Bab 07

1096 Words
Nancy masuk ke dalam rumah tantenya dengan langkah cepat setelah pulang kerja. Di ruang tamu, Sophia langsung menyambutnya. Saat itu, Sophia melihat Vincent yang tampak lelah. Tanpa ragu, Sophia menghampiri Vincent, memeluknya, mengusap lengannya, dan memberikan kecupan di bibirnya. Vincent tersenyum kecil karena kehangatan itu. Nancy melihat kejadian itu dan mendengus, merasa tidak senang. Dalam hati, ia berkata, “Sial! Lihat saja nanti. Pasti Om Vincent akan jadi milikku.” Nancy lalu berkata lembut kepada tantenya, “Aku mau ke kamar dulu, Tante.” Sophia mengangguk dan menyuruhnya turun nanti saat makan malam sudah siap. Sebelum masuk ke kamarnya, Nancy melirik ke arah Vincent sambil berpikir, “Uhh! Om tampan itu memang menggoda.” Di kamar, Nancy segera mengunci pintu dan menuju lemari. Ia mengambil lingerie terbaik yang sudah disiapkan. Tanpa banyak omong, Nancy berganti dari pakaian kerjanya ke lingerie hitam yang pas. Ia berdiri di depan cermin, memeriksa penampilannya dengan cermat. Pikirannya langsung tertuju pada Vincent, membayangkan betapa ia akan terkesima melihat penampilannya. Dengan senyum sinis, Nancy berkata dalam hati, “Hahaha... Dia memang sudah gila. Tapi Om Vincent tidak bisa dilewatkan.” Nancy memastikan rambutnya tertata rapi dan menyemprotkan parfum favoritnya. Semua persiapan dilakukan dengan cepat dan efisien, tanpa basa-basi. Fokusnya hanya pada satu tujuan: membuat Vincent memperhatikannya nanti malam. *** Vincent melangkah ke ruang makan dengan langkah santai, tetapi tubuhnya langsung menegang saat matanya menangkap sosok Nancy yang berdiri di dekat meja. Gaun yang dipakai gadis itu begitu ketat dan membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rambut panjangnya tergerai indah, dan wajahnya tampak segar dengan riasan tipis yang mempertegas kecantikannya. Ia menelan ludah tanpa sadar. Sial. Matanya seharusnya tidak terpaku seperti ini. Namun, saat ia mengalihkan pandangan, yang terlihat adalah Sophia, istrinya, yang duduk di kursinya dengan tenang. Berbeda dari Nancy yang tampak begitu menonjol, Sophia hanya mengenakan dress longgar berwarna pastel, rambutnya dicepol sederhana, tanpa riasan mencolok ataupun wewangian yang menguar kuat. Dada Vincent berdesir dengan perasaan aneh. Bukannya ia tidak menghargai istrinya, tetapi kontras yang begitu mencolok antara Sophia dan Nancy membuatnya tidak bisa mengabaikan betapa menawannya Nancy saat ini. Nancy menyadari tatapan Vincent dan menyeringai tipis. "Om Vincent, kenapa diam saja? Tidak lapar?" suaranya terdengar lembut dan menggoda. Ia sengaja mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, membuat garis leher gaunnya semakin terbuka. Vincent mengalihkan pandangan dengan cepat dan berdeham. "Aku lapar," jawabnya singkat, mencoba mengendalikan pikirannya. Nancy duduk dengan anggun di kursinya, berhadapan dengan Vincent. Sesekali, ia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dengan gerakan yang tampak santai, tetapi penuh dengan kesan menggoda. Tangannya memainkan gelas di depannya, jari-jarinya yang lentik berlarian di sepanjang tepiannya dengan gerakan ringan yang terlihat tidak disengaja, tetapi jelas memiliki makna tersembunyi. Sophia, di sisi lain, tetap tenang menikmati makanannya. Ia tidak menunjukkan sedikit pun tanda terganggu oleh kehadiran Nancy. Baginya, keakraban Vincent dan Nancy bukanlah sesuatu yang mengusik hatinya. Ia mengenal Vincent lebih dari siapa pun, dan ia juga tahu bahwa Nancy memang seseorang yang menyukai perhatian dan Nancy adalah keponakannya yang begitu baik. Makan malam berlangsung dengan cukup nyaman, meskipun ada ketegangan samar yang hanya disadari oleh Vincent sendiri. Nancy terus saja mencari cara untuk menarik perhatiannya—entah itu dengan menjatuhkan sendok dan membungkuk terlalu rendah untuk mengambilnya, atau dengan sesekali tertawa kecil dengan suara lembut yang dibuat lebih manja. Vincent berusaha fokus pada makanannya, tetapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa pesona Nancy begitu kuat malam ini. Namun, setiap kali pikirannya mulai melayang, matanya kembali tertuju pada Sophia, yang masih duduk dengan tenang, menikmati makan malam tanpa sedikit pun terlihat terganggu. Ia menghela napas. Tiba-tiba, sebuah perasaan aneh muncul dalam dirinya. Mungkin benar Nancy tampak menarik malam ini, tetapi justru ketenangan dan kesederhanaan Sophia yang entah bagaimana membuatnya merasa nyaman. Tanpa berpikir panjang, Vincent menaruh sumpitnya dan menoleh ke arah istrinya. "Sophie, habis makan kita keluar sebentar, ya?" Sophia mengangkat wajahnya, sedikit terkejut. "Hah? Keluar ke mana?" Vincent tersenyum kecil. "Belanja baju baru buatmu. Aku ingin lihat kamu pakai sesuatu yang lebih... menarik." Nancy yang sejak tadi tersenyum penuh kemenangan, tiba-tiba membeku. Perasaan puasnya seketika menguap. Sial! Ia pikir ia telah berhasil menarik perhatian Vincent, tetapi pada akhirnya, pria itu tetap memilih menghabiskan waktunya dengan Sophia. *** Sophia tertawa kecil mendengar ajakan Vincent untuk membeli baju di malam begini. "Belanja baju? Malam-malam begini?" tanyanya dengan nada geli. Vincent mengusap tengkuknya, merasa sedikit canggung dengan reaksinya sendiri. Ia tidak tahu kenapa tiba-tiba mengajak Sophia belanja. Mungkin karena perasaan bersalahnya atau mungkin ada alasan lain yang bahkan ia sendiri belum pahami. Sophia tersenyum lembut. "Besok pagi saja, ya? Aku sudah lelah. Aku mau ke kamar dulu, biar pelayan yang membereskan meja makan," katanya sambil bangkit berdiri. Nancy memperhatikan interaksi pasangan itu dengan ekspresi netral. Saat Sophia pamit untuk naik ke kamar lebih dulu, Nancy hanya mengangguk sopan. "Selamat istirahat, Tante," ucapnya dengan nada manis. Saat Sophia menghilang dari pandangan mereka, suasana di ruang makan menjadi lebih sunyi. Hanya ada Vincent dan Nancy yang masih duduk berhadapan. Nancy menatap pria itu dengan sorot mata berbinar. Ia menyadari bahwa sejak tadi Vincent berusaha menghindari kontak mata dengannya, seolah takut tertangkap basah sedang memperhatikannya. Hal itu justru membuat Nancy semakin ingin menguji batas Vincent. Dengan sengaja, Nancy mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekat ke meja, membuat belahan dadanya terlihat semakin menonjol di balik gaun ketatnya. "Om Vincent," panggilnya dengan suara yang dibuat lebih lembut dan menggoda. Vincent menelan salivanya. Ia tidak bisa menghindari pandangannya dari pemandangan yang tersaji di depannya. Gaun itu benar-benar membentuk tubuh Nancy dengan sempurna, dan dengan posisi tubuh yang seperti ini, bagian dadanya terlihat begitu jelas. Nancy berpura-pura tidak sadar akan reaksi Vincent. "Menurut Om, gaun ini cocok untukku?" tanyanya, suaranya terdengar polos, tetapi matanya bersinar penuh arti. Vincent merasa lidahnya kelu. Keringat mulai mengalir di pelipisnya. Ia tahu betul bahwa ia tidak boleh terjebak dalam situasi ini, tetapi mulutnya justru berkata, "Sangat cocok sekali." Sial. Kenapa ia menjawab seperti itu? Nancy tersenyum tipis, puas dengan reaksinya. "Benarkah? Aku senang mendengarnya," katanya pelan sambil memainkan ujung rambutnya dengan jari-jari lentiknya. Vincent mencoba mengalihkan pandangan, tetapi otaknya tidak bisa berpikir jernih. Situasi ini terlalu berbahaya. Ia harus segera keluar dari sini sebelum ia melakukan sesuatu yang akan ia sesali. Ia berdeham, mencoba menetralkan suaranya. "Aku... aku harus ke kamar juga," katanya buru-buru sambil bangkit berdiri. Namun, sebelum ia bisa pergi, Nancy tiba-tiba berdiri dan berjalan mendekatinya. Jantung Vincent berdegup lebih kencang. Nancy berhenti hanya beberapa inci darinya, terlalu dekat hingga Vincent bisa mencium aroma parfum manis yang ia pakai. "Om Vincent," panggil Nancy sekali lagi, kali ini suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan. Vincent menahan napas. Ia harus pergi. Sekarang juga. Ketika Nancy tiba-tiba saja …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD