Bab 09

1811 Words
Pagi itu, aroma harum roti panggang dan telur orak-arik memenuhi dapur. Nancy berdiri di depan kompor, mengenakan celana pendek yang hanya sejenkal dari pahanya dan tank top merah menyala yang begitu kontras dengan kulit putihnya. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai, beberapa helai jatuh di leher jenjangnya. Ia sedang sibuk mengaduk telur di atas wajan ketika suara langkah terdengar memasuki rumah. Nancy berhenti sejenak, menoleh ke arah pintu dengan senyum kecil yang tersungging di bibirnya. Matanya berbinar melihat sosok lelaki berpostur tegap, dengan kaus olahraga yang melekat di tubuhnya, basah oleh keringat. Om Vincent baru saja selesai berolahraga pagi. Lelaki itu mengusap keningnya, menghapus butiran keringat yang mulai menetes. Nancy menggigit bibir bawahnya. Pemandangan ini terlalu menggoda. Ia berjalan mendekat, pinggulnya bergoyang halus. "Om Vincent mau kopi?" tanyanya dengan suara mendayu, suaranya lembut seperti bisikan yang disengaja untuk menggoda. Vincent yang baru saja mengambil napas dalam langsung menoleh. Matanya tanpa sengaja menyapu penampilan Nancy dari kepala hingga kaki. Kaki jenjangnya terlihat begitu mulus, lekuk tubuhnya semakin menonjol dengan pakaian minim itu. Apalagi tank top yang dikenakan gadis itu begitu pas di tubuhnya, memperlihatkan bentuk d**a yang montok. Vincent menelan saliva, tenggorokannya mendadak kering. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, mengalihkan fokusnya ke arah meja makan, ke jendela, ke mana pun asal bukan ke tubuh Nancy. Ingat, Sophia! Istrinya! Ia mengembuskan napas berat. Ini keponakan istrinya, bukan wanita yang bisa dia tatap dengan cara seperti itu. Tapi tetap saja, dia laki-laki normal. Pemandangan seperti ini... sungguh ujian berat. Nancy tersenyum kecil melihat ekspresi Vincent yang berusaha menghindari tatapannya. Ia melangkah lebih dekat, jarak mereka kini hanya sejengkal. "Om Vincent mau kopi?" tanyanya lagi, kali ini lebih lembut, lebih menggoda. Vincent tidak bisa menghindari matanya melirik sekali lagi ke arah d**a montok Nancy yang begitu mencolok dengan warna merah menyala itu. Uh! Sial! Ia benar-benar laki-laki normal! Dengan cepat, ia mengusap wajahnya kasar, mencoba mengusir pikiran-pikiran liar yang mulai berkecamuk di kepalanya. "Tidak usah," katanya cepat. "Biar Sophia nanti yang buatkan. Aku akan ke kamar sekarang." Tanpa menunggu reaksi dari Nancy, Vincent bergegas melangkah pergi, meninggalkan dapur secepat mungkin sebelum pikirannya benar-benar lepas kendali. Nancy menatap punggung Vincent yang menjauh dengan senyum tipis di wajahnya. Lelaki itu memang tampak berusaha menghindarinya, tapi Nancy tahu… Vincent tergoda. *** Vincent berdiri di depan wastafel, mengusap wajahnya dengan kasar, membiarkan air dingin mengalir dan membasuh setiap inci kulitnya. Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri, tetapi bayangan tubuh seksi Nancy terus menghantuinya. Sial! Gadis itu memang menggoda. Terlalu menggoda. Vincent segera menanggalkan pakaian olahraganya dan masuk ke bawah pancuran. Air dingin menyentuh kulitnya, memberikan sensasi segar yang ia harapkan bisa meredam gejolak dalam dirinya. Tapi tetap saja, ingatan tentang bagaimana Nancy mendekat dengan pakaian minimnya, suara lembutnya yang menggoda, dan cara gadis itu menggigit bibirnya masih menempel kuat di pikirannya. Ia menggeleng keras, berusaha mengusir semua itu. Ini salah! Nancy adalah keponakan istrinya! Ia tidak boleh tergoda, tidak boleh! Setelah beberapa menit berdiri di bawah pancuran, Vincent akhirnya merasa cukup tenang. Ia mengambil handuk dan segera mengeringkan tubuhnya. Setelah berpakaian, ia keluar dari kamar mandi dan menemukan Sophia sedang berdiri di depan cermin rias. Istrinya itu sedang memoleskan sedikit makeup di wajahnya, sesuatu yang selalu ia sukai. Sophia tidak pernah berdandan berlebihan, tetapi kecantikannya tetap terpancar alami. Vincent mendekat, lalu mengecup pipi istrinya sekilas. Sophia tertawa pelan dan berbalik, mengalungkan tangannya ke leher suaminya. "Pagi, sayang," sapanya lembut, tersenyum manis seperti biasa. Vincent ikut tertawa kecil. Tatapan hangat Sophia sedikit mengurangi kegelisahannya. Ia membalas dengan merangkul pinggang istrinya sebelum menariknya keluar dari kamar. Saat tiba di ruang makan, matanya langsung menangkap sosok Nancy. Gadis itu sudah berganti pakaian. Kini ia mengenakan dress warna maroon selutut yang lebih sopan dibandingkan outfit paginya. Rambut panjangnya tertata rapi, dan ia tersenyum lembut begitu melihat Sophia. "Pagi, Tante Sophia," sapa Nancy ramah. Sophia mengangguk, lalu menatap meja makan. Sarapan yang Nancy buat tampak menggugah selera. Ia tersenyum puas. "Wow, sarapannya terlihat lezat. Nancy memang pintar memasak," puji Sophia tulus. Nancy tertawa kecil dan mengangguk. "Terima kasih, Tante. Aku hanya ingin membantu." Vincent berusaha keras untuk tidak terlalu memperhatikan Nancy, tetapi sulit baginya untuk mengabaikan gadis itu sepenuhnya. Apalagi setelah godaan tadi pagi. Ya Tuhan, ini benar-benar ujian untuknya. Nancy berdeham pelan sebelum berkata, "Tante, hari ini aku mau pergi dengan teman-teman. Mumpung libur kerja. Boleh, kan?" Ia menatap Sophia dengan senyum manis, matanya berbinar seperti anak kecil yang meminta izin untuk bermain. Sophia, yang sedang menuangkan kopi untuk Vincent, mengangguk tanpa ragu. "Tentu, sayang. Tapi jangan pulang terlalu malam, ya?" Nancy tersenyum, tetapi dengan cepat menambahkan, "Aku mungkin tidak akan pulang malam ini, Tante." Sophia mengernyit sesaat, tetapi lalu tersenyum kembali. "Baiklah, yang penting kamu jaga diri, ya?" Nancy tertawa kecil, meletakkan tangan di dagunya, lalu berkata dengan nada menggoda, "Aku pasti akan jaga diri... untuk lelaki yang menarik perhatianku." Di akhir kalimatnya, Nancy melirik Vincent sekilas—tatapan yang cepat tetapi penuh arti. Tatapan itu hanya sekian detik, tetapi cukup untuk membuat Vincent menegang. Sial. Gadis ini benar-benar tahu bagaimana membuatnya gelisah. Sophia tertawa mendengar ucapan Nancy. Ia menepuk lembut tangan keponakannya dan berkata, "Lelaki itu pasti beruntung bisa mendapatkanmu nanti." Nancy terkekeh, kembali melirik Vincent dengan senyum penuh arti. "Tentu saja," katanya ringan, seolah itu hal yang wajar. Vincent, di sisi lain, berusaha keras untuk tetap fokus pada makanannya. Ia menggigit roti panggangnya dengan kaku, seakan itu bisa mengalihkan pikirannya dari godaan Nancy yang semakin terang-terangan. *** Nancy berdiri di depan cermin besar di apartemen Clara dan Terry, mengenakan lingerie hitam yang nyaris transparan. Jemarinya mengelus dan meremas pelan dadanya sendiri, matanya berbinar penuh percaya diri. Ia menatap refleksi dirinya dengan senyum menggoda. "Lelaki yang akan jadi milikku nanti pasti puas denganku," katanya dengan nada menggoda. Clara dan Terry, yang duduk di tempat tidur sambil menyeruput minuman mereka, tertawa kecil melihat tingkah Nancy. "Kamu memang seksi, Nancy. Tidak ada pria yang bisa menolakmu," ujar Clara, mengedipkan mata jahil. Terry mengangguk setuju. "Malam ini kita bersenang-senang di klub, dan aku yakin banyak pria tampan yang akan tergoda melihatmu." Nancy mengibaskan rambut panjangnya dengan anggun. "Tentu saja. Aku ingin menikmati malam ini sepenuhnya." Ia menggigit bibir bawahnya dengan gaya yang menggoda, membuat Terry dan Clara kembali tertawa. Malam ini, Nancy tidak hanya ingin bersenang-senang. Ia ingin membuktikan bahwa ia bisa menarik perhatian siapa pun yang ia inginkan. Namun … dia hanya akan menyerahkan keperawanannya pada Om Vincent tersayang. *** Musik berdentum keras, lampu-lampu warna-warni berputar mengikuti irama, dan aroma alkohol bercampur dengan parfum mahal memenuhi udara. Nancy melangkah memasuki klub malam bersama Clara dan Terry, tubuhnya bergerak dengan anggun, penuh percaya diri. Malam ini, ia mengenakan gaun mini hitam dengan belahan tinggi di paha, memperlihatkan kulit putih mulusnya. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, dan ia berulang kali mengibaskannya dengan anggun. Setiap langkahnya menarik perhatian, membuat beberapa pria yang ada di sana menoleh dan menatapnya dengan penuh ketertarikan. Nancy tahu dirinya menarik. Dan ia menikmati setiap tatapan itu. Mereka memilih duduk di salah satu meja yang terletak tidak jauh dari bar. Nancy memesan minumannya, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Suasana begitu hidup—pria dan wanita menari, bercakap-cakap, atau sekadar bersantai sambil menikmati minuman mereka. Nancy menyeringai ketika beberapa pria dari kejauhan mengedipkan mata padanya. Dengan penuh percaya diri, ia membalas dengan kedipan mata yang lebih menggoda, membuat mereka semakin tertarik. Clara tertawa kecil. "Lihat itu, kamu baru datang sudah menarik perhatian banyak pria." Terry mengangguk setuju. "Malam ini pasti seru." Nancy hanya tersenyum misterius. Ia tahu malam ini akan menyenangkan. Namun, ia tidak tahu bahwa kejutan besar menunggunya. *** Di sisi lain klub, seorang pria tinggi dengan rahang tegas dan tubuh atletis melangkah masuk. Vincent. Ia mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung sampai siku, memperlihatkan lengan kekarnya. Rambutnya sedikit berantakan setelah seharian bekerja, tetapi itu justru membuatnya terlihat semakin menarik. Vincent bukanlah tipe pria yang sering datang ke klub, tetapi malam ini ia membuat pengecualian. Ia memiliki janji dengan dua temannya, Jordan dan Edward, yang sudah lebih dulu tiba. Begitu melihat Vincent, Jordan mengangkat gelasnya. "Akhirnya kau datang!" Edward ikut tertawa kecil. "Kami hampir mengira kau membatalkan janji." Vincent menggeleng sambil tersenyum tipis. Ia berjalan menuju meja mereka dan bertos dengan kedua sahabatnya sebelum duduk dan memesan minuman. “Aku datang. Tapi hari ini sangat panjang sekali.” "Hari yang panjang?" tanya Jordan, menyesap minumannya. Vincent menghela napas. "Kau tidak tahu separah apa." Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, mencoba menikmati suasana malam ini. Namun, saat matanya secara refleks menelusuri ruangan, sesuatu membuatnya terdiam. Matanya membola. Di salah satu meja, seorang wanita dengan gaun mini hitam duduk santai, kaki jenjangnya terangkat sedikit, memperlihatkan betapa sempurnanya bentuk tubuhnya. Wanita itu menggoda beberapa pria dengan tatapan dan senyumannya yang memikat. Nancy. Oh, s**t. Mata Vincent membesar, napasnya seketika tertahan. Nancy… dengan pakaian kurang bahan seperti itu? Bahkan, ia bisa melihat tali lingerie menyembul sedikit dari gaunnya. Astaga! Jantung Vincent berdegup lebih cepat. Ini adalah pertama kalinya ia melihat Nancy di luar rumah—dan gadis itu terlihat sangat… liar. Tidak seperti di rumah, di mana ia selalu bersikap manis di depan Sophia. Dan sekarang? Ia sedang menggoda pria lain di klub malam. Dengan pakaian seperti itu. Vincent meremas gelasnya lebih erat. Sial! Kenapa aku merasa marah? ** Vincent menyesap minumannya dengan kasar, berusaha mengalihkan pikirannya, tetapi matanya tetap terpaku pada Nancy. Gadis itu meneguk minuman beralkohol dengan santai, tertawa bersama teman-temannya, sebelum bangkit dan berjalan ke lantai dansa. Dan saat itu, tubuh Vincent semakin menegang. Nancy mulai menggerakkan tubuhnya mengikuti dentuman musik yang menggetarkan ruangan. Pinggulnya berayun dengan begitu menggoda, tangannya meluncur ke atas, membiarkan rambut panjangnya jatuh berantakan. Gaunnya yang sudah sangat minim semakin naik, memperlihatkan paha mulusnya yang panjang. Vincent menelan ludah. Namun, ia hampir meremukkan gelas di tangannya saat melihat Nancy tiba-tiba merangkul seorang pria. Pria itu tampak menikmati, tangannya mulai melingkar di pinggang Nancy, menariknya lebih dekat. Nancy tidak menolak—sebaliknya, ia justru tertawa dan menempelkan tubuhnya pada pria itu, menggoda tanpa beban. Vincent menggertakkan giginya. Ia bisa merasakan dadanya sesak oleh amarah yang bahkan tidak bisa ia jelaskan. Apa yang dia lakukan?! Jari-jarinya mengetuk meja dengan gelisah. Ia tahu ia tidak berhak marah. Nancy bukan miliknya. Gadis itu bebas melakukan apa pun yang ia mau. Tetapi, melihatnya berdekatan dengan pria lain, dengan pakaian seperti itu, bergerak menggoda di lantai dansa… Sial! Ia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba untuk tetap duduk dan tidak melakukan tindakan bodoh. Ia bahkan tidak berani mendekati Nancy. Akan terlalu berbahaya. Ia akan memperhatikan dari jauh saja. Namun, matanya kembali tertarik ke arah Nancy—dan kali ini, bagian tertentu dari tubuh gadis itu membuat pikirannya semakin kacau. Bokong bulat itu. Vincent menelan ludah lebih keras. Gaun Nancy yang naik semakin memperlihatkan lekukan tubuhnya yang sempurna. Gerakannya yang sensual membuatnya sulit mengalihkan pandangan. Ia meremas gelasnya, mencoba mengendalikan diri. Tetapi pikirannya sudah dipenuhi oleh imajinasi yang seharusnya tidak ia bayangkan. Oh, sialan! Bagaimana b****g bulat itu menjepit kejantanannya dan membuat Vincent mengeluarkan cairannya di paha putih itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD