Nancy menatap Vincent dengan sorot mata menggoda, lalu dengan lembut ia mengulurkan tangan, jemarinya yang lentik menyentuh lengan pria itu. Sentuhan kecil itu saja sudah cukup membuat Vincent menegang.
"Om Vincent," suara Nancy terdengar begitu lembut dan manja. "Tolong bantu aku sedikit..."
Vincent menegang. "Bantu apa?" tanyanya, meskipun firasatnya sudah mengatakan bahwa ini tidak akan berakhir dengan baik.
Nancy tersenyum sebelum berbalik, membelakangi Vincent. "Resleting gaunku... bisa tolong naikkan?" tanyanya penuh kepolosan yang jelas dibuat-buat.
Vincent langsung membeku. Matanya kini menatap punggung putih mulus Nancy yang terbuka lebar. Gaun itu memang memiliki potongan rendah di belakang, memperlihatkan kulit halus yang sama sekali tak tertutup. Napasnya tercekat.
Sial. Ini tidak baik.
Dia lelaki normal. Sangat normal. Dan di hadapannya sekarang ada seorang wanita muda, cantik, dan menggoda yang dengan sengaja membiarkan dirinya dalam posisi rentan seperti ini.
Vincent menelan salivanya kasar. Tangan kanannya terangkat, tetapi ia segera mengepalkan jemarinya kuat-kuat. Tidak. Ia tidak boleh berpikiran macam-macam. Ingat Sophia. Ingat istrinya.
Namun, Nancy tetap diam di tempatnya, menunggu dengan sabar. Ia tahu Om Vincent pasti akan melakukannya. Lelaki mana yang bisa menolak godaan seperti ini?
Vincent menghela napas panjang. Baiklah, ia hanya perlu menyelesaikan ini dengan cepat. Tidak lebih.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menyentuh ujung resleting gaun Nancy. Kulit tangannya secara tidak sengaja menyentuh punggung mulus itu, dan seketika tubuhnya menegang lebih keras.
Sial. Mulus sekali.
Vincent tidak bisa memungkiri kenyataan itu. Tidak ada yang bisa memungkiri betapa sempurnanya kulit Nancy. Tapi ia bukan remaja labil yang mudah tergoda. Ia harus menyelesaikan ini secepat mungkin.
Dengan sedikit tarikan, ia mulai menarik resleting itu ke atas, mencoba menghindari kontak kulit yang lebih lama dari seharusnya. Tetapi sialnya, semakin ia menarik, semakin tangannya menyentuh punggung Nancy.
Nancy tetap diam, tetapi bibirnya melengkung dalam senyuman kecil. Ia bisa merasakan bagaimana jari-jari Vincent sempat ragu sebelum akhirnya menyelesaikan tugasnya.
Setelah selesai, Vincent segera menjauhkan tangannya dan berkata dengan gugup, "Sudah."
Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, ia langsung berbalik dan melangkah cepat menuju kamar. Tidak, bukan melangkah—lebih tepatnya berlari.
Nancy yang masih berdiri di tempatnya, hanya tersenyum penuh kemenangan. Ia menyedekapkan tangan di depan d**a, lalu terkekeh kecil.
"Lelaki mana yang bisa menolak gadis seksi seperti aku?" bisiknya sambil mengibaskan rambut panjangnya dengan anggun.
Om Vincent boleh saja melarikan diri malam ini. Tapi Nancy tahu, tidak ada pria yang benar-benar kebal terhadap pesonanya.
***
Vincent menutup pintu kamar dengan cepat, hampir membantingnya. Dadanya naik turun, napasnya berat. Ia mengusap wajahnya kasar, mencoba menghilangkan bayangan kulit mulus Nancy yang masih melekat di pikirannya.
Sial. Ini tidak benar.
Ia menggeleng keras, lalu menoleh ke tempat tidur, menemukan Sophia yang sudah berbaring dengan tenang, matanya terpejam. Napasnya teratur, menandakan bahwa istrinya sudah benar-benar lelap.
Vincent menatapnya sejenak, lalu berjalan mendekat. Tanpa berpikir panjang, ia membungkuk di sisi tempat tidur, jemarinya menyentuh bahu Sophia.
"Sophie," bisiknya sambil menggoyangkan bahunya perlahan. "Bangun sebentar, sayang."
Sophia bergeming. Ia hanya menggeliat sedikit, lalu kembali diam.
Vincent mendesah, tetapi tidak menyerah. Kali ini, ia menunduk lebih dekat, menyentuh pipi Sophia dengan ujung jemarinya. "Aku butuh kamu," bisiknya lirih, nada suaranya lebih berat, mengandung maksud yang jelas.
Namun, yang ia dapatkan hanyalah gumaman kecil dari Sophia. "Mmm... Besok saja, Vin... Aku capek..." suaranya terdengar lemah dan mengantuk, sebelum akhirnya ia kembali tenggelam dalam tidurnya.
Vincent terdiam.
Sial.
Ia mengusap wajahnya lagi, lebih kasar dari sebelumnya. Badannya terasa panas, pikirannya kacau.
Dan yang lebih parah, semakin Sophia menolaknya, semakin pikirannya kembali pada Nancy. Pada kulit mulus itu. Pada resleting yang ia tarik perlahan. Pada sentuhan singkat di punggungnya.
Argh! Tolong hilangkan pikiran itu!
Vincent menggelengkan kepalanya keras-keras, mencoba mengusir bayangan itu. Namun, semakin ia berusaha, semakin jelas gambaran Nancy di benaknya.
Ia membuang napas panjang dan langsung berbaring di samping Sophia, membelakangi istrinya. Tangannya mengepal di atas selimut, rahangnya mengatup rapat.
Tidak. Ia tidak boleh membiarkan pikirannya tersesat. Ini salah. Ia mencintai Sophia. Ia hanya perlu tidur dan melupakan semuanya.
Namun, mata Vincent tetap terbuka, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang baginya.
***
Vincent berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka lebar, menatap langit-langit kamar yang gelap. Tubuhnya terasa panas, pikirannya kacau. Ia mencoba memejamkan mata, memaksa dirinya untuk tidur, tetapi tidak bisa.
Sial.
Sesak di celananya semakin menjadi-jadi, membuatnya tersiksa. Napasnya berat, dadanya naik turun dengan tidak beraturan. Ia berusaha mengabaikan sensasi itu, tetapi percuma.
Bayangan Nancy kembali muncul di pikirannya. Gaun ketat yang membentuk lekuk tubuhnya. Punggung putih mulus yang sempat disentuhnya. Aroma parfum yang masih teringat jelas di hidungnya.
Vincent mengerang pelan dan duduk tegak di tempat tidur. Tidak, ia tidak bisa terus seperti ini.
Dengan langkah berat, ia bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Ia menutup pintu dengan cepat, lalu bersandar pada dinding, menghela napas panjang.
Tangannya bergerak ke ikat pinggang, lalu dengan gerakan cepat ia melepaskan celananya. Jarinya mencengkeram bagian bawah perutnya, mencoba meredakan ketegangan yang sudah tidak bisa ditahan lagi.
Saat tangannya mulai bergerak, pikirannya langsung dipenuhi oleh bayangan Nancy.
Ia mengerang pelan.
Sial. Ia tidak seharusnya memikirkan ini. Tidak seharusnya membayangkan Nancy.
Tetapi otaknya seakan tidak bisa dikendalikan. Ia melihat lagi kulit mulus itu, punggung yang sempat disentuhnya. Bayangan Nancy yang mencondongkan tubuhnya, suara lembutnya yang bertanya apakah gaun itu cocok untuknya.
Vincent menggeram, menekan dahinya ke dinding.
Ia sudah gila!
Nancy itu keponakan Sophia! Ia harus ingat itu!
Tangannya semakin mengeratkan cengkeraman, tetapi bukan karena gairah—melainkan karena amarah pada dirinya sendiri.
Ia harus setia pada Sophia.
Dengan satu tarikan napas panjang, Vincent akhirnya menyelesaikan apa yang perlu diselesaikan. Tubuhnya melemas seketika, tetapi perasaan bersalah langsung menghantamnya begitu keras.
Ia mengusap wajahnya kasar, lalu menyalakan keran air, membiarkan air dingin membasahi tangannya.
Sial. Ia tidak boleh terus seperti ini.
Ia harus menghindari Nancy. Bagaimanapun caranya.
***
Nancy duduk di depan cermin kamarnya, menatap bayangannya sendiri dengan penuh kekaguman. Gaun ketat yang masih melekat di tubuhnya benar-benar menonjolkan setiap lekuknya dengan sempurna. Ia mengusap dadanya perlahan, bibirnya melengkung dalam senyuman puas.
Tawa kecil keluar dari bibir merahnya. "Aku memang cantik dan seksi," bisiknya pada dirinya sendiri, jemarinya dengan lembut menyusuri kulit halusnya.
Bayangan Om Vincent yang tadi begitu gugup saat menarik resleting gaunnya kembali terlintas di benaknya. Pria itu jelas tergoda, meskipun berusaha keras untuk menyembunyikannya. Matanya, sentuhannya, dan cara ia buru-buru pergi begitu saja—semuanya membuktikan bahwa ia sudah mulai jatuh dalam perangkapnya.
Nancy menyeringai. "Sebentar lagi, Om Vincent akan benar-benar terpikat padaku," katanya dengan nada penuh kemenangan.
Ia berdiri dari kursinya, berjalan perlahan ke arah tempat tidur dengan langkah anggun, lalu merebahkan dirinya. Tangannya memainkan ujung rambut panjangnya sambil membayangkan bagaimana nantinya Vincent tidak bisa menahan diri lagi.
Ia sudah memenangkan separuh pertempuran. Sisanya hanya soal waktu.
"Hahaha..." tawa lembutnya menggema di kamar yang sepi.
Nancy akan memiliki Om Vincent. Bagaimanapun caranya.
“Om Vincent… kau akan merasakan lubang perawanku Om. Dan aku akan merasakan p***s besarmu sebentar lagi.” Seringai Nancy membayangkan memiliki Om Vincent untuk dirinya.