bc

SILENT BOYFRIEND

book_age12+
32
FOLLOW
1K
READ
tomboy
comedy
sweet
bxg
heavy
genius
ambitious
friendship
school
naive
like
intro-logo
Blurb

"Dasar Boyfie! Gue benci lo! Gue sumpahin lo bisu beneran! Kita putus!"

...

Kejadiannya sudah lama sejak Alisa bertemu pacar misteriusnya. Hari itu, masih melekat jelas dalam ingatan Alisa saat pertama kali mereka bertemu. Kala itu, Alisa terjatuh saat bermain arung jeram bersama rombongan sekolahnya, terbawa arus hingga akhirnya dia terkulai lemah disisi sungai. Dalam keadaan gelap dan dingin, Alisa bertemu Joan untuk pertama kalinya.

Alis, mata, hidung, bibir, dan rahangnya nyaris sempurna. Alisa bahkan berfikir kalau Joan seorang pangeran. Semu sempurna. Kecuali satu, suaranya. Bahkan setelah dua tahun berpacaran, Alisa belum mendengar suara Joan barang sedikit saja.

Sebenarnya, hubungan ini dimulai karena sebuah ketidaksengajaan atas apa yang Alisa ucapkan secara spontan. Di hari ketiga usai di tolong, Alisa kesal karena belum mendengar suara Joan padahal cowok itu tidak bisu.

"Kalau lo gak ngomong juga, kita pacaran!" Alisa berujar marah kala itu.

Joan termangu. Namun, selanjutnya cowok itu mengangguk dan memeluk Alisa.

"W-oy, gue becanda, Lepas!"

Joan menggeleng, menatapnya seakan mengatakan; "Nggak ada penarikan kata, kita pacaran!"

God!

Hari itu, hari tersial sekaligus hari paling memalukan bagi Alisa.

chap-preview
Free preview
PROLOGUE
"Lis, buruan kek jalan lo! Ntar ketahuan Pak Bambang!" Didepan, Bima misuh-misuh kesal, lantaran bukannya berjalan cepat, Alisa justru berdiri santai seraya memainkan ponselnya. Hari ini, mereka akan bolos, lagi. Entah yang sudah keberapa kalinya, Bima juga bingung saking seringnya ia dan teman setannya membolos. Pun, Alisa mendecak kesal kearah Bima. Dia membuka pesan panjang berisi peringatan keras dari pacar mode silentnya. Isinya: "Bby, Joan ada rapat OSIS. Tolong jangan bolos untuk hari ini atau Joan bilangin ke mama. Kamu tahu kan, mama kalau marah seserem apa? Joan juga bakal kena amukannya nanti. Jadi, tolong kerjasamanya ya. Joan sayang kamu." Begitu, tanpa ada emoji love atau apapun. Alisa kembali memasukkan ponsel pada saku setelah bergumam 'nyenyenye' mengejek pesan yang pacarnya kirim. Dia kembali melangkah menuju bagian belakang sekolah, tempatnya pergi membolos. "Lo ngapain dulu sih? Gue nungguin udah kayak kuntilanak gabut disini! Mana banyak semut gigit, tahu aja sama orang ganteng," tutur Bima kembali mengomel. Alisa memutar mata malas, kemudian menaiki tangga yang terhubung langsung dengan pohon diseberang tembok belakang sekolah. "Joan whatsapp gue katanya jangan bolos," balasnya. "Terus lo iyain?" Mendecak lagi. "Kalau gue iyain, ngapain gue disini nemenin lo bolos ege!" Bima merengut tidak terima. "Heh! Lo amnesia apa gimana? Siapa tadi yang maksa gue bolos karena gabut belajar cuma itu itu aja?" "Iya iya maaf!" "Iyi iyi miif." Bima menjawab. "Perasaan tadi gue solat subuh tepat waktu dah, kenapa masih aja kegoda syaiton buat bolos?" Alisa yang sudah kebal dikatai begitu oleh sahabatnya hanya terdiam sambil mengelus dadanya. Berteman dengan Bima memang sangat amat menguji kesabaran. "Artinya iman lo masih cetek," balas Alisa. "Antara iman gue cetek atau aura syaiton lo yang terlalu kuat." "Nyesel banget gue temenan sama lo, Bim." Akhirnya, kesabaran Alisa yang sebesar biji jambu pun habis juga. Bima justru melirik bingung pada Alisa. "Emang kita temen ya?" Menghela nafas panjang. "Lo mau baku hantam sekarang atau lanjut bolos?" Bima tertawa puas, sebab berhasil memancing kesabaran Alisa. Melihat ekspresi menahan kesal sahabatnya adalah hal paling menyenangkan bagi Bima. "Lanjut bolos lah. Btw, lo yang traktir ya. Gue boke." Alisa melompat usai Bima memindahkan tangga ke tembok luar. Dia menepuk-nepuk tangan dari debu lantas berucap, "Gak guna banget punya babu orang kaya." Bima terkekeh. "Uang jajan gue yang seminggu lima juta di potong karena ketahuan solat isya jam 10 malem, Lis." "Lo curhat sekalian pamer?" ujar Alisa sinis. Bima tersenyum lima jari. "Btw, kemana nih, kita?" tanya Bima kemudian. "Kantor Ayah." Bima melotot saking terkejutnya. Pasalnya, ini pertama kali Alisa menyinggung perihal Ayahnya. Sedikit rasa penasaran membuat Bima bertanya, "Lo gak apa-apa kan, Lis?" Alisa melirik sejenak, lalu kembali melangkah. "Gue mau lihat seberapa bahagia Ayah sama keluarga barunya, sampe lupa kalau dia punya gue." Diwaktu-waktu seperti ini, adalah hal yang paling membingungkan bagi Bima. Ia takut salah ucap dan berujung menyakiti perasaan sahabatnya. "Lo yakin? Gak biasanya lo gini," tanya Bima pelan. "Gue... kangen Ayah, Bim," balasnya pelan juga. Terdengar lirih dan entah kenapa hati Bima agak sesak. Ia tahu bagaimana hancurnya Alisa akan perpisahan orangtuanya. Bima merangkul pundak Alisa, mengulas senyum. "Gue yakin Om juga pasti kangen sama lo. Lo anak pertamanya, Lis." "Tapi gue bukan prioritas Ayah, Bim." Bima terdiam seketika. Benar, yang pertama bukan berarti yang selalu diutamakan. "Heh, jangan gitu. Nggak ada orangtua yang membagi kasih sayang secara gak adil. Gue yakin. Lo harus yakin." Alisa terkekeh. Melirik Bima yang merangkulnya. "Sejak kapan lo bijak gini?" "Gue selalu bijak, lo aja yang baru tahu," kesal Bima. "Iya dah si paling bijak." Melotot. Bima melepas rangkulannya. Jika bisa Bima ingin berteriak; selama ini siapa yang selalu ada untuk Alisa? Siapa yang selalu menasihati saat Alisa hilang kendali? Siapa yang rela bajunya basah karena air mata dan ingus Alisa? Siapa yang rela begadang demi mendengar curhatan Alisa tentang keluarga dan pacar mode silentnya? SIAPA COBA? SIAPA?! Hanya saja, waktunya tidak tepat. Bima tahu itu. Jadi, untuk saat ini akan Bima tahan. "Daripada kesabaran gue diuji terus. Mending kita cabut. Gue udah pesen ojol. Buruan keburu ketahuan sama yang mulia baginda Joan." Bima menarik Alisa menuju tempat dimana ojol yang dipesannya sampai. Ia melambai kearahnya. "Sesuai aplikasi ya, Mas," ujar Bima. "Buruan Mas, perasaan saya mulai gak enak nih," lanjut Alisa. Entahlah, tapi hatinya tidak tenang seolah akan terjadi sesuatu. "Perasaan gue malah udah gak enak Lis," sahut Bima disamping begitu melihat kedatangan seseorang. Dan benar saja, baru akan naik. Tangan Alisa dicekal. "Lis liat, asisten Pak Bambang datang," tutur Bima agak gagap. Hal ketiga yang paling Bima takuti setelah Tuhan dan Ayah Bundanya. Joan. Bima spontan meremat tangan Alisa saat melihat Joan mendekat. Lihat tatapan datar dan mengintimidasi itu. Lihat bagaimana cara Joan berjalan cepat demi menyusulnya. Dan lihat bagaimana kedua tangannya mengepal. Sialll! Disaat-saat seperti ini, harusnya ia kabur! Namun, Alisa justru menahan dirinya dengan menginjak kakinya. Double sialll! "L-lis! Sakit anjrit" bisik Bima emosi. Alisa melirik was-was saat langkah Joan kian mendekat. Bagaimana bisa Joan tahu dia ada disini?! "Gimana nih Dek, jadi nggak?" Si Kang Ojol menyela. Tidak tahu saja bahwa mereka sedang mendukung aksi bolos dua remaja yang kini ketakutan itu. "Maaf ya Pak, nggak jadi. Ini uangnya, bintang lima nanti menyusul. Terimakasih." "Nggak jadi? Nggak perlu bayar. Tapi lain kali jangan gini lagi ya," ucapnya kecewa. Joan menatap Alisa dan Bima tajam hingga tubuh keduanya membeku. Lelaki itu tersenyum setelah mengetik sesuatu diponsel. "Nggak apa-apa Pak, ini sebagai permintaan maaf saya. Sekali lagi mohon maaf Pak." Membaca note dari Joan, kedua ojol itu pergi setelah berterimakasih. Joan melirik Alisa Bima yang hendak kabur. Ia menahan lengan Alisa untuk menghentikannya. Belum apa-apa, bulu kuduk Bima berdiri seperti sedang bertemu hantu. Tapi sungguh, Joan jika dalam mode serius, tegas, atau marah memang sangat menyeramkan. Seperti saat ini. "Joan, kita bestai kan?" tanya Bima. Ia menelan ludah susah kala Joan hanya menanggapi dengan tatapan datarnya. "Gue di paksa Alisa, Jo. Serius gue gak pernah bohong sama lo," belanya lagi. Sedangkan Alisa langsung melotot seketika. Berteman dengan Bima adalah sebuah kesalahan besar. Setidaknya jika mereka sedang kepergok begini. "Lepas!" tekan Alisa. Namun cengkraman Joan justru kian erat. "Lis mending kita nyerah dulu," saran Bima berbisik. "Gak ada kata nyerah dalam kamus hidup gue!" balasnya tidak mau kalah. Gengsi dong kalau menyerah begitu saja pada Joan. Lagipula, Alisa ingin mencoba cara baru untuk membuat Joan bicara. Gadis itu menyeringai dalam diam. Sementara Bima bergidik ngeri. Titisan syaiton memang beda. "Berarti Lo jarang baca makanya gak ketemu," jawabnya. "Lis, liat deh Joan udah emosi banget liat muka lo. Yuk bisa yuk, nyerah," lanjutnya sedikit memohon. Bukan apa-apa, Bima masih sayang nyawa. Alisa menyikut perut Bima lantaran kesal. Ditambah saat melihat note yang Joan tulis. "Bby nggak takut di DO? Nurut dong sama Joan. Apa sesusah itu diam dikelas? Biasanya juga push rank sama Roni." "Emang susah mau apa lo?" tantang Alisa semakin Bima rutuki kelakuannya. Joan menghela nafas. "Nggak semua kesalahan bisa di tolerir. Gimana kalau pihak sekolah bertindak lebih?" Alisa mendengus. "Dan nggak selamanya gue sabar sama lo." "Lis!" Bima menyela. Pembicaraan ini mulai serius dan merembet kemana-mana. Bima yakin, agenda bolos kali ini tidak hanya tentang Alisa yang ingin melihat kebahagiaan Ayahnya, tapi juga tentang obsesinya. "Udah gue bilang kan? Lo ngomong, gue berhenti bolos. Sesimpel itu dan lo gak bisa," lanjut Alisa. Joan tak memberi tanggapan apapun selain menatap dalam mata Alisa. Tiga orang itu masih bersitegang. Tak peduli tatapan orang-orang yang berlalu lalang menyaksikan perdebatan mereka. "Joan nggak bisa. Belum bisa. Tolong mengerti." "Gue nggak mau ngerti. Gue mau lo ngomong, atau seenggaknya lo kasih tahu gue alasannya," balas Alisa bebal. Bima bergerak tak nyaman, belum lagi Alisa masih menginjak kakinya! Dua orang itu saling menatap tajam. "Joan belum bisa." "Sampai kapan?" Joan menatap Alisa nyalang, sampai membuat Alisa sedikit gentar. Tapi tidak, dia sudah sejauh ini berjuang agar bisa mendengar suara Joan. Dia tidak bisa menyerah sekarang. Tangan Alisa terkepal. Dia menghela nafas sebelum berkata, "Ngomong atau gue cium Bima sekarang!" Bima yang dijadikan tumbal melotot. Batinnya mengeluarkan semua sumpah serapah seluruh hewan untuk Alisa. Pun, Genggaman tangan Joan kian mengerat, sampai Alisa nyaris meringis karena sakit, rahangnya kian mengeras menahan amarah. Matanya semakin tajam, bak elang yang mengawasi mangsanya. Meski begitu, Joan, tetap tidak bersuara. Alisa mengerang kesal. "Ngomong!" Satu tangannya beralih memeluk lengan Bima. Sementara laki-laki itu mati-matian bertahan dari aura menyeramkan Joan. ALISA ANJ ANAK NGEN- "Boyfie!" sentak Alisa geram. Mulai berjinjit untuk menyamai tinggi Bima. Joan tetap diam, tak bersuara. Namun, ekspresi dan auranya sudah cukup menjelaskan bahwa Joan benar-benar marah. "Gue cium Bima sekarang!" "Lis, tolonglah, ampun, Lis. Liat mukanya si Joan, lo tega bener ama temen. Gue masih mau idup, Lis." Bima merengek takut. Sudah tidak tahan dengan tekanan yang Joan berikan. "Boyfie, ngomong!" bentak Alisa, mengabaikan rengekan Bima. Joan tetap diam dan menatap Alisa. Hingga didetik kesepuluh, kesabaran Alisa habis dan kembali berjinjit untuk mencium Bima. Mata Joan melotot, melepas rangkulan tangan Alisa dari Bima dengan kasar dan menarik gadis itu hingga membuat mereka berciuman. Bima kabur saat itu juga. Persetan dengan Alisa, ia harus mengamankan nyawanya lebih dulu. Alisa terbelalak merasakan bibir Joan menyentuh dahinya. "Boyfie sialan! Gue benci lo! Gue sumpahin lo bisu beneran! Kita putus!" Alisa melepas genggaman tangan Joan dan berlari dengan pipi merah yang basah karena air matanya. Sial! Gagal lagi!

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

DENTA

read
17.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.3K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.8K
bc

Head Over Heels

read
15.9K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook