BAB 13

1130 Words
Aiden teriak-teriak di kamarnya. Ia membanting apa pun yang ada di hadapannya. Ia kesal bukan main. Bagaimana bisa Kirana menikah dan Aiden tidak tau? Kenapa Kirana bisa setega itu pada Aiden! Tidak tahukah Kirana jika Aiden sangat mencintainya! Bekerja keras agar bisa sesukses seperti sekarang? Aiden yang pemalas dan suka menghamburkan uang keluarga. Dan ia berani berubah hanya demi seorang Kirana. Dan sekarang apa? Ia bahkan di tinggal menikah begitu saja tanpa ada undangan atau apa pun. Dan, jahat sekali Kirana, karena papa nya baru saja meninggal ia sudah bisa membuat pesta pernikahan dengan orang sombong macam itu. Sudah tua dan punya anak. Tidak tau malu! Aiden benar-benar benci dengan Adinata. Dan ia yakin, bahwa Kirana hanya di manfaatkan saja oleh Adinata. Tidak mungkin pria itu mencintai Kirana semudah itu. Ia pasti menikahi Kirana hanya untuk menjadi babysitter gratis. Aiden yakin itu. Dan kalau memang itu benar. Artinya Aiden harus menyelamatkan Kirana bukan? Aiden tersenyum miring. Kirana menghela nafas saat Aiden kembali mengajaknya pergi. Ia tak masalah walau Kirana sudah menikah. Temannya itu baik sekali. Sudah tampan, sukses dan baik. Wanita mana yang beruntung mendapatkan Aiden nanti. Tapi, bagaimana cara Kirana meminta ijin pada Adinata ya? Kalau Galen sudah pasti tidak mengijinkan, satu-satunya cara hanya Adinata. Kirana mencari waktu yang baik. Ia menunggu Adinata pulang dari kerjanya. Dan saat semua orang sudah tidur, barulah ia bisa bicara pada Adinata. Kira-kira Adinata marah tidak ya, jika Kirana meminta ijin untuk pergi bersama Aiden. Bagaimana pun, kan. Aiden itu laki-laki. Seharian ini Kirana memikirkan bagaimana cara menyampaikan itu pada Adinata. Hingga ia tertidur di kamar Nou. Kirana terbangun saat merasakan sebuah usapan pada tangannya. "Eh, Adinata?" Adinata tersentak karena jemarinya tak sengaja menyentuh lengan Kirana saat ia mengusap wajah sang anak. "Maaf, aku membangunkan mu." "Ah, tidak apa-apa." Kirana bangun perlahan-lahan dan turun dari ranjang. Lalu ia pasang pagar pengaman di ranjang Nou seperti semula. "Ehmm... Adinata." "Hmm?" Adinata berpaling dari Nou dan memperhatikan Kirana. "Ada yang mau aku bicarakan denganmu." "Apa?" "Bisa kita bicara di luar?" Adinata pun mengangguk. Ia mengikuti Kirana yang jalan lebih dulu. Mereka hanya saling diam beberapa saat. Hingga Adinata berdehem dan memecah keheningan. Kirana menatap ragu pada Adinata. "Ada apa? Katakan saja?" "Ehm... Itu, anu... Bagaimana ya." "Tidak tau." "Tidak tau apa?" "Tidak tau bagaimana yang kamu maksud itu." "Eh... Bukan itu maksudku, aduh, aku jadi bingung." "Fikirkan saja dulu, kalau sudah siap, baru panggil aku lagi." Adinata hendak bangun dan pergi. "Bolehkah aku pergi dengan temanku?" Adinata mengehentikan langkahnya dan menoleh. "Pergi? Teman?" Kirana mengangguk. "Siapa?" "Kamu pernah bertemu dengannya." "Oh, ya? Di mana? Siapa namanya?" "Aiden, kamu bertemu di rumahku, waktu kamu dari Surabaya." Adinata diam. Rahangnya mengeras seketika. Ia ingat bocah ingusan itu. Ia berusaha mengajak Kirana untuk pergi dengannya. Ia bahkan tak sopan pada ayahnya. "Apa kamu sangat ingin bertemu dengannya?" Kirana mengangguk. "Kenapa?" Kirana bingung mau jawab apa. "Ya, karena Aiden itu temanku. Teman sekolah dan kuliah dulu. Kami sangat akrab, dan sudah lama kami tidak bertemu, apa salahnya bertemu dan pergi dengannya? Toh, Nou akan aku ajak." Adinata diam. "Nou?" "Ya, Nou." "Aiden tau, kamu bawa Nou?" "Tahu." "Aiden tau kamu sudah menikah?" "Tau." Adinata tak percaya jika Kirana akan mengatakan kepada temannya itu tentang status pernikahan mereka. "Kamu tidak malu mengakui aku sebagai suamimu?" "Kenapa harus malu?" "Wah... Aku tidak menyangka saja, aku fikir, gadis seperti mu, tentu saja mencari yang tampan, lajang dan tentu muda." Kirana menatap tajam ke arah Adinata. "Apa aku tampak seperti itu?" Adinata menggeleng dan tersenyum. "Tidak, itulah kenapa aku langsung melamar mu." Adinata keceplosan dan ia langsung diam. "Benarkah? Jadi alasanmu itu?" Wajah Adinata memerah. "Hmm... Itu bukan urusanmu." "Hey, itu urusanku tau, kamu kan suamiku sekarang, ya, kan?" "Ah, sudahlah, lupakan. Kalau mau pergi, pergilah saja." "Aku diijinkan?" Wajah Kirana sumringah luar biasa. "Ya." "Asiikkkk." Kirana langsung memeluk tubuh Adinata dengan eratnya. Membuat Adinata tersentak kaget. "Segitu senangnya?" "Tentu saja." "Kenapa?" Kirana diam. Ia justru menempelkan wajahnya pada punggung Adinata. "Karena, aku tidak pernah pergi dengan temanku." Adinata merasa bahwa Kirana menahan tangisnya. Adinata lupa, bahwa selama ini Kirana hanya bekerja dan merawat sang papa. Ia tak bisa keluar lama karena tak ada yang menjada papanya. Hidupnya pasti membosankan karena setiap hari hanya melihat kantor dan rumah. Hanya dua tempat itu saja. Pantas saja, saat pertama melihat Nou, ia begitu gembira dan langsung akrab. Tentu saja itu sebagai hiburan tersendiri untuk Kirana setelah jenuh dengan rutinitasnya. Dan, jika, Adinata melarang Kirana untuk pergi dengan Aiden. Bukankah ia terlihat sangat jahat? Adinata mengusap punggung tangan Kirana dan meremasnya. "Pergilah, biar Nou, aku yang urus." "Tidak." Adinata tersentak. "Kenapa? Bukankah Nou akan merepotkan mu nanti?" "Aku tidak bisa jauh dari Nou. Justru, ini kesempatan ku untuk mengajak Nou main di luar. Aku mohon, ijinkan aku membawa Nou." Adinata tersenyum lega. Karena ternyata Kirana betul-betul menyayangi anaknya. "Ya, baiklah. Tapi, aku harap kamu bawa perlengkapan yang lengkap untuk Nou, oke." "Siap! Tenang saja, semua serahkan kepadaku." Kirana hendak melepas pelukannya namun, Adinata menahannya. "Adinata...." "Seperti ini sebentar lagi." Adinata menarik lengan Kirana dan memeluknya. Kirana diam dalam pelukan Adinata. Dan perlahan ia membalas pelukan itu. Ia merasa nyaman dan hangat dalam dekapan sang suami. Galen kesal bukan main saat tau jika Adinata mengijinkan Kirana untuk pergi dengan Aiden. Adinata hanya mencoba memahami Kirana dan tak mau mengekangnya. Bukankah ia juga butuh kebebasan? Adinata tak begitu menghiraukan Galen. Ia memilih keluar dan melihat Kirana tengah di jemput oleh Aiden. Ia memakai mobil sport dan outfitnya nampak santai dengan sweater black dan celana jeans. Nampak fresh dan muda. Adinata menertawakan dirinya yang sudah tua ini. Mana pantas ia memakai pakaian casual seperti itu lagi. Nou bahkan akan tertawa bila melihat dirinya memakai pakaian seperti itu. "Yah...." Adinata tersentak. Ia melambaikan tangan saat Nou memanggilnya. Kirana dan Aiden juga melihat ke arahnya. Baiklah, bersikaplah bersahabat Adinata. "Aku pergi, ya." "Hati-hati." "Permisi, Om!" Aiden nampak terkekeh dengan menyebut Adinata om. Adinata tak begitu menanggapi toh, emang ia layak di panggil itu. Walau usianya tak tua-tua amat sih. Resiko duda dan punya anak, ya, seperti ini, kan? Mereka masuk ke dalam mobil. Nampak Aiden masih sibuk memasukkan tas milik Nou. Adinata terkekeh. Pasti Aiden kesal karena harus repot membawa ini dan itu. Hingga mereka pergi dari rumah Adinata. Ia melangkah masuk kembali ke dalam rumah. Dan di sana Galen sudah menyambutnya dengan tongkat kayu. "Oh, ayah. Jangan pukuli aku seperti waktu aku masih muda." "Kau ini, benar-benar bandel! Sama seperti waktu masih muda! Padahal kau ini sudah tua!" Galen hendak memukul tongkat itu pada tubuh Adinata. Namun, Adinata bisa kabur dan mereka seperti anak kecil yang saling kejar dan teriak. "Ampun, ayah!" "Tidak ada! Dasar anak bodoh! Bisa-bisanya kamu biarkan istri dan anakmu pergi dengan pria lain! Dasar kurang ajar!!!" Adinata akhirnya kabur keluar dan membawa serta mobilnya. "Adinata!!! Kembali!!!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD