Bros Emas, Perak, dan Hitam

1101 Words
Begitu bel tanda kelas berakhir berbunyi, Jia langsung refleks berdiri dengan cepat. Hampir menjatuhkan pulpen. Dia tidak menoleh. Tidak menunggu. Tidak pamit. Dan yang paling penting ... tidak melihat Lucien. Kakinya bergerak cepat keluar kelas, seperti sedang dikejar sesuatu atau lebih tepatnya, seseorang yang terlalu berbahaya untuk ditatap lebih lama. Baru tiga langkah keluar dari kelas, suara familiar menyusul dari belakang. “JIA! STOP! KITA PERLU GOSIP, SEKARANG!” Fei. Dengan rambutnya yang sudah setengah lepas dari ikatannya dan heels yang jelas-jelas bukan untuk lari, dia tetap berhasil menyusul sambil menyeret tangan Jia menuju arah kafetaria. “Fei, gue capek ... ” “Nope. Nggak hari ini. Lo abis duduk satu jam sama Lucien Clairmont. Lo nggak bisa lolos gitu aja.” Jia menghela napas saat mereka masuk ke kafetaria kampus. Sebuah ruangan besar dengan interior modern-industrial dan langit-langit tinggi seperti hotel bintang lima. Meja-meja penuh dengan mahasiswa stylish yang seolah keluar dari runway Seoul Fashion Week. Dan seperti alarm insting sosial berdentang, semua mata langsung melirik ke arah mereka. Beberapa cepat-cepat menunduk dan berbisik. Yang lain bahkan nggak peduli menutupi rasa penasaran mereka. Jia langsung menunduk, pura-pura nggak sadar. Fei? Tentu saja malah senyum makin lebar. “Gue udah bilang,” bisiknya begitu mereka duduk, “kelas tadi langsung rame setelah lo cabut. Pada heboh.” Jia menatapnya skeptis. “Heboh kenapa?” Fei menirukan gaya berbisik khas anak elite. “‘Eh, siapa sih cewek itu?’, ‘Lucien Clairmont kok milih dia?’, ‘Dia anak siapa?’, ‘Anak konglomerat mana tuh?’, ‘Jangan-jangan dia pacar rahasia Lucien …’” Fei mengedip. “Lo literally jadi topik baru. Congratulations, Miss Mystery Girl.” Jia menutup wajah dengan kedua tangan. “Gue cuma pengen kuliah damai.” Fei mengangkat alis sambil menyeruput latte-nya. “Salah kampus, sweetheart. Ini bukan universitas biasa. Ini St. Heliora. Di sini ... bahkan pilihan partner tugas bisa berarti deklarasi perang.” Jia terdiam. Bukan karena takut tapi karena di dalam dirinya sendiri dia tahu. Lucien tidak mungkin sembarang memilih. *** Suara gosip di kafetaria makin keras. Tatapan demi tatapan terus menusuk, menyelam ke kulit Jia seperti bisik-bisik tak terlihat yang ingin menguliti identitasnya. Jia mengaduk minumannya tanpa benar-benar minum. Fei masih heboh sendiri, tapi perhatian Jia sudah menghilang, melayang entah ke mana. “Aku keluar dulu,” katanya akhirnya, cepat dan pelan. Fei langsung melirik. “Lo alright?” Jia memaksakan senyum. “Cuma ... pengen udara segar.” Fei mengangguk pelan. “Call me kalo ada yang aneh-aneh. Serius.” Jia berdiri dan melangkah keluar, menyusuri koridor belakang yang lebih sepi. Matanya menyapu lingkungan kampus megah yang terlalu terang, terlalu bersih seperti dunia yang menyilaukan untuk orang biasa seperti dia. Saat melintasi lorong di depan ruang musik, langkahnya melambat. Seharusnya sepi. Tapi terdengar suara bisikan gaduh, langkah heels, tawa samar yang tak menyenangkan. Dan sebelum sempat berbalik, empat perempuan berpakaian super on point berdiri menghadangnya. Seragam rapi. Lipstik tajam. Bros perak mengilap di blazer mereka seperti pengingat bahwa kasta masih hidup di abad ini. Flameborns. Yang kedua dari kiri menyilangkan tangan di d**a. “Lee Jia, kan?” Jia tidak menjawab. Tapi dagunya terangkat sedikit. Tatapannya netral. Tapi jelas, dia tidak takut. “Lucien Clairmont?” cewek itu melanjutkan, senyum tipis di bibirnya. “Berani-beraninya lo duduk di sebelah dia. Lo sadar nggak siapa lo?” Yang lain ikut menyindir, "Bros hitam itu ... terlalu murahan buat deket-deket sama emas." “Tau diri dikit, dong,” tambah satu lagi. “St. Heliora mungkin terima beasiswa, tapi bukan berarti kamu bisa naik kasta.” Jia menghela napas dalam. Dan saat dia mendongak, tatapannya berubah tajam. Seperti kaca retak yang siap menusuk balik. “Lucien yang milih saya. Kalau itu ganggu tidur kalian, coba obrolin langsung sama dia.” Dia melangkah satu langkah mendekat. Suaranya rendah, jernih, dan dingin. “Dan soal bros? Bros cuma simbol. Tapi kemampuan? Sesuatu yang nggak bisa dibeli, bahkan pake rekening bapak kalian.” Salah satu dari mereka langsung memerah. Wajah, gengsi, harga diri, semuanya tercabik. Tangannya terangkat, siap menghantam pipi Jia. Tapi sebelum telapak itu menyentuh kulitnya ... “Berisik.” Satu suara yang datar dan dalam memotong udara setajam silet. Pintu ruang musik terbuka. Cahaya sore masuk seperti panggung disorot spotlight. Dan di sana berdiri seorang pria. Rambut hitam acak tergerai sempurna. Tatapan hitam kelam seperti malam yang sudah lelah hidup. Dan di kerah blazer hitamnya—bros emas menyala. Dingin, mutlak, dan berbahaya. Yoon Seojun. Dia tidak banyak gerak, hanya menatap. Sekilas ke arah tangan yang terangkat. Lalu ke Jia. Lalu ke empat perempuan itu. “Kalau mau adu mulut,” katanya pelan, “jangan depan ruang musik.” “Ini zona tenang. Pergi.” Tidak ada teriakan. Tidak ada ancaman eksplisit. Tapi kata-katanya membungkam seperti palu sidang yang jatuh di akhir debat. Mereka langsung menunduk. Langkah mereka menjauh cepat, tumit sepatu berbunyi tak seirama. Seolah mereka juga tahu ... Sang pewaris mafia—salah satu dari The Trident—baru saja bicara. Dan dari caranya berdiri, dari cara dia mengucapkannya ... Dia tidak peduli siapa mereka. *** Sudut Pandang Seojun Musik klasik mengalun sangat pelan dari speaker di sudut ruangan. Chopin atau mungkin Liszt. Seojun tidak peduli. Jarinya menelusuri tuts piano tanpa niat menciptakan apa pun. Hanya gerakan mekanis, seperti napas yang dipaksakan agar tetap dianggap hidup. Di luar ruangan, dunia masih berputar. Terlalu cepat dan terlalu ramai. Dan St. Heliora? Tempat ini seperti sirkus mahal yang dihias kemewahan, diisi keangkuhan, dan diselimuti kebosanan yang lebih tua dari sejarah keluarganya. Hingga suara itu terdengar dari pintu ruangan yang sedikit terbuka. Langkah kaki. Tawa palsu. Kemarahan yang dibungkus parfum. Empat suara perempuan, satu suara yang terlalu tenang untuk takut. Gadis dengan bros hitam yang sedang berdiri di sarang para pencakar harga diri. Suaranya tidak gemetar. Kata-katanya tidak dilembutkan. Lucien yang milih saya. Bros cuma simbol. Seojun menoleh tak sengaja. Ada sesuatu dalam nada suara gadis itu, Lee Jia, yang memaksanya mendengarkan. Saat salah satu tangan perempuan Flameborn itu terangkat, Seojun berdiri. “Berisik.” Satu kata cukup. Dia membuka pintu. Cahaya sore menyambutnya, tapi tak ada yang lebih terang dari ekspresi kaget keempat gadis itu. Dia melihat mereka. Lalu melihat Jia. Tidak ada luka di wajahnya. Tidak ada ketakutan. Dan itu ... berbeda. Mata Seojun bergeser ke arah para Flameborns. “Kalau mau adu mulut,” katanya, datar. “Jangan depan ruang musik.” Dia tidak perlu mengulang. Mereka pergi. Seperti anjing-anjing terlatih yang akhirnya sadar siapa pemilik senjata sebenarnya. Sunyi kembali turun. Tapi tidak sama seperti sebelumnya. Karena untuk pertama kalinya hari ini, suara seseorang benar-benar mengganggunya. Seojun membenci hal itu. Tapi entah kenapa dia juga ... penasaran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD