Bab 2: Tinggal Kenangan

1105 Words
Ingin rasanya Rayya memanggil suaminya yang kini sudah melangkah mantap bersama Nadya memasuki kamar pengantin mereka. Namun, tenggorokannya tercekat. Ada sesuatu yang membakar dadanya hingga membuatnya terasa sesak. Bahkan suaminya itu tidak menoleh sedikitpun hanya untuk memastikan bagaimana kondisi Rayya saat ini. ‘Kenapa kamu tega ngelakuin ini sama aku, Mas?’ jerit suara hati Rayya. “Duduk disini, Rayya. Mama mau bicara.” Suara Herlina memanggil dirinya tepat saat Harris dan Nadya menutup pintu di kamar lantai atas. Rayya menoleh dan menatap raut wajah Herlina dan mencari apakah wanita itu merasa bersalah setelah melakukan ini semua? Tapi sayangnya Herlina tampak tidak menyesali perbuatannya. “Kenapa Mama tega sama aku?” tanya Rayya dengan suara parau. “Rayya, Mama nggak punya pilihan lain selain menikahkan Harris. Seperti yang udah Mama katakan, kalau kita semua dikejar waktu. Mama nggak bisa menunggu lebih lama lagi.” “Tidak bisakah Mama bersabar sedikit lagi? Bulan depan aku sudah merencanakan akan program hamil bersama Mas Harris.” Herlina mendesah. “Kamu mau program hamil? Hasilnya nggak seratus persen buat berhasil kan? Buang-buang uang saja. Apa kamu nggak kasian, Harris bekerja banting tulang sementara kamu hanya di rumah saja ongkang-ongkang kaki tapi malah—,” Herlina menatap Rayya dari atas kepala sampai ujung kaki. Rayya terkejut dengan perkataan ibu mertuanya. Pasalnya ini pertama kalinya ia melihat ada kesinisan yang teramat jelas yang keluar dari bibir wanita itu. “Sejak awal menikah, Mas Harris sudah menginginkan aku untuk berhenti kerja. Mama juga sudah tahu soal ini kan?” Bibir Herlina berkedut. “Justru itulah masalahnya, kamu di rumah saja tapi juga nggak bisa hamil secara alami? Sampai kapan Mama harus menunggu kamu? Mau sampai kapan suamimu harus menunggu? Usia Harris sudah tidak muda lagi, apalagi Mama?” “Kami sudah periksa ke dokter, Ma. Dan memang tidak ada yang bermasalah. Hanya saja mungkin kami belum dikasih kepercayaan sama Allah,” jawab Rayya lirih. “Sudah lima tahun, Rayya. Nggak mungkin nggak ada masalah. Itu yang nggak beres dengan diri kamu. Nggak mungkin dari Harris. Garis keturunan keluarga kita nggak ada yang mandul buktinya begitu Fariz menikahi Danira, mereka berdua langsung dikasih keturunan. Kenapa kamu tidak bisa?” Hati Rayya mencelos. Selama ini ibu mertuanya tidak pernah berkata se-blak-blakan ini membandingkan dirinya dengan Danira, istri Fariz. Fariz adalah adik Harris yang selisih umurnya hanya terpaut tiga tahun. “Astaghfirullah, Mama mempertanyakan kuasa Allah?” Herlina berdecak. “Kamu nggak usah sok ngajarin. Mama ini sudah lebih lama hidup dibanding kamu. Ini adalah salah satu usaha Ibu buat memberikan jalan terbaik untuk anakku.” “Dengan meminta Mas Harris untuk menikah lagi? Kenapa nggak sekalian suruh Mas Harris ceraikan saja aku?” Rayya tahu kalau stok kesabarannya telah habis. “Harris yang tidak mau. Dan memangnya kamu mau?” Herlina balik bertanya dengan sinis. “Aku lebih nggak siap berbagi suami dengan wanita lain.” Herlina tertawa keras. “Rayya… Rayya… Mestinya kamu bersyukur Harris masih mau sama kamu padahal kamu nggak bisa kasih dia keturunan. Di rumah juga jadi beban keluarga. Nggak kayak Nadya, dia punya bisnis online rumahan yang cukup laris manis. Dia pintar mencari peluang meski dari rumah saja.” Nyeri yang Rayya rasakan sejak tadi kini tak mampu lagi ia bendung. “Aku di rumah aja juga bukan berarti nggak punya sesuatu yang dikerjakan, Ma.” Rayya mengepalkan tangannya tanpa sadar. “Halah, kerjaan kamu juga lebih banyak mendekam di kamar.” Justru itu menjadi tempat satu-satunya aku menjadi diriku sendiri, batinnya. “Sudah. Kamu jangan terlalu banyak menuntut suamimu. Saat ini dia nggak boleh stress.” Herlina pun bangkit dan pergi meninggalkan Rayya yang masih terpaku di tempatnya. *** Terseok-seok Rayya melangkahkan kakinya kembali memasuki kamar dan mengunci pintunya rapat. Tepat pada saat itu juga, kakinya tak sanggup menopang bobot tubuhnya sendiri hingga akhirnya ia terduduk lemas dan mulai terisak. Air mata yang sudah ia bendung sejak tadi kini tumpah ruah membanjiri kedua pipinya. Dadanya yang kian lama kian sesak seolah ada beban besar yang kini sedang menghimpitnya. Megap-megap Rayya mencari udara dibantu dengan memukul dadanya sambil setengah berharap bahwa hal itu akan melegakan dirinya. “Aku janji padamu, apapun yang terjadi kita akan tetap bersama-sama,” ucap Harris tiga tahun yang lalu saat Rayya dihinggapi kekhawatiran besar ketika mengetahui dirinya belum kunjung hamil juga sementara desakan dan tuntutan sudah terus ia dengar dari berbagai pihak. Ingatannya memutar kembali bayangan masa lalu yang indah saat bersama Harris. Rayya mengorbankan karir yang bahkan baru ia mulai demi menikah dengan Harris karena pria itu menginginkan Rayya hanya berada di rumah dan menemani ibunya. Bahkan Rayya rela meninggalkan keluarganya. Meski begitu, Harris memperlakukan Rayya dengan sangat baik. Rayya tidak dibiarkan kekurangan dalam hal apapun. Rayya dengan tulus hanya diam di rumah menjadi Ibu Rumah Tangga. Banyakan akan pernikahan yang sederhana dengan orang yang ia cintai sudah menjadi dalam bentuk nyata lewat pernikahannya dengan Harris. Namun, semua kenangan indah yang itu berubah 180 derajat berkat keputusan Harris yang dipicu dari ibu mertuanya untuk menikah lagi demi mendapatkan keturunan. Sekaligus menjadi titik balik perubahan sikap yang ditunjukan oleh Herlina kepadanya saat ini. “Apa selama ini Mama sebenarnya memang nggak pernah menyukaiku?” tanya Rayya lirih pada dirinya sendiri. Padahal sewaktu ia pertama kali datang untuk meminta restu, sambutan dari Herlina tidak terlihat seperti tidak menyukainya. Itu berarti selama ini Mama hanya berpura-pura menyukaiku. Rayya mendesah panjang kemudian kepalanya matanya tertuju pada ranjang berukuran queen size yang berada di tengah kamar yang merupakan saksi bisu perjuangan Rayya dan Harris agar bisa hamil. Kini Rayya tidak bisa lagi melihat ranjang kenangan mereka dengan pandangan yang sama lagi. Rasa sesak kembali muncul menghimpitnya. Seumur hidupnya, Rayya tidak pernah membayangkan hal ini terjadi pada dirinya. Ia bisa membayangkan apa yang sedang dilakukan Harris dan Nadya di kamar yang persis di lantai atas kamar ini. Bagaimana tangan Harris yang besar itu mulai menyentuh tubuh gadis pilihan ibunya dan Nadya yang pasrah menerima begitu saja apa yang akan dilakukan Harris terhadapnya. Apa yang dilakukan seorang suami terhadap Istrinya. Dan yang lebih parahnya lagi, mereka melakukannya di bawah satu atap yang sama dengan Rayya. Detak jantungnya kembali berdetak cepat sehingga membuat napasnya tersenggal-senggal. Membayangkannya saja pun Rayya tidak sanggup. “Mana mungkin aku bisa menerima ini semua? Suamiku kini tengah bercinta dengan wanita lain?” Tanpa pikir panjang Rayya perlahan bangkit dari duduknya dan mulai mengambil koper yang disimpan di atas lemari. Lalu memasukkan pakaiannya dari dalam lemari ke dalam koper secara asal. Yang ia pikirkan hanyalah ingin cepat-cepat pergi dari rumah ini. Namun, saat koper sudah berhasil ditutup dengan susah payah itu. Rayya tiba-tiba tertegun seolah teringat sesuatu yang menghentikan gerakannya. Kemudian Rayya kembali terduduk lemas. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD