Jia Lee, Si Gadis Beasiswa

1162 Words
“Ah … pelan-pelan!” Jia refleks berhenti melangkah. Suara itu, desahan lirih yang mengandung sesuatu yang terlalu intim untuk didengar di tempat publik mengambang di udara pagi yang seharusnya tenang. Langkahnya yang tadi ragu berubah kaku, tubuhnya membeku di tengah lorong marmer panjang yang membelah taman mawar kampus. Matanya menyapu ke sekeliling, berharap mungkin hanya suara film dari ponsel seseorang, atau halusinasi karena kurang tidur. Tapi harapan itu buyar dalam satu detik, saat dia melangkah setengah langkah ke samping dan melihatnya. Di bawah kanopi dedaunan yang lebat, nyaris tersembunyi oleh semak mawar putih yang menjulang, ada dua sosok. Seorang pria. Dan seorang wanita. Lelaki itu berdiri membelakangi cahaya, membingkai tubuh perempuan yang merapat padanya. Kemejanya setengah terbuka, rambut honey blond yang terlalu sempurna untuk jadi nyata tersapu angin seperti adegan dari film klasik. Tangannya menyentuh pinggang si wanita, mulutnya menunduk di dekat lehernya. Napas mereka menyatu. Gerakan mereka … perlahan, sensual, dan tak seharusnya disaksikan siapa pun. Dan kemudian suara itu terdengar lagi. “Lucien … ” Desahan yang setengah tercekik. “Kamu bilang cuma sebentar …” Nama itu. Lucien. Jia mundur satu langkah tanpa sadar, sepatu sneakers putihnya menginjak ranting kering. Krek. Suara patahan kecil yang memekakkan dunia. Lelaki itu, yang disebut Lucien, menoleh. Dalam sepersekian detik, mata mereka bertemu. Mata lelaki itu berwarna biru keabu-abuan, tajam, dan menusuk. Seolah dia bisa melihat siapa Jia, menilai niatnya, dan memutuskan apakah dia berhak hidup, semua hanya dari satu tatapan. Jia menahan napas. Jantungnya berdetak terlalu keras untuk tubuh sekecil itu. Dia ingin berpaling, ingin lari, tapi tubuhnya tak bisa digerakkan. Selama beberapa detik, dunia hanya berisi dirinya dan pria asing itu yang entah kenapa terasa terlalu berbahaya. Lalu, pria itu menurunkan pandangannya. Tatapannya tak lagi padanya. Seolah Jia yang tadi sempat menembus ruang privatnya tak lebih dari angin lewat. Satu sentuhan lembut kembali ke pinggang si wanita. Gerakan mereka berlanjut. Jia akhirnya bisa menarik napas. Tangannya gemetar. "Astaga," bisiknya lirih sambil melangkah pergi meninggalkan tempat itu. "Tempat macam apa ini … Hogwarts versi mafia?" *** “JIAAA!” teriak Fei sambil melambaikan tangan. Langkah Jia terasa makin ringan begitu melihat sosok familiar duduk di bawah pohon sakura buatan yang mekar sepanjang tahun. Rambut Fei dikuncir tinggi seperti biasa, bajunya mencolok dalam balutan crop hoodie oranye dan celana cutbray ungu yang nggak masuk akal tapi somehow tetap terlihat cocok. Jia berlari kecil menghampiri. “Maaf, gue nyasar. Universitas ini ... kayak kota mini, Fei.” Fei langsung bangkit dan merangkul bahunya. “Ya ampun, kampus ini emang bukan buat manusia normal. Tapi yang penting kita udah ketemu! And ... wait a sec, kenapa wajah lo pucat banget?” Jia ragu sejenak, lalu menelan ludah. “Gue ... gue tadi nggak sengaja liat sesuatu.” Fei mengangkat alis bingung campur penasaran. “Sesuatu? Sesuatu gimana maksud lo?” Jia menunduk, berbisik pelan, “Ada dua orang lagi ... ya, you know ... kayak mesra rating dewasa gitu. Di balik semak-semak taman mawar.” Fei langsung duduk tegak. “Tell. Me. Everything.” “Laki-lakinya rambutnya ... honey blond. Cakep banget sumpah. Kayak ... gila. Ganteng banget sampai kayak bukan manusia. Kemejanya setengah terbuka. Terus si cewek manggil dia ‘Lucien.’” Fei langsung terdiam selama beberapa detik. Lalu ... “YA AMPUN JIA!” teriak Fei, nyaris melompat dari tempat duduknya. “LO-LO!!! JANGAN-JANGAN LO BARU AJA NGINTIPIN LUCIEN FREAKING CLAIRMONT?!” Jia kaget. “Hah? Siapa?” Fei mencengkeram lengannya dengan super dramatis. “Lucien Clairmont. Pewaris aristokrat blasteran Eropa Rusia, darah bangsawan. Sekarang mahasiswa Literature paling ganteng, paling ditakuti, dan paling nggak tersentuh di kampus ini. Salah satu dari The Trident.” “Trident? Apaan tuh?” Jia mengerutkan kening. Fei langsung mengaktifkan mode gosip turbonya. “YES. The Trident itu circle paling elit di St. Heliora. Tiga cowok, tiga pewaris. Pertama itu Lucien yang tadi gue ceritain terus Yoon Seojun, itu pewaris mafia Korea yang auranya dingin kayak kutub selatan, and the last but not least, Damien Ford, bad boy berotot kekar kayak trainer gym, anak simpenan bos mafia dari Inggris. Mereka bertiga literally nggak tersentuh. Semua orang di kampus ini tahu, kalau lo nggak diundang, lo jangan deket-deket.” “Lo liat deretan mobil di sana?” Fei melanjutkan pelan sambil menunjuk ke arah tiga mobil sportscar eropa yang terparkir sejajar di lobi utama St. Heliora, nadanya ... seperti sedang membocorkan rahasia negara. Jia mengangkat pandangannya. Yang pertama berwarna putih. Bersih sempurna, seperti porselen kerajaan. Mengkilap tanpa cela. Platnya khusus, angka premium. Tidak ada modifikasi. Tidak ada stiker. Terlalu anggun untuk sekadar disebut mobil. Lebih seperti lambang garis darah. Fei menyeruput minuman espressonya pelan. “Itu Lucien.” “Putihnya kayak gak pernah kena debu. Sama kayak pemiliknya ... jangan coba-coba sentuh kalo nggak ‘diundang’.” Fei menggeser telunjuknya ke mobil sebelahnya yang berwarna hitam legam. Body-nya ramping. Lampunya tajam. Platnya juga khusus, dan angka premium. Mobil ini tidak berisik tapi membuat siapapun menoleh, karena kehadirannya menyiratkan sesuatu yang lebih gelap. “Itu Seojun.” Fei tidak tersenyum kali ini. Nada suaranya turun satu oktaf. Lebih pelan dan lebih dalam. “Mobilnya cocok sama orangnya. Diam. Tapi kalau lo salah gerak, dia bisa tabrak batas hidup lo tanpa suara.” Jia menelan ludah. Yang ketiga, merah marun. Menyala dalam cara yang terlalu percaya diri. Jendela belakangnya ada stiker kecil ... Drive like you stole it. Bumper-nya ada sedikit bekas goresan. Tapi justru itu yang bikin makin ... liar. Seperti mobil ini pernah ikut perang, dan menang. Fei tertawa. “Damien Ford. The wildcard.” “Karakternya kayak mobilnya. Bisa muncul tiba-tiba, bikin kekacauan, dan tetap disukai semua orang.” Jia masih menatap ketiga mobil itu. Fei menoleh padanya, senyum menggoda di bibir. “Selamat datang di St. Heliora, Babe.” “Di sini ... lo bisa dapet IPK 4.00 dan tetap jadi invisible. Tapi kalau lo duduk bareng mereka saat makan siang? Kampus ini bakal ngafalin nama lo dalam semalam.” Jia melongo. “Jadi ... yang tadi gue liat itu …?” Fei menatapnya seolah Jia habis menyentuh kawat listrik bertegangan tinggi. “LO NGINTIP DEWA KAMPUS LAGI HAVING … you know. Gue salut lo masih hidup.” Lalu Fei menyempitkan mata. “Tunggu. Lo ngeliat dia? Dan dia ngeliat balik? TERUS DIA NGE-DIEMIN LO GITU? Astaga, Jia, itu LITERALLY jarang banget kejadian ... ya ampun, lo harus diceritain sejarah kampus ini dari awal.” Dan dengan itu, Fei mulai ngoceh lagi. Tentang pesta rahasia di Claret Room, gedung tua yang hanya bisa diakses oleh The Trident dan kalangan Flameborns, anak-anak dari keluarga elite dan berpengaruh, tapi masih di bawah The Trident, sering jadi eksekutor lapangan, ketua klub, dan penggerak intrik sosial. Tentang cewek-cewek yang pernah deket sama Lucien dan hilang tanpa jejak. Tentang Seojun yang katanya pernah nolak anak menteri di depan ruang dekan. Dan tentang Damien yang pernah sabotase mobil dosen karena kesal diminta potong rambut. Jia cuma bisa duduk diam. Dan mulai bertanya-tanya … Apa sebenarnya yang sedang dia masuki?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD