Gedung Fakultas Sastra St. Heliora tidak seperti kampus biasa. Pilar-pilarnya menjulang seperti sisa-sisa istana kuno, dan ruang kelasnya lebih mirip galeri seni daripada tempat belajar.
Jia duduk di baris tengah bersama Fei, jari-jarinya menggenggam pena yang tidak dia gunakan. Matanya menatap lurus ke papan tulis digital yang masih kosong, tapi pikirannya … melayang ke taman mawar.
Ke suara itu. "Lucien ... pelan-pelan."
Dan kemudian klik pintu kelas terbuka.
Seorang wanita dengan heels merah mengayunkan langkah masuk ke ruang kelas. Rambutnya panjang, bergelombang halus, dan bibirnya merah pekat. Bajunya terlihat elegan dengan blus hitam, celana bahan abu, dan blazer oversized. Tapi bukan penampilannya yang membuat jantung Jia berdetak lebih keras.
Melainkan suaranya.
"Selamat pagi."
Jia langsung membeku.
Itu … itu suara yang sama.
Nadanya lembut, rendah, dan sedikit bergetar di akhir kalimat. Persis seperti suara wanita yang tadi memohon perlahan di balik semak-semak taman mawar.
Fei menyenggol lengannya. “Lo kenapa? Muka lo kayak liat kuntilanak.”
Jia tidak menjawab.
Otaknya baru mulai memproses kemungkinan. Kalau suara wanita itu adalah ... dosennya. Berarti pria tadi, yang namanya Lucien, berhubungan dengan salah satu pengajar …?
Namun sebelum dia bisa berpikir lebih jauh klik.
Pintu kembali terbuka.
Dan dia masuk.
Lucien Clairmont.
Langkahnya santai, tidak tergesa. Kemejanya putih bersih, digulung hingga siku. Bros emas terpampang angkuh di kerahnya. Rambut honey blond-nya tampak lebih teratur daripada tadi pagi, seolah baru bangun dari tidur siang di tempat tidur kerajaan. Matanya menyapu ruangan sebentar, tidak terburu-buru, tidak peduli.
Semua mahasiswa di ruangan otomatis menahan napas. Yang perempuan mencengkeram pulpen. Yang laki-laki duduk lebih tegap.
Dan Lucien?
Dia berjalan dengan elegan menuju kursi di baris belakang.
Namun, sesaat melewati tempat duduk Jia …
Lucien menoleh. Hanya sesaat.
Mata biru keabuannya singgah ke wajah Jia seperti hembusan angin yang terlalu dingin untuk bulan September di Indonesia. Tak ada senyum. Tak ada reaksi. Tapi … ada pengenalan.
Dia tahu.
Dia sadar.
Dan yang paling parah adalah dia ingat.
Jia menegang. Fei, yang duduk di sebelahnya, memperhatikan itu semua dengan mata membulat.
“Astaga,” bisiknya pelan. “Dia liat lo. Dia beneran liat lo.”
Dan sebelum Jia bisa menjawab, dosen itu, yang belum menyebutkan namanya, berdiri kembali di depan kelas.
“Baiklah,” katanya sambil tersenyum.
“Nama saya Miss Evelyn."
"Dan saya akan menjadi dosen pengantar sastra klasik kalian.”
Dia melangkah ke depan kelas, mengambil spidol digital dari meja, dan mulai menulis sesuatu di papan tulis, tulisan halus dan elegan, dengan tekanan tangan yang nyaris sensual. Gerakannya lambat, seolah setiap huruf adalah bagian dari pertunjukan.
Fei menyipitkan mata. “Kok dia kelihatan kayak baru dari catwalk, bukan dari kantor dosen …”
Jia tidak menjawab. Matanya masih menatap Miss Evelyn atau lebih tepatnya, cara wanita itu sesekali mengusap lehernya sendiri dengan jemarinya, seolah sisa kenangan masih tertinggal di kulitnya. Gerakan kecil itu mungkin tak terlihat oleh yang lain, tapi bagi Jia yang baru saja mendengar ... itu terlalu familiar dan kelihatan disengaja.
“Topik pertama kita …” suara Miss Evelyn turun satu oktaf, “adalah desire in classical poetry. Atau ... bagaimana keinginan dan godaan dituliskan dengan elegan.”
Fei langsung membelalak. “No. Freaking. Way.”
Miss Evelyn berbalik, menatap ke arah kelas. Senyum kecil bermain di ujung bibir merahnya.
“Salah satu puisi yang akan kita bahas adalah karya Catullus. Seorang penyair Romawi yang terkenal dengan kalimat I hate and I love. Why do I do this, perhaps you ask. I do not know, but I feel it happening, and I am tortured.”
Beberapa mahasiswa mencatat.
Tapi Jia?
Jia malah menahan napas saat tatapan Miss Evelyn melayang sekilas ke baris belakang, ke arah Lucien yang duduk santai dengan tangan terlipat di d**a. Lucien tidak melihat balik. Tidak memberi reaksi. Tapi sudut bibirnya … nyaris tidak terlihat seperti menahan tawa kecil yang hanya dia mengerti.
Miss Evelyn menarik napas lembut dan melanjutkan,
“Puisi seperti cinta kadang lebih mudah disampaikan lewat bisikan daripada pernyataan. Dan di dunia klasik, tak ada yang lebih mematikan daripada keinginan yang dilarang.”
Jia membeku.
Fei menatapnya, lalu berbisik pelan, “Kita baru masuk lima belas menit, dan udah masuk neraka akademik.”
Miss Evelyn kembali berdiri tegak di depan kelas, menyapu semua mahasiswa dengan tatapan elegan yang menyimpan sesuatu di balik senyuman profesionalnya.
“Untuk tugas minggu ini,” katanya ringan, “kalian akan membuat analisis puisi dalam bentuk duet presentasi. Satu kelompok berisi dua orang. Satu laki-laki, satu perempuan.”
Ruangan langsung dipenuhi suara gaduh kecil. Fei menoleh ke Jia dengan wajah excited setengah takut. “Gue mau yang nggak serem dan nggak bego, please Tuhan.”
“Pilih sendiri ya,” lanjut Miss Evelyn. “Saya tidak akan acak. Gunakan waktu sekarang untuk menentukan partner kalian.”
Dan seketika itu juga, kelas mulai bergerak.
Beberapa mahasiswa langsung saling panggil.
Yang lain diam-diam panik karena nggak kenal siapa-siapa.
Fei sudah mau membuka mulut ketika ...
“Hi.”
Satu suara itu. Tenang. Dalam.
dan ... terlalu dekat.
Fei langsung membeku.
Jia membalikkan kepala pelan.
Lucien Clairmont berdiri tepat di samping meja mereka. Kemeja putihnya masih rapi, satu tangan masuk ke saku celana, dan mata biru keabuannya terlihat dingin, tajam, dan mematikan pelan-pelan tertuju langsung ke Jia.
Fei menatap Jia. Menatap Lucien. Menatap Jia lagi.
“Gue, uh … gue ke belakang bentar ya,” katanya sambil pelan-pelan menggeser kursinya dan menghilang seperti ninja.
Bahkan heelsnya tidak bunyi.
Jia masih membisu.
Lucien menyandarkan jemarinya ringan di tepi meja. “Partner?” tanyanya. Bukan perintah. Tapi juga bukan pertanyaan yang bisa ditolak.
Jia menatapnya, napasnya nyangkut setengah di tenggorokan.
Dia tahu dia harus bilang tidak. Harus menjaga jarak. Harus ... waras.
Tapi lidahnya membeku.
Dan Lucien?
Lucien hanya menunggu dengan sabar. Dengan senyuman kecil yang tidak tercermin di matanya.
Senyuman itu seakan berkata ... Aku ingat kamu.