Kalau kalian kira, adegan pria tidur di pangkuan wanita dalam film itu sangat manis, jangan percaya! Ini yang aku alami sekarang. Bayi besar tidur di pangkuanku selama beberapa jam! Kata siapa manis dan romantis, pegal yang ada!
"Pak, udah sampe kayaknya!" Aku menggoyangkan lengannya. Aneh juga sih, biasanya ya pria tidur tuh kebanyakan ngorok. Macam si Soni atau Bang Sanjay. Ngoroknya gak ketulungan bikin sakit telinga. Ini mah anteng aja tidurnya. Damai macam orang semedi.
"Benarkah? Padahal saya kira masih lama. Ya sudah, ayo turun!"
Huft, akhirnya aku bisa lepas. Sumpah, ini badan pegalnya minta ampun. Sampai kesemutan juga tadi.
Kami masuk ke sebuah hotel. Sepertinya mahal.
"Pak, kita mau kemana?"
"Nyari kamar."
"Ha? Mau ngapain?!" tanyaku panik.
"Kita di sini tiga hari lho, kamu mau tidur di jalanan?"
Aku nyengir, "Ah, iya. Benar juga."
Aku mengikuti langkah Pak Adit. Kudengar ia memesan kamar.
"Pak, kita tidur terpisah kan?" tanyaku hati-hati. Ya kali, tidur sekamar! Enak saja!
"Ya pisah lah, masa iya tidur dempetan. Kamu sebelah kanan saya sebelah kiri."
Ha? Apa maksudnya sih? Yang ditanya apa jawabnya juga apa. Gak nyambung!
Pak Adit masuk ke salah satu kamar di hotel ini. Kalau ini kamar Pak Adit, terus kamarku yang mana? Apa dia mau nyimpan dulu barang-barang ya, habis itu nganterin aku ke kamar lainnya?
"Kok gak masuk?" Pak Adit keluar lagi saat melihatku masih berdiri di depan pintu.
"Kamar saya mana, Pak?"
"Di sini."
"Ha? Barengan?"
"Iya, ayo ah! Susah sekali kamu!" Pak Adit setengah menyeret lenganku hingga badanku menubruk ke d**a bidangnya. Kaget dong aku! Ya walau aku akui dadanya memang sangat pelukable sih.
"Maaf, Pak. Lagian Anda main seret saja!" ucapku lalu buru-buru melepaskan peganganku dari bajunya.
Ia malah tersenyum menggoda, "Kalau gak diseret, kamu gak akan merasakan pelukan saya kan?"
"Pak, udah deh, jangan mulai! Saya serius nanya, kamar saya mana?"
"Kita sekamar."
"Pak, beneran, saya serius nanya ini, rasanya sudah lelah."
"Lah, saya juga serius jawab ini, kita sekamar dan saya juga sama sudah lelah."
Dih, lelah apanya? Sepanjang jalan dia tidur begitu. Mana tidurnya seenaknya pula. Di pangkuan orang!
"Pak, kenapa sekamar? Anu lho, Pak. Kita kan ..."
"Iya, kita bukan saudara, bukan suami istri. Kamu takut dikira yang macam-macam sama orang?"
"Nah, itu Anda tahu jawabannya."
"Tenang saja. Semua sudah teratasi."
"Apa? Bagaimana bisa?"
"Saya bilang kamu adik saya dan mereka percaya, haha." Ia tertawa lepas.
"Kenapa gak pesan dua kamar saja, Pak?"
"Tidak bisa! Itu namanya pemborosan. Ini hotel mahal. Uangnya mending buat ongkos kita pulang nanti."
"Lho, memangnya Pak Ujang kemana, Pak?"
"Sudah saya suruh pulang."
"Pak, boleh saya tanya lagi?"
"Kapan saya larang kamu bertanya?"
"Anda bilang kita akan beli persiapan untuk ke sini di jalan. Nyatanya kita gak beli apapun."
"Kamu butuh apa?"
"Saya gerah, mau mandi. Tapi kan gak bawa baju, Pak."
"Pakai baju saya."
"Ha? Mana bisa, Pak?"
"Bisa." Pak Adit membuka tasnya. Ia mengeluarkan kaos oblong polos dan melemparkannya padaku. "Pakailah!" ucapnya lagi.
"Ini kebesaran, Pak."
"Ya sudah, kalau tidak mau pakai baju saya, gak pake apa-apa juga bagus."
Sumpah ya, mendengar jawabannya membuat isi kepalaku penuh dengan umpatan untuknya. Sayang, aku gak berani mengeluarkan, hanya sebatas dalam pikiran.
Tanpa menjawab lagi, aku mengambil baju pemberiannya. Dia juga memberiku kolor pendek. Mayan lah, daripada pakai baju kotor ini lagi.
Mandi memang membuat badan terasa lebih segar. Tapi, ini perut dari tadi demo minta isi. Ah, baru ingat, aku belum makan apapun sejak pulang dari kampus.
"Kamu lapar?"
"Iya, Pak. Tapi saya gak bisa masak. Kan gak ada bahan masakan. Salah Anda sih, kenapa gak beli apapun tadi di jalan?"
"Tunggu sebentar, saya mandi dulu!"
"Terus Anda mau makan atau tidak, Pak?"
"Saya bilang mau mandi, bukan mau makan. Tunggu sebentar!" Pak Adit masuk ke kamar mandi. Sekitar sepuluh menit, baru ia keluar.
Oh, sial! Pemandangan macam apa ini? Dia keluar hanya dengan handuk yang melilit di pinggang. Segera aku berbalik dan bersiap untuk pergi ke luar.
"Hei, kamu kemana kamu?" Tetiba Pak Adit menarik ujung baju belakangku.
"Anda mau ganti baju kan? Saya keluar dulu!"
"Tidak bisa! Siapkan baju ganti buat saya."
"Tapi kan saya gak tahu baju Anda di mana, ini bukan rumah Anda, Pak!"
"Ada di tas saya. Carikan yang menurut kamu bagus buat saya pakai."
Haduh, ini manusia satu, kenapa senang sekali membuatku berada di posisi seperti ini? Sumpah ya, lama-lama imanku bisa goyah ini! Ngintip dikit boleh gak ya? Ck, tuh kan, setan meong dalam jiwa mulai meronta.
Asal saja aku mengambilkan baju untuknya dari dalam tas. Biar cepat kelar. Takut setan meong ini berubah jadi setan kucing garong, kan bahaya!
"Ini, Pak!"
Pak Adit juga tumben menerimanya tanpa banyak bicara. Aku masih tetap membelakanginya. Ya kali, aku menonton live streaming dosenku sendiri. Gak berani lah!
"Kamu bisa berbalik!" ucapnya setelah beberapa saat. Huft, akhirnya.
"Eh, kok belum pakai bajunya, Pak?" Sontak aku menutup mataku dengan kedua telapak tangan. Gila dia, sudah dicelana sih, tapi itu bajunya belum dipakai.
"Kerokin dong, San! Sepertinya saya masuk angin!"
"Ha? Gak salah, Pak?"
"Maksud kamu?"
"Orang kaya seperti Anda, kok doyan kerokan?"
"Ck, saya lebih suka dipijat atau kerokan daripada minum obat."
Gila sih ini! Kalau begini kan terpaksa gak bisa tutup mata. Masa iya, kerokan sambil merem.
"Gak ada cara lain ya, Pak?"
"Tidak. Ayo cepat!" Pak Adit duduk di atas kasur dan membelakangiku.
"Pakai koin, Pak?"
"Hm, ada di saku tas saya. Ambil lah! Sekalian sama kayu putihnya."
"Ha? Pakai minyak kayu putih? Emang bisa hangat, Pak?"
Biasanya kan kerokan enaknya pakai yang lebih panas gitu lho, lah ini pakai minyak kayu putih?
"Kamu bisa tolongin biar tambah hangat?"
"Boleh, Pak. Nanti saya ambilkan. Bilang saja tempatnya dimana!"
"Peluk saya, pasti lebih hangat!" ucapnya dengan senyum genit.
Aku mendelik kesal padanya, "Mana yang mau dikerok?" tanyaku dengan nada ketus.
Ia masih tersenyum geli, "Kamu sih, bahas yang hangat mulu." Ia lalu menunjuk bagian belakang badannya.
Untung saja, aku pernah disuruh ngerok Mpok Nori sama Bang Sanjay. Jadi tahu bagaimana caranya kerokan.
Pak Adit anteng dengan ponselnya saat aku mulai mengerok punggungnya.
"San!"
"Iya, Pak?"
"Kamu sudah punya pacar?"
"Itu rahasia saya, Pak."
"Ck, gak boleh main rahasia, saya harus tahu segala hal tentang kamu."
"Tidak perlu, Pak. Tugas saya kan jadi asisten pribadi Anda. Jadi hal-hal pribadi saya tidak perlu Anda tahu."
"Siapa bilang? Justru perlu lho, San. Kalau misal pacar kamu itu musuh saya bagaimana? Kan bahaya."
"Emang Anda punya musuh?"
"Kan misalnya ini mah, San. Jawab saja, apa susahnya sih?"
"Kalau saya bilang sudah punya pacar?" Aku balik bertanya.
"Siapa pacar kamu? Apa saja yang sudah kalian lakukan?"
"Itu rahasia dong, Pak!" jawabku kesal. Ini orang kenapa sih? Bu Rahma ngidam apa ya saat bayi besar ini dalam perutnya?
"Mari kita lihat."
"Hei!" Aku terkejut saat tiba-tiba dia berbalik lalu mendorongku ke kasur. Mengunciku dengan kedua tangannya di samping.
"Kenapa kaget?" suaranya sedikit agak serak.
"Pak, bercanda Anda kelewatan! Ba-bangun lah!"
Matanya menyusuri wajahku. Seperti sedang menilai. Tatapannya berakhir di bibirku. Gawat, apa yang akan ia lakukan?!
"Sani, kamu takut?" ucapnya dengan bisikan. Tatapan matanya sedikit berbeda.
Bukan takut lagi, aku sangat takut walau ada sedikit rasa aneh yang meronta dalam hatiku. Mirip rasa senang, ah bukan, mungkin hanya penasaran. Tapi aku deg-degan! Argh, gila, perasaan macam apa ini?! Sementara wajah Pak Adit makin mendekat.
"Anda ma-mau apa, Pak?" Suaraku sekarang serasa tenggelam di tenggorokan.
"Kamu lucu," ucapnya setelah beberapa saat hanya menatap wajahku tanpa bicara.
Baru saja mulutku mangap mau jawab lagi, tetiba ponsel milik Pak Adit bergetar. Ternyata panggilan video. Terdengar ia berdecak pelan. Beruntunglah, ia agak mengangkat badannya hingga jarak kami agak berjauhan. Ia melirik layar ponselnya. Buru-buru aku berusaha melepasnya diri. Sayang, tangannya cepat sekali menangkapku lagi.
"Mau kemana?" tanyanya lalu menyimpan kembali ponselnya.
"Kenapa gak diangkat, Pak?" tanyaku setelah beberapa saat kulihat dia enggan mengangkat panggilan video itu.
"Paling juga nanya kabar, nanya makan, nanya dimana."
"Loh, kan bagus itu perhatian namanya. Dari Mbak Jessica ya?" Aku menebak saja sih, tapi ia mengangguk.
"Benar dari Jessica. Kamu lihat?" Ia memperlihatkan layar ponselnya padaku. Tertera nama Jessica di sana.
"Kalau begitu, angkat, Pak. Mbak Jessica pasti sudah kangen sama Anda."
"Kalau kamu yang nyuruh, baiklah. saya angkat."
Huft, akhirnya ia bangun juga. Kali ini, aku sangat berterima kasih pada si Jessica. Berkat panggilan videonya, aku lepas dari situasi yang iya-iya. Kami duduk bersisian di atas kasur.
Wow, mataku menatap kagum pada wanita di layar ponsel milik Pak Adit. Cantik sekali seperti Barbie! Rambutnya pirang. Walau sepertinya bukan bule, tapi pas saja di wajahnya dengan warna rambut seperti itu.
Seketika aku tersadar dengan posisi kami! Gila, kami sedang di hotel berdua! Dan parahnya lagi, Pak Adit tidak memakai baju! Haduh, mampus deh!
"Pak, saya pergi dulu ya!" bisikku lalu segera pergi. Tapi sayang, Pak Adit menarik tanganku dengan cepat hingga aku jatuh ke pangkuannya.
"Hai, Jess?" sapa Pak Adit tanpa rasa bersalah. Si Jessica melotot kaget melihat kami.
Alamak! Horor banget rasanya! Mana tangan Pak Adit juga kuat banget menahan pinggangku. Membuatku sulit melepaskan diri. Lebih dari kata gila sih ini!
Aku tidak berani menebak pikiran Si Jessica saat melihat keadaan kami sekarang, malam-malam begini, kami sekamar berdua!