Adinata terbangun dan agak tersentak saat merasakan pundaknya kram. Ia melirik ke kanan. Kirana nampak tidur di pundaknya dengan nyenyak. Adinata diam sembari memperhatikan wajah Kirana yang tertidur.
Hingga dokter keluar dari ruang UGD dan mencari keluarga Ibrahim. Dengan perlahan Adinata membangunkan Kirana. Kirana terbangun dan kaget karena ia bisa tidur dalam kondisi seperti ini.
"Maaf, aku...."
"Nggak masalah. Tuh, dokter manggil." Kirana langsung menatap dokter dan dengan cepat menghampirinya. Adinata memperhatikan Kirana yang tengah bicara serius dengan dokter.
Adinata menutup mulutnya saat ia menguap. Ia merasa mengantuk sekali malam ini. Ia lirik jam tangannya. Sudah jam 3 dini hari.
"Capek ya?" Adinata mengangkat kepalanya dan melihat Kirana.
"Oh, enggak, kok."
"Pulanglah, terima untuk bantuannya."
"Kenapa?"
"Apanya?"
"Kenapa tiba-tiba menyuruhku pulang? Apa, Om, baik-baik saja?"
Kirana diam. Lalu ia mencoba tersenyum. "Ya." Jawabannya membuat Adinata tak yakin. Ia raih kedua tangan Kirana dan ia genggam. Tatapan mata mereka bertemu.
"Apa yang terjadi? Ceritakan." Kirana menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.
"Jangan di tahan. Akan sakit nanti." Air mata Kirana meleleh. Bahkan hidungnya sampai berair.
"Dokter bilang apa padamu?"
"Papa... Papaku, kritis... Paru-parunya sudah tak bisa bekerja dengan baik. Di operasi pun percuma... Aku...aku takuttt...." Kirana menangis tersedu. Adinata bangun dan langsung memeluk Kirana.
"Aku harus apa? Aku nggak mau kehilangan papaku, aku takut sendirian, Adinata...."
"Iya, aku tau... Sudah ya, cup, kuat, banyak-banyak lah berdoa."
"Papa mau meninggalkan aku, kenapa papa jahat...kenapa Tuhan...."
"Kirana... Itu takdir... Kamu tidak boleh menyalahkan Tuhan atas apa yang menimpamu."
Kirana terus menangis dalam pelukan Adinata.
Hingga dokter memanggil mereka berdua atas permintaan Ibrahim.
Baik Adinata dan Kirana tak bisa mengatakan apa pun. Di dalam ruangan yang beraroma obat yang menyengat. Di mana di atas ranjang terbaring Ibrahim yang tengah menatap mereka dengan susah payah.
Selang infus dan peralatan lainnya yang di pasang di tubuh Ibrahim membuat nya terlihat semakin tak berdaya. Namun, ia masih bisa mengucapkan sebuah kalimat. Kalimat yang mengubah hidup anaknya.
"Menikahlah kalian di hadapanku, sekarang. Waktuku sudah tak banyak. Aku satu-satunya wali untuk anakku. Setelah aku tak ada, Kirana tak memiliki siapa-siapa lagi."
Kirana dan Adinata saling tatap.
"Tolonglah, ambil keputusan secepatnya. Kondisi pasien kritis." Mereka berdua menatap dokter yang mulai cemas.
"Tapi, orang tua saya...."
"Adinata... Ini ayah." Baik Adinata dan Kirana kaget mendengar suara Galen. Mereka mencari sosok Galen namun tak ada di mana pun. Hingga ia melihat dokter tengah memegang ponsel di mana terdapat wajah Galen.
"Ayah?"
"Menikahlah, ayah restui kalian."
Kirana menatap Adinata. Mereka saling tatap. Kondisi mereka memang terdesak. Hingga akhirnya Kirana melepas cincin pemberian Adinata sebagai mahar pernikahan.
Adinata menerima itu dan saat seorang ustad yang telah di panggil oleh dokter tiba. Adinata pun menikahi Kirana secara siri.
Adinata menyematkan cincin pemberiannya kembali di jari manis sebelah kanan milik Kirana.
Kirana pun mencium punggung tangan Adinata sebagai tanda hormat dan tunduknya ia sebagai seorang istri.
Ibrahim semakin kesulitan bernafas di jam 7 pagi. Adinata yang terjaga langsung membangun Kirana yang tidur di sofa.
"Ada apa?" Tanya Kirana sembari mengucek kedua matanya yang gatal karena terbangun secara mendadak.
"Papa, mu." Kirana langsung melihat ke arah Ibrahim. Ia lompat seketika dari sofa dan mendekat ke arah Ibrahim. Adinata ikut mendekat.
"Papa, kenapa, Pah?" Tanya Kirana.
"Aahhkkk...." Suara Ibrahim tercekat. Ia nampak kesulitan berbicara sekaligus bernafas. Kirana yang menyadari itu langsung lari keluar dan memanggil dokter.
Saat Kirana tak ada. Jemari renta Ibrahim meraih tangan Adinata. Adinata langsung menatap Ibrahim dengan iba.
"To...long... Ja...ga... Ki...Kirana...."
"Insya Allah, Om. Saya jaga amanah Om."
Ibrahim nampak tersenyum lega. Seperti beban hidupnya telah di angkat.
Wajahnya bersinar karena senyum indah Ibrahim. Hingga Kirana tiba. Ibrahim dapat melihat dengan jelasnya. Ia meminta Kirana mendekat padanya.
"Papa...."
"Jadilah istri yang baik, Nak. Jangan kecewakan suamimu."
"Pah...."
"Maaf, Papa, tidak bisa melihatmu bahagia dengan suamimu. Tidak bisa melihat anakmu kelak. Maaf, nak...."
Air mata Kirana sudah deras mengalir. Namun ia menjaga agar tidak sampai terisak.
"Kirana... Ikhlaskan, Papa. Maafkan semua kesalahan, Papa. Agar Papa tenang menyusul ibumu."
Kirana menggigit bibir bawahnya kuat-kuat hingga terasa sakit.
Adinata melirik Kirana yang berusaha mati-matian untuk bersikap tenang. Ia usap punggung Kirana.
"Ki...." Kirana mengambil nafas dalam. "Kirana ikhlas, Papa." Bibirnya bergetar dan tubuhnya semakin lemas, kala melihat senyum indah Ibrahim. Papa yang membesarkan dirinya setelah sang ibu tak ada.
Senyum indah yang menghias hingga kedua matanya tertutup rapat. Adinata mengucap. "Innalilahi wa innailaihi rojiun."
Adinata dan Nou menunggu di dalam mobil setelah penguburan selesai di laksanakan. Hanya Galen yang menemani Kirana di pusara. Menabur bunga sedikit demi sedikit.
Galen tak menyangka jika sahabatnya akhirnya meninggalkan dirinya lebih dulu. Padahal, Ibrahim adalah pria yang sangat kuat dan sehat di masa mudanya. Siapa sangka, penyakit paru-paru menggerogoti tubuhnya sedari lama.
Galen mengusap papan nama yang tertancap di sana. Ibrahim Xavero.
"Semoga Allah memberikan tempat terbaik untukmu, sahabat ku." Kirana menatap Galen. Mereka saling tatap sejenak.
Galen mengusap air mata yang jatuh di pipi Kirana.
"Sudah ya, Kirana. Kamu harus kuat mulai sekarang. Kamu adalah anak om, oh, bukan. Ayah. Kamu harus panggil ayah mulai sekarang. Paham?" Kirana mengangguk pelan.
Galen memberikan tangannya agar Kirana mau pulang bersamanya.
Kirana pun menyambut ajakan Galen. Dan meninggalkan pusara sang papa.