan Ken.  Dara menaiki tangga untuk menuju kamar utama⸻kamar Kenan. Wanita itu berani memasuki kamar Ken saat pagi dan malam, karena saat pagi, jika Ken belum bangun saat alarm yang disetelnya bunyi berkali-kali, Dara yang bertugas membangunkan, menyiapkan pakaian, dan membersihkan kamarnya. Kalau malam, ia yang menyiapkan air mandi dan manaruh tas kerja pada walk in closet.  Dara akan sangat senang jika Ken melewatkan alarmnya, karena itu kesempatannya untuk membangunkan pria itu. Hanya itu saja sudah membuat Dara sangat bahagia. Menyedihkan, namun Dara bisa apa? Ia tak bisa melakukan apa-apa selain diam dan menunggu keajaiban datang padanya. Ia tak ingin membuat Ken marah besar hanya karena ia tak menuruti ucapan pria itu. Hubungan rumah tangga mereka berubah menjadi abu-abu. Wangi Ken, batin Dara saat kakinya baru berpijak satu langkah di lantai kamar. Dara meletakkan tas yang ia pegang di atas meja, kemudian langsung menyiapkan air mandi untuk Ken. Ia tak bisa berlama-lama berada di dalam kamar itu jika tidak mau Ken seret keluar. Jadi, Dara selalu mengerjakan segalanya dengan sangat cepat. "Dara, air mandi saya sudah siap?” tanya Ken saat pria itu menyusul masuk ke kamar. "Sudah, Ken," balas Dara pelan. Ia mengambil langkah menjauhi Ken, hendak pergi dari sana. "Dara," panggil Ken sebelum Dara benar-benar keluar. "Iya?" "Besok saya harus ke luar kota selama dua hari. Pagi-pagi sekali siapkan perlengkapan saya. Bisa?” tanya Ken dibalas anggukan Dara, "Saya juga mau sarapan roti selai kacang. Jangan lupa bangunkan saya." Tambahnya lagi. Dan masih sama, hanya dibalas anggukan oleh Dara. Kenan mengibaskan tangannya beberapa kali. "Sana pergi," ujarnya seolah sudah tak butuh bantuan istrinya lagi. Habis manis sepah dibuang sepertinya pribahasa yang cocok untuk Dara. Wanita itu tersentak dan langsung berbalik badan keluar dari kamar suaminya. Tidak lupa menutup pintunya rapat. Dara turun dari lantai dua, ia memasuki kamarnya yang ada di lantai satu. Kamarnya di lantai satu memang tidak besar karena bukan kamar utama. Mirisnya adalah bekas kamar asisten rumah tangga mereka yang hanya sebulan bekerja. Setelah itu Ken memecatnya, dan membuat kamar itu menjadi kamar istrinya. Memang barang yang ada di dalam kamar itu bukan barang mantan asisten rumah tangga mereka, melainkan isi barang dari kamar tamu yang ada di lantai dua. Ken menyuruh Dara tinggal di lantai satu karena tidak ingin berada dekat dengannya. Awalnya Dara menangis mendapat perlakuan tersebut, ia tidak menyangka Ken akan berubah sedrastis itu. Namun karena Dara adalah gadis naif yang hanya bisa berpikir positif, lambat laun ia hanya bisa pasrah dan bersabar. Malam itu terasa sangat sunyi seperti malam-malam sebelumnya. Dara tak bisa tidur, berkali-kali ia menghitung anak domba, namun sampai seribu anak domba yang ia ucapkan dalam hati tetap saja tak membawanya ke dalam dunia mimpi. Karena kesal tak kunjung terlelap, akhirnya Dara putuskan untuk keluar dari kamarnya. Menuju dapur dan memakan masakan yang tadi ia masak untuk Ken. Ia baru ingat bahwa dirinya belum makan malam. Setelah kenyang, rupanya mulut Dara tak ingin segera berhenti mengunyah. Ia membuka kulkas dan melihat buah-buahan yang ia beli beberapa hari lalu hanya ia makan beberapa saja. Ken memang jarang makan di rumah, apalagi untuk menyentuh isi dalam kulkas, hal itu sangat jarang jika Ken tidak sedang lembur di ruang kerjanya. Selain itu Ken hanya pergi⸻pulang⸻pergi. Bahkan saat libur, Ken jarang berada di rumah, ia pasti akan membawa kameranya keluar untuk memburu foto. Usai memotong buah-buahan, Dara berjalan menuju ruang TV. Ia menghidupkan benda elektronik berbentuk kotak tersebut untuk menemaninya di tengah malam. Sesekali Dara tertawa melihat aksi konyol para tokoh kartun yang ia tonton. Mulutnya tak bisa berhenti mengunyah. Hingga buah yang ia potong dalam piring ludes ia makan. Setengah jam kemudian, Dara mulai suntuk, ia membaringkan tubuhnya di sofa besar tersebut, masih menonton acara televisi hingga matanya mulai berat dan ia ketiduran dengan TV masih menyala. Wanita itu tidur dengan nyenyak, tak peduli tubuhnya terasa dingin karena tak menggunakan selimut. Ia tidur dalam posisi miring, menggunakan tangannya sebagai alas bantal dan kakinya yang tertekuk.  Dara tidur kurang lebih empat jam sebelum ia terkejut dan terbangun secara refleks. Ia melihat jam yang ada di dinding ruang TV takut-takut. Dara bisa bernapas lega karena ia tak terlambat untuk menyiapkan semua keperluan Ken dan memasakkan sarapan untuk pria itu. "Ken, bangun. Udah pagi," ucap Dara seraya menepuk pelan lengan Ken lembut. "Ken, Udah pagi." Ulangnya setelah tak mendapat respon. Melihat Ken menggeliat dan mulai mau membuka matanya, Dara buru-buru memundurkan langkah takut-takut Ken marah karena jarak mereka terlalu dekat. Pria itu duduk, memijat pangkal hidung mengurangi pening di kepalanya. "Saya udah siapin air hangat buat mandi, udah siapin perlengkapan kamu buat ke luar kota," ujar Dara. Ken tak menjawab, pria itu turun dari ranjang, mengabaikan Dara dan masuk ke dalam kamar mandi membersihkan diri. Dara langsung keluar dari kamar Ken bergegas ke dapur untuk membuatkan roti selai kacang yang sudah dipesan suaminya itu semalam. Lega saat Dara sudah menyiapkan semua keperluan tepat waktu. Ia harap pagi ini tak mendengar bentakan atau amarah Ken pada dirinya. Harapan Dara seolah terkabul. Pagi itu Ken tak sensi seperti biasanya. Setelah bersiap-siap Ken langsung duduk di meja makan tanpa Dara suruh, menyantap roti yang sudah Dara siapkan di atas meja lengkap dengan air putih serta vitamin yang biasa Ken konsumsi usai sarapan. Selesai sarapan, Ken diantar Dara menata kopernya di bagasi mobil. Dara juga membantu merapikan letak koper dan tas yang Ken bawa. Setelah dirasa sudah rapi, Ken menutup bagasi, menghadap ke arah Dara yang masih berdiri di sampingnya. "Saya udah transfer uang bulanan ke rekening kamu. Terserah mau dibuat apa. Kirim lokasi setiap kamu pergi ninggalin rumah ini," ucap Ken. "Iya, Ken." "Saya bakal tahu setiap kamu bohong. Jadi jangan coba-coba buat bohongin saya," tekan Ken sekali lagi. Dara mengangguk. Puas dengan jawaban Dara, Ken memasuki mobilnya. Bergegas pergi dari halaman depan rumah mereka. Dara tak berhenti menatap mobil hitam milik suaminya hingga mobil itu raib dari pandangannya. "Ken, cepat pulang. Dua hari lagi ulang tahun kita," ucap Dara pelan. Ia ingin ada Ken di sampingnya saat ia berulang tahun. Umurnya akan menginjak dua puluh tiga tahun sebentar lagi. Ia harap Ken mengingat ulang tahunnya. Karena, Ulang tahunnya dan Ken bersamaan. Dara ingat, tapi entah Ken. Dara berharap Ken tak melupakan itu. *** Ken memantau lokasi tempat modelnya akan melakukan pemotretan. Kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya untuk menghalau sinar matahari yang berlebihan menembus indera penglihatan pria itu. Lokasi saat ini berada di outdoor sehingga tidak heran hawanya sangat panas di siang hari. Boss tampan, itulah julukan Ken di dunia kerja. Pria itu sangat populer. Bagaimana tidak? Wajah tampan, dan sikap profesionalnya saat bekerja membuat siapapun segan. Siapa yang tidak mau menjadi pasangan Ken? Dijadikan istri kedua pun mereka sanggup. Bukannya tidak mengerti Ken sudah punya istri. Para gadis malah tertantang akan hal itu. "Pilih lokasi sebelah utara, segera siapkan propertinya," ucap Ken kepada sekretarisnya, Ambar. "Baik, Pak." "Kepada tim berkumpul sebentar!" Perintah Ken menepuk tangannya berkali-kali dengan tempo lambat untuk menarik perhatian tim yang masih sibuk sendiri agar memperhatikan instruksinya.  Mendengar atasan mereka memanggil, tentu saja mereka harus bergegas. Semua orang berkumpul di hadapan Ken. "Saya hanya dua hari di sini, jadi maksimalkan pekerjaan, saya harap besok sore saya sudah bisa pulang," ucap Ken. "Baik, Pak!" Seru tim serentak. "Saya ke hotel dulu. Urus segala keperluannya. Jangan lupa makan siang." Setelah memberi instruksi kepada anak buahnya, Ken pergi dari lokasi pemotretan, ia kembali ke hotel untuk beristirahat. Sudah waktunya jam makan siang. Di dalam kamar hotel, ia memesan Junk Food sebagai menunya karena ia sedang malas pergi ke restoran. Makanan yang ia makanpun diantar oleh petugas hotel setelah Ken menelepon layanan hotel saking malasnya. Ia makan sambil mengotak-atik HP-nya yang tak ada satupun pesan dari Dara-istrinya. Apa dia gak kemana-mana? Batin pria itu. Ken putuskan mengirimi Dara sebuah pesan. To : Dara Kamu di rumah aja hari ini?  Ken harus menunggu beberapa menit untuk Dara membalas pesannya. From : Dara Iya Ken, gatahu mau ke mana. To : Dara Jangan lupa share lokasi kalau keluar dari rumah. From : Dara Iya Ken. Ken melempar HP-nya di atas sofa sebelahnya duduk. Ia mengembuskan napas lelah. Pekerjaannya hari ini menguras tenaga. Dara, ia memikirkan istrinya. Ia takut Dara keluar tanpa seizinnya. Itu salah satu alasan kenapa Ken buru-buru ingin pulang. Tidak berhenti sampai sana kecurigaan itu, Ken kembali meraih HP yang beberapa detik lalu ia lempar. Ia mencari kontak istrinya dan langsung meneleponnya. Ken tidak bisa tenang jika tidak mendengar langsung suara wanita itu. Tak lama Dara mengangkat. "Halo," ujar suara lembut seberang telepon. "Kamu di mana?” tanya Ken tanpa basa-basi. Lagi, ia memastikan di mana Dara berada. Padahal baru beberapa menit lalu mereka saling mengirim pesan dan Dara sudah menyampaikan bahwa ia tidak kemana-mana. "Di rumah, Ken." "Kamu tahu kan saya gak suka kamu keluar rumah tanpa izin, apalagi tanpa sepengetahuan saya?" "Iya tahu, tapi sekarang beneran lagi ada di rumah. Bersih-bersih lemari. Tata baju juga." Ken tidak menjawab, ia cukup lega Dara benar-benar tidak berbohong. Meski Ken tahu Dara tidak berani membohonginya, istrinya itu takut padanya. Namun dengan bodohnya Ken masih merasa gundah jika tidak memastikan berkali-kali. "Kamu udah makan siang belum?” tanya Dara karena Ken lama terdiam. "Bukan urusan kamu!" sergah Ken berhasil membuat Dara di seberang telepon terkejut. Ken langsung memutus sambungan telepon secara sepihak. Ia tidak bisa mendengarkan suara Dara terlalu lama jika tidak ingin segera pulang dan melihat gadis itu secara langsung. Memastikan bahwa Dara masih berada di rumahnya, tidak membantah semua perintah yang ia ucapkan.  Ken mencintainya? Hal itu mungkin saja. Tapi kenapa ia seperti tidak peduli? Karena dia sedang berusaha untuk membuang jauh-jauh niat mencintai gadis bernama Dara itu. Tapi kenapa mereka menikah? Karena sebuah tuntutan. Ken, harus menikahi Dara. Tapi tidak untuk mencintainya. *** Pemotretan tengah berjalan. Ken datang untuk memantau timnya. Ia duduk di bawah pohon rindang dengan sebuah kursi lipat yang sudah disiapkan sekretarisnya sejak tadi. Mata tajamnya memperhatikan setiap pose yang para model lakukan di tengah lokasi. Fotografer sudah memberi aba-aba, flash dan bunyi tangkapan kamera berkali-kali terdengar. Semua terlihat sangat sibuk. “Jeda!” teriak ketua tim yang ada di area. Make up artist segera memasuki area, membenarkan tatanan make up yang menurutnya sudah sedikit luntur. MUA harus teliti, karena make up juga mempengaruhi hasil foto sang model. Titik fokus lensa kamera tak pernah gagal, setiap detailnya pasti terlihat dengan jelas. Karena itulah make up sangat penting bagi sang model, mereka tidak ingin terlihat cacat sedikitpun. Selain itu, editor tak ingin mengurangi keaslian foto. Sang fotografer tengah memeriksa hasil tangkapan foto. Ia terlalu fokus pada layar kamera, menggeser ke kanan dan ke kiri, memeriksa apa yang kurang dari hasil fotonya. Tak jarang memperbesar hasil foto tersebut untuk memeriksa detailnya. Senyum merekah, fotografer itu tampak puas dengan hasil jepretan fotonya. Saat itulah Ken turun ke area, keluar dari zona nyamannya yang hanya melihat kerja timnya dari bawah pohon dengan kursi yang ia duduki dengan sangat nyaman. Ken menghampiri fotografernya, melihat hasil foto. Sama, Ken juga tak kecewa dengan hasilnya.  Memakan beberapa jam untuk selesai melakukan pemotretan. Ken bersiap memesan tiket pesawat. Mungkin ia akan pulang nanti malam, jika pulang besok, ia tidak akan tenang dan yang ada ia malah gundah seharian. Sudah bisa ditebak apa alasan ia gundah. Masih sama seperti sebelumnya. Dara. "Pesan tiket pesawat sore ini saja, jadi malamnya kita bisa pulang," ucap Ken kepada Ambar—sekretarisnya.   "Tapi, Pak. Saya sudah memesan tiket untuk penerbangan besok pagi." "Tiket penerbangan pagi berikan saja pada tim." Tandas Ken. "Apa ada masalah mendesak yang harus diselesaikan sehingga anda terburu-buru pulang?" "Aku hanya takut istriku diambil orang." Ambar mengerutkan kening karena alasan atasannya tidak bisa masuk di akal. Ken sendiri tak mau ambil pusing melihat ekspresi bingung itu. Yang ada di otak Ken adalah, jika ia tidak pulang malam ini, ia tak akan pernah bisa tenang dan ujung-ujungnya tak bisa tidur memikirkan istrinya. Ken hatam betul, jika Dara tertekan dan tak pernah bisa tenang jika ada dirinya. Apalagi saat ia bersikap mengintimidasi. Dara akan gugup, tak jarang ia juga takut saat Ken membentaknya. Ekspresi itu yang harus Ken saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Memastikan wanita itu tetap berada di bawah kendalinya. Ambar mengotak-atik HP-nya untuk memesan tiket pesawat secara online. Beberapa saat kemudian ia kembali bersuara. "Jam penerbangan pukul setengah sebelas malam, perkiraan sampai besok subuh, apa saya jadi pesankan, Pak?" "Tentu saja." "Baik." Kenan lega, masih ada jam penerbangan malam untuk hari ini. Ia kembali menghampiri ketua tim untuk dimintai keterangan tentang pemotretan hari ini. "Bagaimana, Pak? Apa sudah beres?” tanya Kenan pada fotografernya. Usia mereka terpaut cukup jauh. Oleh karena itu Kenan memanggilnya dengan sebutan 'Pak' untuk menghormati. "Lancar Pak Adam, hasilnya memuaskan. Cuaca hari ini mendukung pencahayaannya," ujar Fotografer andalan agensi Ken itu. "Baguslah, saya akan pulang malam ini, Pak. Sepertinya tidak bisa ikut makan malam bersama tim. Sebagai gantinya saya traktir makan malamnya ya, Pak. Lewat sekretaris saya nanti." "Pak Adam mau mentraktir kami?" "Iya, sebagai permintaan maaf karena tidak bisa bergabung. Istri saya sendiri di rumah," balas Kenan. "Terima kasih, Pak Adam." "Santai saja, Pak. Kalau begitu saya ke hotel dulu." "Baik, Pak. Hati-hati di jalan.” *** Dara termenung. Sudah pukul sebelas malam namun ia tak bisa tidur. Pekerjaan rumah sudah selesai sore tadi sehingga ia tidak tahu harus melakukan apa selain diam dan menonton acara televisi yang membosankan. Sendiri di rumah membuatnya mati kutu, apalagi saat malam. Besok malam ulangtahunnya dan Kenan, dan baru besok juga Kenan pulang dari luar kota. Dara sudah menyiapkan sebuah kado untuk suaminya. Siang tadi, Dara diam-diam keluar dari rumah, tanpa mengabari Kenan tentu saja. Ia terpaksa berbohong untuk memberi kejutan kepada suaminya itu. Kue ulang tahun juga sudah Dara beli, ia simpan di dalam lemari es. Mata Dara memang memandang lurus tayangan televisi, namun otaknya berpikir di luar itu. Hingga matanya terasa berat, dan akhirnya ia ketiduran di sofa seperti biasa. Jam menunjukkan pukul empat subuh, Dara terbangun. Ia dengan sisa nyawa yang terkumpul berjalan menuju dapur, membuka lemari es dan menuangkan sebotol jus jambu ke dalam gelas. Dara meminumnya hingga matanya bertemu tatap dengan Ken. Berkali-kali Dara menajamkan penglihatannya takut salah karena usai bangun tidur. Tetap saja yang ia lihat Kenan Adam suaminya. Entah kapan pria itu masuk. Yang jelas sudah membuat Dara tersedak saking terkejutnya. Dara meletakkan gelas jusnya dan mengarah pada Ken. "Udah pulang Ken?” tanya Dara basa-basi. Ia menyalimi Ken, mencium punggung tangan suaminya itu. "Kamu gak tidur?” tanya Ken balik. "Kebangun, tadi ketiduran di sofa." Dara mengambil alih koper Ken, namun pria itu merebutnya kembali dan memberikan tas kerjanya. "Berat, ini aja," ujarnya. Dara mengangguk, mengambil tas kerja Ken. Mengikuti Ken dari belakang untuk naik ke lantai dua. "Gimana urusan kerjanya Ken? Lancar? Ah tapi bukan urusan saya ya buat tanya," tanya Dara beruntun, kemudian ia jawab sendiri. Seperti sudah tahu Ken akan menjawabnya seperti itu. Tak ada jawaban dari Ken, ia acuh dan melanjutkan langkahnya menuju kamar. Ken tetaplah dingin bersama Dara, berbicara seperlunya. Kadang Dara merasa sangat senang hanya karena Ken mau berbicara panjang dengannya, namun itu kejadian yang sangat langka. Mereka akan berbicara panjang saat bertengkar saja. Itupun Ken yang memulai pertengkaran. Dara? Ia jadi pendek bicara saat mereka bertengkar. Menunduk, dan mengakui kesalahannya meski ia tak sepenuhnya salah sekalipun. Dara selalu mengalah karena ia tidak ingin memperpanjang pertengkaran. Sesampainya di kamar, Dara meletakkan tas kerja dan koper Ken menjadi satu di atas meja. Sedangkan sang empu membuka satu persatu kancing kemejanya untuk melakukan rutinitas sepulang dari perjalanan jauh−mandi. Selelah apapun Kenan, jika ia pulang dari perjalanan jauh, ia akan mandi. Menurutnya, mandi adalah cara untuk menghilangkan lelah. "Air hangat ya Ken?” tanya Dara memastikan. "Hm,” sahutnya hanya dengan sebuah deheman. "Tunggu sebentar." Dara masuk ke dalam kamar mandi untuk menyiapkan air, setelah siap ia keluar lagi. "Lapar?” tanya wanita itu. "Engga, saya capek. Pijetin aja habis mandi, kamu tunggu sini." Ken mandi, sedangkan Dara sudah gugup karena untuk pertama kalinya Ken meminta dipijatkan olehnya. Mengurangi kegugupan, Dara mengatur isi di dalam koper Ken. Memilah baju kotor dan baju yang masih bersih, kemudian meletakkannya di dalam keranjang baju kotor. Setelah koper bersih, ia meletakkannya di walk in closet. Setelah mandi dan memakai baju, Ken menuju ranjang. Ia berbaring tengkurap. "Pijetin bahu saya," suruhnya kepada Dara. Dara duduk di tepi ranjang, mengulurkan kedua tangannya ragu-ragu, ia memijat pundak Ken amatir, takut-takut pijatannya tidak enak. Namun melihat Ken memejamkan mata tanpa berkomentar membuat kegugupan Dara berkurang. Itu tandanya pijatan Dara tidak bermasalah. "Kamu mau lanjut tidur?” tanya Ken, masih memejamkan mata. "Iya Ken." "Tidur sama saya di sini." "Tidur di sini?" ulang Dara takut pendengarannya salah. "Besok pagi Mama bakal ke rumah, saya dapat pesannya barusan. Gak lucu kalo Mama tahu kita pisah ranjang." "Iya," gumam Dara mengerucutkan bibirnya kecewa. Ternyata Ken hanya menyuruhnya tidur sekamar jika ada orang tua mereka saja. Dara menunduk, kembali memijit pundak sampai punggung pria itu. Apa yang kamu harapkan Dara. Batin wanita itu. Ken sudah tertidur dengan lelapnya. Dara? Ia tidak bisa tidur karena merasa gugup berbaring di samping Ken. Dara menatap wajah Ken dari samping. Garis wajah pria itu tak pernah bosan Dara pandangi, ia jatuh cinta lagi, lagi, dan lagi. Pada orang yang sama hanya dengan memandanginya. Apa yang membuat Ken berubah? Dulu Ken selalu memperlakukannya sangat lembut, mengatakan cinta, tersenyum, menggenggam tangannya, semuanya terasa indah sebelum mereka menikah. Dara tidak pernah berhenti mencari jawaban atas pertanyaan yang selalu sama setiap harinya. Ken merubah posisinya menjadi miring menghadap Dara. Membuat wanita itu terkejut karena awalnya Ken tidur menghadap langit-langit kamar. Ia bisa melihat jelas wajah Ken. Dara rindu Ken. Kalimat sederhana yang berhasil memorakporandakan perasaan dan hati Dara. Lucu sekali jika Dara rindu sosok yang setiap hari ia temui. Namun yang Dara rindukan bukan sosoknya, melainkan sikap yang Ken tunjukkan padanya. "Aku rindu kamu Ken, rindu kamu yang dulu. Aku gak tahu sejak kapan hubungan kita sejauh ini, aku bahkan lupa sejak kapan kita ngomong pake bahasa formal yang buat aku mikir kalau kita dua orang asing yang nggak pernah kenal sebelumnya,” bisik Dara nyaris tak terdengar. "Bahkan seperti mimpi kita seranjang lagi setelah malam itu," lirih Dara. Suaranya tercekat di tenggorokan, tak mau merasakan sesak, akhirnya ia memilih untuk mengakhiri celotehannya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
94.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.9K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook