9. Bukan Friendzone 3

1123 Words
Hari beranjak sore ketika Geca dan Yugi menyelesaikan tournya mengelilingi museum dan anjungan daerah di TMII. Mereka bahkan sempat juga menonton di teater Keong Mas setelah makan siang dengan Geca yang terus berdecak kagum setelahnya. Hari itu begitu melelahkan untuk Yugi yang memang tidak menyukai kegiatan outdoor dan lebih memilih tidur untuk mengisi hari liburnya. Tetapi rasa lelahnya seolah terbayar lunas dengan keceriaan Geca di sebelahnya. Yugi bukan orang bodoh yang tidak menyadari perasaannya sendiri untuk Geca yang sudah sejak lama berbeda dan bukan lagi perasaan terhadap sahabat. Tetapi ada beberapa alasan yang membuat Yugi tidak juga beraksi atas perasaannya tersebut. Bahkan Yugi tidak juga beraksi saat Geca sempat dekat dan berkencan dengan orang lain. Mereka tengah berjalan keluar dari anjungan Papua--tempat terakhir yang mereka kunjungi dan hendak pulang saat tiba-tiba Yugi menahan ransel Geca hingga gadis itu tertarik ke belakang. "Apasih Gi?" "Naik kereta gantung, yuk?" Yugi menunjuk ke kabel kereta gantung atau gondola yang ada di atas mereka. Geca berkedip, seolah tidak percaya apa yang baru saja dia dengar dari mulut sahabatnya itu. "Seorang Yugi ngajak naik kereta gantung? Gue nggak habis salah denger, kan?" tanya Geca memastikan dengan nada setengah mengejek. Pasalnya ia begitu mengenal Yugi hingga sudah hafal watak sahabatnya tersebut. Seorang Yugi dalam kepala Geca tentu saja tidak mau membuang-buang waktu untuk naik wahana seperti kereta gantung. "Yaudah gue naik aja sendiri." Yugi mengabaikan pertanyaan Geca dan justru berjalan meninggalkan Geca menuju stasiun yang letaknya ada di seberang anjungan. Geca pun bergegas mengejar Yugi yang entah kenapa hari itu berjalan sangat cepat dan tidak malas-malasan seperti biasanya. "Gi, ih, tungguin dong!" Geca hendak mengeluarkan uang untuk membeli tiket untuknya saat Yugi sudah memegang dua buah tiket pertanda Yugi tidak benar-benar akan naik sendirian. Mereka akan berada di kereta berwarna hijau itu selama 20 menit kedepan, memutari TMII dari ketinggian berlatarkan langit sore. Kebetulan sekali mereka naik ke kloter terakhir sebelum loket ditutup. Keduanya duduk bersebrangan dalam diam. Geca tidak banyak bicara karena Yugi pun memilih diam saat mereka menaiki kereta. Entah kenapa meskipun bukan hal baru bagi Geca mengetahui bahwa Yugi memang pendiam, hari ini Geca merasa ada yang berbeda dari sahabatnya itu. Seperti ada sesuatu yang ingin Yugi katakan tetapi hanya dalam kepalanya saja. "Lo tau nggak sih, Gi, gue selalu pingin tau apa yang ada dalam pikiran lo kalau lo lagi diem kayak gitu." Geca akhirnya bersuara, tidak tahan dengan keheningan yang membelenggu mereka pada sepuluh menit pertama perjalanan mereka. Mereka masih punya sepuluh menit lagi dan Geca tidak mau dihabiskan dengan saling diam saja. "Tapi kadang gue juga mikir, mungkin, mungkin lo memang lagi nggak memikirkan apa-apa dalam diam lo." Yugi akhirnya menghela napas, perhatiannya yang semula berada di pemandangan luar jendela kini tertuju untuk sahabatnya sejak SMA. Alasan yang juga kenapa membawanya duduk di atas kereta gantung berwarna hijau tersebut. Sepuluh menit Yugi habiskan untuk berpikir dan memutuskan apakah sudah saatnya ia beraksi atas perasaannya selama ini terhadap Geca atau haruskah ia menanti lebih lama lagi untuk waktu yang ia tidak tau kapan saatnya. Yugi mulai berpikir kalau penantiannya selama ini bukan berdasarkan siap tidak siap melainkan mau atau tidak. Yugi selalu punya moment untuk menyatakan perasaannya. Selalu punya waktu karena Geca bahkan selalu single selama bersahabat dengannya. Hanya sekali Geca pernah memiliki kekasih, itu pun tidak bertahan lebih dari sebulan saat ia masih jadi maba dan tidak bisa menolak senior yang menyatakan cinta padanya karena tidak enak. Yugi tidak pernah tau isi kepala Geca. Tapi Yugi sadar kalau Geca punya tempat tersendiri untuk Yugi. Meskipun Geca juga bersahabat dengan Arjuna dan Jayandra, Yugi selalu menjadi yang pertama Geca cari bukan hanya saat gadis itu senang atau sedih tetapi juga aat gadis itu bahkan tidak memiliki sesuatu yang spesial di hari-harinya, hanya sekedar ingin bicara dengan Yugi serandom mengirimkan sticker line tidak penting atau bombardir meme terbaru dari twitter. Dari sekian kesadaran Yugi akan 'kesempatan' yang sebenarnya selalu Geca berikan untuknya, Yugi terlalu takut untuk memilih mau untuk bertindak dan memilih tidak lalu kembali ke zona nyamannya. "Ca, dari sekian waktu yang udah kita habisin bareng, buat lo yang paling berkesan yang mana?" Geca mengerjap. Dia memang menginginkan Yugi bersuara setelah sepuluh menit hanya diam melamun seperti manekin, tetapi Geca tidak berekspetasi Yugi akan melontarkan pertanyaan demikian. "Uhm... yang malu-maluin atau yang indah?" Geca lalu tertawa sendiri dengan pertanyaannya. "Indah apaan coba, ngaco ya gue? Bentar gue mikir dulu..." Yugi tidak mendelik atau memutar bola matanya seperti reaksi yang sering ia berikan saat Geca bicara tidak jelas atau non-sense. Ia hanya menatap Geca lurus, serius membuat sedikitnya Geca gugup. "Gue permudah, deh. Moment yang selalu mengingatkan lo akan gue hanya dengan melihat hal yang berkaitan sama itu." Geca mengernyit. Kenapa level pertanyaannya jadi semakin sulit? Tetapi Geca masih mencoba berpikir. Kalau boleh jujur, semua hal selalu mengingatkannya dengan Yugi. Karena Yugi memang selalu ada di hidupnya selama hampir enam tahun belakangan hingga semuanya terasa seperti Yugi selalu menjadi bagian dari hari-harinya. Bagaimana Geca harus memilih satu dari sekian banyak moment yang mereka buat? Yugi tiba-tiba tersenyum. Senyum yang membuat sesuatu di hati Geca berdesir hangat. "Buat gue, semua hal selalu mengingatkan gue sama lo, Ca. Bahkan buat hal-hal yang belum pernah kita lakuin bareng, yang terlintas di kepala gue pasti 'Kapan-kapan gue bakal ngajak Geca ke sini.' atau 'Kalau gue sama Geca lakuin ini gimana ya?'. Selalu, Ca." "Lo bukan cuma udah jadi sahabat gue, Ca, tapi jadi bagian dari hari-hari gue selama hampir enam tahun ini. Bahkan ketika kita terpisah jarak atau berantem, lo tetap jadi bagian dari hari gue dengan muncul di kepala gue. Lo tuh kayak kegiatan tidur di dalam kehidupan seseorang. Yang setiap harinya pasti dilakuin sama setiap orang, bahkan di saat mereka mencoba menghindarinya karena punya pekerjaan penting yang harus selesai hari itu juga semenit atau dua menit mereka akan tetap tidur sadar atau tidak sadar. Sama kayak lo, sadar atau nggak sadar selalu muncul di hari-hari gue, butuh nggak butuh tapi tetap gue cari." Geca entah harus terharu atau tertawa karena Yugi menganalogikannya dengan 'tidur' yang mana adalah kegiatan favorit Yugi. Gadis itu tetapi merasa kalau jawaban Yugi hampir sama dengan yang ia rasakan. Yugi juga merupakan bagian dari hari-harinya, dari hidupnya. Geca menunggu--dan berharap--Yugi mengatakan kata-kata lanjutan, yang mungkin akan mengubah hubungan mereka secara resmi. Tetapi sampai kereta hijau itu berhenti di stasiun terakhir di mana mereka harus turun dari kereta gantung karena wahana sudah selesai, Yugi tidak juga mengatakan apa-apa lagi. Apa Yugi hanya ingin menjelaskan pada Geca bahwa Geca memang menjadi bagian dari hari-harinya tetapi hanya sebatas itu. Hanya karena mereka bersahabat dan bukannya lebih. Kepala Geca tertunduk, bahunya merosot tanpa ia sadari dan gumpalan awan hitam berkerubung di kepalanya. Hari yang semula menyenangkan bagi Geca berubah menjadi hari melelahkan yang ingin ia akhiri segera.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD