Nancy yang duduk di meja sekretaris di depan ruangan Om Vincent, sesekali melirik ke dalam ruangan tempat lelaki itu bekerja. Walaupun usianya sudah 40 tahun, pesona Vincent masih begitu kuat. Tubuh atletisnya yang terawat dengan baik, wajahnya yang selalu tampak serius namun memancarkan karisma, semuanya membuat Nancy sulit mengalihkan pandangan.
Sambil memainkan ujung rambutnya, Nancy mendesah pelan. Dia harus mencari cara untuk semakin mendekati Vincent. Dengan cepat, ia meraih telepon kantor dan memesan secangkir kopi kepada office boy. Tak lama kemudian, kopi tersebut diantarkan ke mejanya. Nancy tersenyum, mengangguk sebagai tanda terima kasih, lalu perlahan berdiri. Dia berdeham pelan, membenahi blazer merahnya yang ketat, dan melangkah masuk ke dalam ruangan Vincent.
"Om Vincent, ini kopinya," ucap Nancy dengan suara lembut.
Vincent, yang sedang sibuk dengan dokumen di depannya, hanya mengangguk sekilas tanpa menatapnya. "Letakkan saja di meja, Nancy. Terima kasih."
Nancy menyeringai kecil. Ini bukan yang dia harapkan. Dia ingin lebih dari sekadar interaksi formal seperti ini. Maka, dia mengambil langkah berikutnya. Saat ia hendak meletakkan cangkir kopi di atas meja, sengaja ia pura-pura terpeleset, dan kopi panas itu tumpah ke kakinya.
"Aduh!" Nancy berteriak dengan suara melengking, lalu meringis kesakitan. Kopi panas mengalir di kulit kakinya yang mulus. Dia jatuh terduduk di lantai, mengerang pelan.
Vincent yang terkejut langsung berdiri dan menghampirinya. "Nancy, kamu tidak apa-apa?" tanyanya, suaranya penuh kepanikan. Tanpa berpikir panjang, ia membantunya berdiri dan membawanya ke sofa di sudut ruangan.
Nancy menggigit bibir bawahnya menahan senyum saat merasakan sentuhan tangan kuat Vincent di lengannya. Dengan suara yang sedikit lemah dan manja, ia berkata, "Sepertinya tidak, Om. Rasanya perih sekali."
Vincent berlutut di depannya, matanya menelusuri kaki Nancy yang kini memerah karena tersiram kopi. "Tunggu sebentar, aku ambil salep," katanya buru-buru. Ia bangkit dan mengambil kotak P3K di lemari kecil di samping ruangannya.
Nancy menatapnya dengan mata berbinar, tahu bahwa rencananya berjalan lancar. Saat Vincent kembali dan berlutut di hadapannya, ia merasa kemenangan sudah di tangannya.
Vincent membuka tutup salep dan dengan hati-hati mengoleskannya di kaki Nancy. "Kamu harus lebih berhati-hati," katanya pelan, fokusnya tertuju pada kulit putih mulus di depannya.
Nancy mengerjap pelan, berpura-pura kesakitan, tapi dalam hatinya ia menyeringai puas. "Terima kasih, Om Vincent. Om baik sekali," katanya dengan suara pelan dan sedikit mendesah.
Saat itu, mata Vincent tanpa sadar tertuju pada paha Nancy yang sedikit terbuka akibat posisi duduknya. Kakinya yang mulus dan berkilau seolah menjerat pandangan Vincent tanpa bisa ia hindari. Ia menelan ludah, buru-buru mengalihkan tatapan, namun rasa bersalah mulai muncul dalam benaknya. Apa yang sedang terjadi padanya?
Nancy, yang melihat kegugupan Vincent, semakin yakin bahwa ia sudah berhasil menanamkan benih-benih ketertarikan di dalam diri Om Vincent.
"Om Vincent..." panggilnya lembut, dengan mata berkabut penuh arti.
Vincent tersentak dari lamunannya. "Ya?"
Nancy tersenyum samar, lalu menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin berterima kasih lagi."
Vincent menghela napas panjang dan berdiri. "Kalau begitu, kamu bisa istirahat dulu. Jangan terlalu banyak bergerak sampai kakimu terasa lebih baik."
Nancy mengangguk patuh, tetapi dalam hatinya ia tertawa puas. Ini baru permulaan. Dia akan memastikan bahwa Om Vincent tidak akan bisa lepas dari pesonanya.
*
Vincent mengusap wajahnya kasar di dalam kamar mandi yang ada dalam ruangannya. Bayangan kulit mulus Nancy masih terpatri jelas dalam pikirannya. Bagaimana bisa dia terpengaruh seperti ini? Dia bukan pria yang mudah tergoda, apalagi oleh keponakan istrinya sendiri. Vincent mengerang pelan, menggeleng untuk mengusir pikiran-pikiran yang tidak seharusnya ada di benaknya.
Dia menarik napas dalam-dalam, lalu membasuh wajahnya sekali lagi dengan air dingin. Ini tidak boleh berlanjut. Ini harus dihentikan sebelum melewati batas. Sophia adalah istrinya, wanita yang selalu setia mendampinginya selama ini. Dia tidak akan mengkhianati wanita itu.
Namun, ketika Vincent keluar dari kamar mandi dan kembali ke ruangannya, Nancy masih duduk di sofa. Wanita muda itu menatapnya dengan senyum manis, seolah mengetahui betul efek yang telah ditimbulkannya pada Vincent. Mata besar Nancy berbinar, dan bibirnya melengkung menggoda.
Vincent berusaha mengendalikan dirinya. Dia membalas senyuman Nancy, tetapi hanya sebatas sopan. Tanpa berkata apa-apa, dia berjalan menuju meja kerjanya dan kembali tenggelam dalam pekerjaannya.
Namun, Nancy tidak menyerah begitu saja. Ia menatap Om Vincent dengan penuh ketertarikan. Bagaimana bisa lelaki setampan, sekharismatik, dan sekaya Om Vincent hanya dimiliki oleh Tante Sophia yang sudah berumur? Nancy yakin, jika Om Vincent diberikan pilihan, dia pasti lebih memilih wanita yang lebih muda dan lebih menggoda seperti dirinya.
Nancy menggigit bibirnya pelan. Perlahan, ia berdiri dari sofanya dan berjalan mendekati meja kerja Vincent. Dengan gerakan anggun, ia menopang kedua tangannya di atas meja dan mencondongkan tubuhnya ke arah Vincent.
"Om Vincent kelihatan sibuk sekali," ucapnya dengan suara lembut dan sedikit manja.
Vincent mendongak sekilas, lalu kembali fokus pada dokumen di depannya. "Memang, ada banyak laporan yang harus kuselesaikan."
Nancy pura-pura menghela napas. "Padahal aku berharap kita bisa makan siang bersama. Aku ingin mengenal Om lebih dekat, sebagai bos dan juga sebagai keluarga."
Vincent mengerutkan keningnya. "Makan siang bersama?"
Nancy mengangguk, lalu duduk di pinggiran meja dengan santai, sengaja membiarkan kakinya yang jenjang terlihat lebih jelas. "Iya, Om. Aku rasa kita butuh waktu untuk berbicara lebih banyak. Aku kan, sekarang sekretaris Om Vincent. Bukankah wajar kalau kita makan siang bersama?"
Vincent menghela napas, merasa terpojok. Dia tahu tidak ada alasan logis untuk menolak ajakan itu. Sebagai bos, dia memang seharusnya membangun komunikasi yang baik dengan sekretarisnya. Tetapi ada sesuatu dalam cara Nancy berbicara dan bertingkah laku yang membuatnya ragu.
"Baiklah," akhirnya Vincent mengalah. "Kita bisa makan siang bersama, tapi hanya sebatas itu."
Nancy menyembunyikan seringai kemenangannya. "Tentu saja, Om. Aku tidak akan membuat Om merasa tidak nyaman."
Namun, dalam hatinya, Nancy tahu ini adalah langkah awalnya untuk semakin mendekati Om Vincent. Dia akan membuat lelaki itu benar-benar terpikat padanya, hingga akhirnya tidak bisa menolaknya lagi.