Kirana bangun dengan tubuh sakit semua. Ia bahkan kesulitan untuk mengangkat tubuhnya untuk sekedar duduk. Kirana meringis menahan sakit dan pedih di pangkal pahanya.
Kirana terdiam, mengingat apa yang terjadi semalam. Ia bercinta dengan Adinata dengan begitu hebatnya. Hingga Kirana tak sadar jam berapa mereka selesai dan jam berapa ia tidur.
Ia terlalu lelah untuk sekedar mengingat itu. Namun, satu yang ia masih ingat dengan jelas. Rasa nikmat saat Adinata bergerak di atasnya. Wajah Adinata yang berbeda dari biasanya. Menatapnya lapar dan rakus.
Entah kenapa, Kirana sangat menyukai wajah Adinata yang menatapnya seperti itu. Membuat jantungnya berdebar kencang dan gejolak gairah yang bangkit bersamaan dengan gerakan dan usapan yang di lakukan Adinata pada tubuhnya.
"Kamu sudah bangun?" Kirana tersentak dan buru-buru menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Adinata tak menghiraukan itu, ia mendekat sembari membawa sarapan dan teh hangat.
"Apa masih terasa sakit?" Tanya Adinata setelah menaruh sarapan di meja. Kirana masih diam. Malu. Adinata duduk di samping Kirana dan mengusap wajahnya dengan lembut.
"Maafkan aku, ya. Semalam aku kasar." Kirana memerhatikan wajah Adinata yang nampak bersalah. Ia genggam jemari tangan Adinata yang ada di pipinya. Adinata menatap Kirana.
"Tidak apa-apa, aku masih perawan, jadi, hal seperti ini wajar kan?" Kirana mencoba tersenyum.
Adinata justru semakin menyesal melihat senyum Kirana. Ia tau, Kirana kesakitan, kenapa ia harus tersenyum. Tak menyesalkah ia telah Adinata ambil keperawanannya?
"Kamu tidak marah sama aku?"
"Marah kenapa?"
"Karena aku sudah...." Wajah Kirana langsung memerah.
"Bukankah, itu juga tugas istri ya?" Tanya Kirana. Adinata tersentak. Jadi, Kirana ikhlas?
"Kamu ikhlas?"
"Ikhlas, kenapa memang?"
"Kamu, sungguh tidak marah menyerahkan keperawananmu padaku yang tidak mencintaimu?" Tanya Adinata secara spontan.
Jantung Kirana langsung berdetak kencang. Adinata diam seketika.
"Ehm... Kirana... Aku tidak bermaksud...aku...." Kirana mengangkat wajahnya dan tersenyum manis.
"Aku tahu, dan aku tidak mempermasalahkan itu." Adinata merasa semakin bersalah dibuatnya. Kenapa ia justru menyakiti hati Kirana?
"Aku mau mandi."
"Aku bantu, ya?"
"Tidak perlu."
"Tapi, kamu kan...."
"Aku bisa, Adinata." Adinata diam saat melihat tatapan mata serius dari Kirana.
Ia memperhatikan Kirana yang kesulitan berjalan. Ia bahkan mendengar suara mengaduh dari bibir Kirana. Karena tak tega, Adinata langsung berdiri dan membopong tubuh Kirana dan ia bawa masuk ke dalam kamar mandi.
Ia tak peduli pada rengekan Kirana yang memintanya turun. Adinata bahkan memandikan Kirana dengan cekatan dan cepat. Ia benar-benar tak peduli dengan semua omongan Kirana. Ia hanya tak tega melihat Kirana kesakitan dan itu karena dirinya.
Ia lebih suka di caci maki, dari pada mendapatkan sebuah senyum manis yang menurutnya menyakitkan. Begitu selesai mandi, Kirana kembali ia bopong. Bahkan ia memilihkan pakaian untuk Kirana. Ia ambilkan rok dan kaos longgar.
Ia memakaikannya dan Kirana akhirnya hanya bisa menurut. Selesai berpakaian, Adinata langsung menyuapi Kirana persis seperti bayi.
"Adinata, sudah. Aku sudah kenyang."
"Yakin?"
"Iya."
"Baiklah, sekarang istirahatlah."
"Istirahat? Bagaimana dengan Nou?"
"Aku yang akan merawatnya."
"Tapi, kamu kan kerja?"
"Aku libur."
"Libur??" Adinata memutar bola matanya.
"Meliburkan diri, lebih tepatnya." Kirana melongo.
"Kamu meliburkan diri? Kenapa?"
"Astaga, Kirana. Apakah semua harus aku jelaskan padamu? Kamu masih tanya kenapa? Hey, kamu sakit, jalan saja susah. Bagaimana mungkin aku bisa tenang dengan kerjaanku. Dari pada bikin hancur, lebih baik aku di sini. Menemani mu dan Nou."
Penjelasan Adinata cukup membuat hati Kirana hangat. Sepeduli itu Adinata pada Kirana?
Galen sedari tadi bingung mencari Kirana yang tak kunjung keluar dari kamar. Padahal ini sudah siang dan herannya lagi, seorang Adinata yang biasanya rela membawa anaknya untuk bekerja kini memilih libur. Sebenarnya ada apa ini?
Galen melihat Adinata keluar dari kamar tamu. Ia bahkan membawa bekas piring kotor dan gelas.
"Adinata, siapa yang tidur di kamar tamu?" Tanya Galen. Adinata tak menjawab, ia melewati Galen begitu saja dan menaruh bekas piring kotor di tempatnya.
"Adinata, ayah bertanya!"
"Aku," jawab Adinata cuek.
"Kamu makan lagi?" Tanya Galen bingung.
"Kirana," jawab Adinata membuat Galen semakin bingung dibuatnya.
Galen akhirnya mengangkat tongkat andalannya dan memukul p****t Adinata.
"Auuu!!! Ayah!! Sakit!"
"Lihat ayah! Dan jawab yang benar!"
"Astaga ayah... Apa yang harus aku jelaskan sih?"
"Di mana Kirana? Siapa yang tidur di ruang tamu, dan bekas makan siapa itu?"
Adinata menarik nafas panjang.
"Aku dan Kirana habis tidur bersama di kamar tamu, Ayah. Puas?" Adinata menyuci piring dan gelas dengan cepat lalu hendak pergi namun Galen lagi-lagi mencegahnya.
"Apalagi, Ayah?"
"Kalian sudah... Tidur bersama?" Bisik Galen takut Nou dengar.
"Kenapa ayah bisik-bisik?"
"Takut Nou dengar."
"Nou juga tidak paham, Ayah."
"Hey, jangan salah, anak jaman sekarang itu pintar-pintar tau."
"Ya, tidak di umur 9 mau 10 bulan ayah."
"Ah, kau ini!"
"Sudah ah, aku mau melihat Nou."
"Tunggu."
"Astaga, Ayah...."
"Kirana baik-baik saja, kan?"
"Ehm... Itu, ya, tentu dia baik-baik saja."
"Bohong!"
"Ayah, aku lelah, aku mau bertemu Nou."
"Kamu apakan Kirana semalam? Sampai ia tak bisa keluar kamar, hah?"
"Ini rahasia ranjang, Ayah." Adinata langsung melesat keluar dari kungkungan sang ayah.
"Dasar duda, tidak kira-kira saat bercinta. Pasti Kirana kesakitan sekarang. Kasihan, Kirana. Tapi, senang juga sih, siapa tau aku bisa dapat cucu lagi. Hahaha."