Jia menatapnya.
Mata biru keabuan itu terlalu dekat.
“Partner?” ulang Lucien, suaranya rendah dan nyaris terdengar seperti bisikan.
Jia menelan ludah. Tangannya terasa dingin. Otaknya masih menjerit untuk lari. Tapi lidahnya … mendahului segalanya.
“Oke,” katanya pelan.
Satu kata.
Dan dengan itu takdirnya ditandatangani.
Lucien tidak berkata apa-apa. Hanya tersenyum sedikit, senyuman kecil yang cukup untuk membuat satu sisi dunia Jia runtuh.
Dia menarik kursi di sampingnya dan duduk. Gerakannya lambat, tenang, dan mematikan dengan cara yang sangat sopan.
Dan saat itu juga, dunia Jia jadi terasa tidak stabil.
Wangi parfum cedarwood langsung menyelimuti sisi kanan tubuhnya. Aromanya bukan aroma yang menyengat, tapi seperti kayu musim gugur yang terlalu mahal untuk dijual. Satu gerakan Lucien untuk merapikan kemejanya, dan Jia bisa melihat lekuk otot ringan di bawah lengan bajunya yang digulung.
Fokus. Fokus, Jia.
“Tema puisi yang mau kamu ambil apa?” tanyanya cepat, terlalu cepat, seperti berharap bisa mengalihkan pikirannya sendiri.
Lucien menoleh sedikit. “Kamu bisa pilih dulu. Aku ikut aja.”
Jia meliriknya dan itu kesalahan fatal.
Karena dari dekat, wajah pria satu ini terlalu berbahaya untuk ukuran manusia. Tulang pipinya tegas, rahang tajam, dan bulu mata panjang yang bahkan tampak absurd karena begitu natural.
Dia tampak seperti lukisan hidup … yang diciptakan oleh seniman yang bosan bikin manusia biasa.
“Puisi Catullus ...?” gumam Jia akhirnya, memilih opsi paling netral. “Tentang cinta yang benci tapi butuh. Kayaknya ... cukup dalam.”
Lucien mengangguk pelan. “Cocok. Ironis, ambigu … dan menyakitkan.”
Nada suaranya terdengar hampir seperti komentar personal.
Jia memilih tidak menanggapinya. Dia sibuk membuka tablet, pura-pura mencari referensi. Tapi konsentrasinya hancur total saat Lucien bersandar sedikit lebih dekat. Bahunya menyentuh bahu Jia. Samar dan ringan, tapi cukup untuk membuat napasnya tercekat sepersekian detik.
“Kalau kamu mau, aku bisa bantu tulis bagian narasi puitisnya,” ucap Lucien tanpa melihatnya, matanya fokus ke layar sendiri.
Kata ‘kamu’ meluncur dari mulutnya dengan terlalu halus. Bukan sok akrab. Tapi seolah … itu memang gaya khasnya. Bahkan sebelum perkenalan.
Jia berdeham pelan. “Oke. Tapi kita harus pisah per bagian. Supaya adil.”
Lucien menoleh lagi. Tatapannya ... tenang, hampir menghargai.
“Profesional sekali.”
“Nama kamu siapa?” tanyanya akhirnya.
Lucien bisa saja langsung tahu. Bisa mencari data. Bisa bertanya pada siapa pun.
Tapi tidak. Dia ingin mendengarnya langsung dari bibir gadis itu. Karena dia tahu, nama itu bukan sekadar identitas.
Tapi sebuah pintu.
Jia menoleh sedikit, mata mereka bertemu. Ada ketegangan halus di rahangnya, seolah dia belum memutuskan apakah harus jujur atau berbohong.
“Jia,” jawabnya akhirnya.
Nada suaranya rendah, tapi jelas. “Jia Lee.”
Lucien mengulangnya dalam hati.
Jia.
“Jia,” ulang Lucien pelan, mencoba rasa nama itu di lidahnya.
Bukan sebagai nama murid. Bukan sekadar partner tugas.
Tapi sesuatu yang lebih dalam.
Sesuatu yang mungkin akan dia ingat.
“Nama yang cantik.”
Jia menatap lurus ke depan. Matanya tidak berkedip. Telinganya panas.
Jantungnya ... error.
Dan dalam benaknya satu kalimat berulang ...
Gue harus survive ini. Harus. HARUS.
***
Sudut Pandang Lucien
"Partner?"
Satu kata. Satu peluru yang dia lepaskan dengan nada tenang, seolah tak bermakna.
Tapi bukan sembarang kata. Itu adalah pancingan.
Dia sudah melihatnya pagi tadi. Rambut hitam itu. Kulit pucat yang menentang matahari. Cara gadis itu mematung di taman mawar. Pucat, bingung, nyaris ketakutan. Tapi yang paling mengganggunya … adalah mata itu.
Mata yang memandangnya seperti pernah tahu siapa dirinya, sebelum dunia membentuknya.
Gadis itu ...
Dia mengucapkan “oke” seperti kata itu memberatkan lidahnya.
Lucien hanya tersenyum tipis, lalu duduk di sebelahnya.
Tanpa berkata apa pun, tanpa menjelaskan. Dia tidak perlu. Kehadirannya cukup.
Dia bisa merasakan tubuh gadis itu menegang sesaat saat dia duduk.
Dia bisa mencium aromanya. Parfum halus, pakaian bersih, dan detak jantung yang sedikit terlalu cepat untuk situasi biasa.
Lucien tidak melihat langsung. Tapi dia tahu.
Dia membuatnya gugup.
Lucien merapikan kemejanya secara refleks, lalu menatap ke arah tablet.
Matanya bergerak, tapi pikirannya … tetap pada sosok di sebelahnya.
Sudah lama sejak seseorang bereaksi padanya seperti itu. Bukan karena reputasi, bukan karena kekayaan, atau ketampanan. Tapi … sesuatu yang lebih instingtif. Lebih dalam.
Mungkin … takut.
Atau lebih buruk, tertarik.
“Tema puisi yang kamu mau ambil apa?” tanya Jia cepat.
Nada panik yang disamarkan dengan keprofesionalan itu menggelitik bagian dirinya yang sudah lama tertidur. Bagian yang menyukai permainan tenang.
Dia tidak menjawab langsung. Memberi ruang untuk keheningan menggantung. Lalu dengan nada santai, dia berkata.
“Kamu bisa pilih dulu. Aku ikut aja.”
Dia menoleh dan memandangnya.
Wajah itu … bukan tipe yang bisa dilupakan.
Bukan karena cantik, meski memang begitu.
Tapi karena ada sesuatu di balik mata itu yang terasa … familiar.
Seperti nyala api kecil yang dikubur di bawah es.
“Catullus,” gumamnya.
Tentu saja. Puisi tentang cinta dan benci yang saling melilit.
Lucien bersandar sedikit, cukup untuk merasakan hangat tubuhnya.
Dan dia sadar Jia tak bisa berkonsentrasi.
Perubahan napas. Ketegangan bahu. Tatapan yang terlalu fokus ke layar.
Dia menahan senyum.
“Kalau kamu mau,” ucapnya lembut, “aku bisa bantu tulis bagian narasi puitisnya.”
Dia menyebut “kamu” bukan karena kebiasaan. Tapi karena ingin melihat reaksi.
Dan seperti yang dia duga, telinga Jia sedikit memerah.
Lucien menikmati itu tapi bukan karena permainan.
Bukan karena ego.
Karena dia penasaran.