Nancy duduk di depan Om Vincent di restoran Jepang, tersenyum manis sambil menatap sang boss sekaligus suami tantenya. Hari itu langit cerah, dan ruang makan dipenuhi aroma masakan khas yang menggoda serta lantunan alunan musik lembut yang menambah kehangatan. Wajah Nancy memancarkan kepercayaan diri, walaupun di balik senyum tersimpan perasaan rumit yang sulit diungkapkan. Ia mengenakan pakaian rapi, tampak anggun dengan gerakan lembut yang membuat setiap mata terpaku.
Di tengah suasana yang tampak damai, Nancy sengaja mencondongkan tubuh ke depan. Gerakan itu dengan sengaja memperlihatkan lekuk dadanya yang agak menonjol, memancarkan pesona yang menggoda. Tindakan halus itu membuat Vincent, pria tampan dan mapan dengan tatapan tajam dan sikap tegas, melirik ke arah lain seketika. Ia jelas menyadari maksud di balik gerakan Nancy, namun keprofesionalannya membuatnya segera mengalihkan pandangan.
Tak lama kemudian, pelayan mendekat membawa menu. Dengan nada tegas namun ramah, Vincent menyuruh Nancy untuk memesan makanan. Suaranya yang berat mengingatkan bahwa ruang profesional harus dijaga, meski Nancy telah mencoba memberikan isyarat dengan senyum dan gerakan tubuh. Nancy tertawa kecil mendengar perintah itu, lalu memeriksa menu sambil menyimpan harapan agar perhatian dari sang boss tetap terpancar meski tak terucap.
Setelah beberapa detik, Nancy mulai berbicara lembut sambil menyentuh lengan Vincent. “Om, bagaimana kalau kita pesan bersama? Mungkin makan satu berdua akan terasa lebih hangat,” godanya lirih, hampir seperti bisikan. Sentuhan ringan pada lengannya itu disengaja, harapan kecil agar Vincent bisa sedikit melonggarkan sikap kaku. Namun, tanpa ragu, Vincent segera menarik tangannya dan menggeleng, menandakan bahwa niat mesra itu tak akan diterima. Dengan tegas, ia langsung memesan makanannya, menutup percakapan yang hampir melenceng dari batas profesional.
Suasana di meja semakin tegang ketika hidangan mulai diantarkan. Nancy jelas berusaha menarik perhatian dengan segala cara. Ia menggerakkan tangannya secara perlahan, memandang Vincent dengan tatapan penuh harap, seolah berharap ada celah untuk keintiman. Namun, sang boss tetap konsisten bersikap profesional. Alih-alih membalas godaan, Vincent mengalihkan pembicaraan ke urusan pekerjaan.
Pembicaraan berubah cepat. Vincent membuka topik mengenai tugas harian Nancy sebagai sekretaris. “Nancy, perhatikan jadwal rapat yang sudah disusun. Tolong pastikan agenda setiap pertemuan tertata rapi dan semua surat masuk terarsip dengan cermat,” ujarnya dengan nada serius namun tidak keras. Nancy yang mendengar instruksi itu mencoba menyembunyikan kekecewaan di balik senyum tipisnya. Ia tahu, usaha menggoda yang telah dilakukannya belum mendapatkan respon yang diharapkan.
Meski hati bergolak, Nancy berusaha mendengarkan setiap instruksi dengan seksama. Ia mengangguk sambil mencatat poin penting mengenai penjadwalan, pengurusan dokumen, dan koordinasi antar departemen. Vincent menyampaikan setiap rincian dengan teliti, memastikan tak ada kekeliruan dalam pekerjaan. Sementara itu, Nancy memendam perasaan tidak puas, merasa usahanya untuk menarik perhatian harus tertutup oleh kewajiban kerja.
Di sela-sela pembicaraan tugas, Nancy mencoba kembali menyisipkan kehangatan. Dengan nada menggoda, ia berkata, “Om, mungkin setelah urusan kerja selesai, kita bisa menikmati waktu istirahat lebih lama, bukan?” Namun, Vincent segera menanggapi dengan tawa ringan, lalu mengalihkan topik ke agenda rapat berikutnya. “Fokuslah pada tugas, Nancy. Urusan pribadi nanti kita bicarakan pada waktu yang tepat,” tegasnya, membuat Nancy yang dalam hati mulai berdecek karena keinginannya tak juga mendapat ruang.
Hati Nancy berubah-ubah seiring berlangsungnya pertemuan itu. Di balik penampilan ceria, tersimpan konflik antara ambisi pribadi dan tuntutan profesional. Ia telah lama menyimpan perasaan tak terungkap, berharap mendapat perhatian dari sosok yang selalu menjadi inspirasinya. Namun kenyataan menunjukkan Vincent jauh lebih mementingkan pekerjaan daripada keinginan yang hendak ia sampaikan. Nancy mulai mempertanyakan apakah upaya mendekatkan diri hanyalah angin lalu atau ada makna yang tersembunyi dalam setiap isyaratnya.
Saat hidangan di meja mulai dinikmati, Nancy tak henti-hentinya mengamati gerak-gerik Vincent. Ia menyaksikan bagaimana sang pria dengan sigap mencampurkan pembicaraan tentang strategi perusahaan dan rincian tugas administratif. Vincent, dengan pengalaman dan ketegasannya, seolah tidak memberi ruang bagi sentuhan keintiman. Topik tentang jadwal, pembagian tugas, serta laporan keuangan mengisi meja dengan suasana formal, sementara keinginan Nancy untuk menyisipkan kehangatan secara perlahan tersingkirkan.
Nancy mencoba mengendalikan situasi, berupaya menyatukan dua dunia yang tampak bertolak belakang. Ia sesekali menyelipkan komentar ringan ketika membahas dokumen dan laporan, berharap momen santai itu memungkinkan Vincent melihat sisi lembutnya. “Om, data yang saya susun rapi, semoga hasilnya memuaskan dan mendukung kesuksesan rapat nanti,” ujarnya penuh harap sambil menyodorkan lembar kerja dengan sepenuh hati. Namun, Vincent hanya mengangguk dan menekankan pentingnya ketelitian serta keseriusan dalam setiap tugas.
Di tengah pembicaraan, Nancy terus mencoba mendekatkan diri melalui sentuhan-sentuhan kecil. Tangan kecilnya sesekali menyentuh lengan Vincent, setiap kontak disertai senyum samar dan tatapan penuh arti. Vincent, walaupun menyadari upaya itu, tetap menjaga jarak dengan sikap profesional. “Nancy, mari pastikan semua dokumen tertata rapi. Urusan ini harus diselesaikan dengan cermat agar tak menimbulkan masalah nanti,” ujar Vincent sambil menatap jadwal yang telah tersusun rapi di atas meja.
Upaya menggoda Nancy semakin kental, namun Vincent tak menunjukkan tanda-tanda tergoda. Ia lebih memilih mengedepankan keunggulan dalam menjalankan peran sebagai atasan. Sementara itu, Nancy merasakan setiap kali mendekat, harapan kecil di hatinya bergetar, lalu pun kembali pudar. Perasaan itu bagai gelombang, naik turun, namun selalu dihadapkan pada kenyataan bahwa batas profesional tidak bisa diabaikan.
Pembicaraan berlanjut dengan topik rencana kerja untuk minggu depan. Vincent menjelaskan bahwa tanggung jawab Nancy meliputi penyiapan presentasi penting serta pengaturan rapat koordinasi antar departemen. Ia dengan tegas mengingatkan agar setiap dokumen diperiksa sebelum diserahkan kepada pimpinan. Nancy, sambil menuruti perintah, merasakan tekanan semakin berat. Setiap instruksi seakan menegaskan bahwa ruang untuk hal lain, terutama perasaan pribadi, tak boleh masuk di lingkungan kerja ini.
Di sela-sela hidangan yang hampir habis, Nancy terdiam sejenak merenungi arti setiap kata yang baru diucapkan. Di dalam pikirannya, tersimpan keinginan tak terucap, meski ia berusaha menundukkan rasa itu. Ia bertanya dalam hati: mengapa usaha mendekatkan diri selalu berujung penolakan? Di dunia profesional, perasaan harus digantikan oleh kinerja. Nancy pun menerima bahwa meski ia berusaha menyisipkan kehangatan lewat gerakan dan kata, tugas harus selalu didahulukan.
Setelah hidangan terakhir tiba, Vincent menatap Nancy yang termenung. Vincent menghela napas kasar.
“Nancy! Kau masih mau di sini? Atau kau mau pulang saja? Bukankah kakimu masih sakit?” Tanya Vincent.
Nancy menyeringai kecil dalam hatinya. Ouh! Om tampan sedang perhatian padanya. Uh! Nancy pengen dipangku deh Om.
“Nancy mau ke perusahaan aja Om. Tapi … kita satu mobilkan?” Tanya Nancy mendayu dan dengan sengaja menurunkan blazernya sedikit memperlihatkan belahan dadanya yang menggoda.
Tadi dia mencondongkan tubuhnya Om Vincent tidak tergoda. Lihat sekarang dadanya hampir terlihat separuh.
Vincent melihat itu menghela nafas kasar. “Nancy, perbaiki bajumu. Di sini banyak lelaki. Tak enak dipandang.” Tegur Vincent.
Nancy mendengar itu mencebik dalam hatinya. s**t! Gagal lagi. Lihat, sampai kapan Om tampan pemilik p***s besar itu bisa bertahan? Nancy tidak akan menyerah tentu saja.
Om Vincent harus menjadi miliknya.
“Hahaha… maaf Om. Nancy gerah banget rasanya. Kayaknya karena tadi makanannya pedas. Nanti kalau dalam mobil, Nancy boleh buka blazernya nggak?” Tanya Nancy mengedipkan matanya seolah seperti anak anjing yang sedang merayu.
Vincent menghela nafas kasar. “Ayo, cepat berdiri. Kau bisa berjalan bukan?” Tanya Vincent.
Nancy menyeringai. “Nggak Om. Papah Nancy lagi, ya, Om. Kaki Nancy sakit. Nanti malah bengkak dan membiru.” Pinta Nancy terdengar menggoda manja.
Vincent mengangguk. Walau dia merasa Nancy menggodanya. Namun Nancy tetap keponakan istrinya. Yang selalu dipuji Sophia. Lagian Vincent tidak akan tergoda oleh gadis ingusan ini.
Vincent sangat setia pada Sophia.