Benih Suka?

1375 Words
“SPILL.” Jia menutup pintu kulkas pelan. Lalu bersandar, tangan masih membawa kotak camilan. “Oke. Fine.” Jia menghela napas. Seolah baru menyerah dari interogasi. “Gue ketemu dia. Waktu di taman belakang perpustakaan. Tanpa sengaja.” Jia melirik ke Jason. “Waktu itu ... kamu belum login-login, dan dia frustrasi.” Jason mengerutkan kening. “..Memangnya dia, partner aku itu ... satu kampus sama Kakak?” Fei langsung menyambar. “ONE. CAMPUS. WITH. US.” Dia meletakkan ponselnya, berdiri penuh gaya. Satu tangan di pinggang, satu tangan menunjuk ke langit-langit seolah sedang pidato teater. “Jason. Sayangku. Partnermu itu bukan cuma manusia biasa. DIA.” “ADALAH.” “YOON.” “FREAKING.” “SEOJUN.” Jason: “………………Hah?” “Anak dari keluarga mafia Korea. Bros emas. Jalan kayak diem aja bisa bikin orang minggir.” Fei mendekat, mulutnya nyaris ke telinga Jason. “Mukanya kayak anime tapi masuk Vogue. Otaknya? Rank one Fakultas Politik. Tapi hatinya? Kekunci di level healer trauma bonding.” Jason: “Heh?” Fei nyengir. “Kamu bukan cuma support dia, sayang. Kamu trauma pair-nya.” Jason menoleh ke Jia, otaknya masih loading. “Jadi partner legendaris yang selalu jagain aku di game...” “Itu mahasiswa paling populer di kampus kakak?” Jia menjawab santai sambil mengunyah camilan. “Basically.” Jason duduk di lantai. Masih kaget. “Aku kirain dia ... 30-an. Bapak-bapak Korea.” Fei: “OH MY GOD.” Jia tertawa geli. Jason masih duduk di lantai. Matanya kosong. Jiwanya belum kembali sepenuhnya dari plot twist terbesar hidupnya. TING! Notifikasi muncul di tablet Jason. Layar gamenya menyala. Message from YoonSei99: “Where were you these two weeks?” Jason membeku. “JANGAN DIAM AJA. BALAS SEKARANG!” Teriak Fei yang diam-diam mengintip tablet Jason. Jason sudah kelihatan stress. “AKU PANIK!” Jia yang tidak tahan untuk tidak menggoda adiknya. “Dia nunggu dua minggu. Kamu punya waktu lima detik.” Jason akhirnya mengetik. Pelan sambil sedikit gemetar. "Maaf. Kakak aku sibuk nyuruh aku belajar mulu. Jadi gak bisa main.” Fei: “OH MY GOD DIA JAWAB GITU??” TING. YoonSei99: “I figured.” Jason baru mau tarik napas lega saat … Notifikasi lain masuk. YoonSei99: “Biar gampang, kasih nomor kamu.” “Dan nomor kakak kamu sekalian.” Jason: “……” Fei: “………” Jia: “………….” Jason menatap layar. “Dia ... minta nomor aku.” “Dan nomor kak Jia???” Fei langsung duduk. Shock. “He’s not just a strategist in politics. He’s a strategist in LOVE.” Jia menahan napas. Lalu menyipitkan mata, memandangi layar itu. “Kasih aja. Tapi bilang, yang kakaknya ... bisa nendang balik kalau diganggu.” Fei sudah rebahan di karpet, tangan menutupi wajah. “KALIAN INI APAAN. KDRAMA KELAS DEWA???” Jason, masih mematung, akhirnya mengetik. “Oke. Ini nomorku. Tapi kakakku ... galak, loh.” Pesan terkirim. YoonSei99: “Noted. Thanks.” Jason masih menatap layar tabletnya seperti baru saja dijebloskan ke dalam visual novel hidupnya. Fei mencondongkan tubuh ke depan. Matanya menyipit, seperti kucing yang mencium bau gosip dalam radius tiga kilometer. “Gue cuma mau tanya satu hal...” Tatapannya pindah ke Jia. “Lo tuh sebenernya ... gimana pendapat lo soal Seojun?” Jia berhenti mengunyah camilannya. Hening sebentar. Pikirannya langsung melayang ke taman belakang perpustakaan. Seojun. Jia tersenyum sedikit. Lalu ... satu kenangan muncul. Ruang musik. Hari itu, dia hampir ditampar oleh salah satu Flameborns. Lalu ... pintu terbuka. Satu suara. 'Berisik.' Seojun dengan tatapan datarnya. Bros emas menyala di kerahnya. Dan kata-katanya membungkam segalanya. Saat itu … Jia merasa dilindungi tanpa perlu dijelaskan. Dia kembali menatap Fei. “Dia ...” Jia menghela napas, “Beda dari yang orang-orang bilang.” Fei mengerutkan kening. “Maksud lo?” Jia menatap ke luar jendela. Langit Jakarta sore itu mendung. Tapi ada cahaya tipis yang menerobos dari sela-sela awan. Cahaya yang tenang tapi konsisten. “Orang-orang bilang dia dingin. Gak peduli.” “Tapi menurut gue... dia cuma nggak buang waktu ke hal yang nggak penting.” Jason melongo. Fei pelan-pelan tersenyum. Tangan menyilang dan matanya berbinar. Itu senyum yang menyimpan satu kata: ‘Caught.’ “Jia …” Nada suara Fei berubah. Lebih pelan. Lebih lembut. Tapi penuh jebakan. “Lo sadar nggak nada lo berubah banget pas ngomongin dia barusan?” Jia menoleh cepat. “Enggak.” “ENGGAK?” Fei menatapnya seperti mau lempar bantal ke mukanya. Jason mengangkat alis. “Eh ... kalian ngomongin siapa sih?” Fei dan Jia serempak: “GAK PENTING.” Fei kembali ke posisi duduk tegak dengan tatapan penuh misi. “Listen.” “Saat lo bisa lihat seseorang yang dunia bilang dingin ... tapi lo malah bilang dia selektif dan cara lo ngomongin dia kayak pelan-pelan buka pintu rahasia ... ” Fei mencondongkan tubuh. “Itu bukan cuma ngerti, Jia.” “Itu mulai suka.” Jia menggigit bibir bawahnya sedikit. Tapi Fei notice. Jason, yang masih memproses semua, mengangkat tangan. "Aku boleh nyelip pertanyaan?” Fei: “Tergantung. Mau gosip atau refleksi hidup?" Jason: “Dia bisa ngajarin aku strategi politik gak?” Jia dan Fei: “JASON!!” *** [Malam itu] Fei sudah pulang. Jason lagi di kamarnya sendiri, pakai headset, entah lagi PVP atau curhat digital ke Seojun. Jia berbaring di kasur. Lampu kamarnya redup. Jendela dibuka sedikit membuat angin Jakarta masuk, membawa sisa-sisa kehangatan siang yang belum mau pergi. Dia baru saja meletakkan tablet ketika ponselnya bergetar. Nomor tidak dikenal. "Thanks. Partner gue balik online." Jia duduk pelan. Matanya menyipit tapi jantungnya ... berdetak sedikit lebih cepat. Another text. Unknown Number: "Coffee tomorrow?" Tidak ada nama tapi Jia tahu. Tahu dari singkatnya kalimat. Tahu dari jeda antara dua pesan itu. Tahu dari cara seseorang menghindari basa-basi. Dia menatap layar beberapa detik lalu tersenyum kecil. Tangannya bergerak mengetik. "Asal gak bahas politik luar negeri dan game tier S." Beberapa detik kemudian ... Typing… Unknown Number: "Noted. Just you, me, and kopi hitam." Jia meletakkan ponselnya di d**a. Menatap langit-langit kamar dan untuk alasan yang tidak bisa dia jelaskan ... malam itu terasa sedikit lebih exciting. *** Pagi itu, Claret Room dipenuhi aroma espresso mahal, parfum eksklusif, dan bisik-bisik manis yang menyamar sebagai tawa. Lucien seperti biasa, duduk menyender santai, jari-jari lentiknya membalik halaman buku puisi klasik yang entah kenapa selalu dibawa meski tak pernah dibaca serius. Damien sibuk mengunyah croissant isi truffle, kakinya selonjor di meja, ekspresi puas seperti pemilik dunia. Dan Seojun? Hari ini dia tidak memakai hoodie seperti biasanya melainkan kemeja hitam tipis, dengan kerah terbuka secukupnya. Lengan digulung bersih, jam tangan super mahal bergaya militer menghiasi pergelangan kirinya. Celana potongan tajam. Sepatu polished. Intinya terlalu rapi untuk ‘hari biasa.’ Damien berhenti mengunyah. “Lo ... mau kemana?” Seojun tidak menjawab. Matanya tetap pada ponsel di tangan tapi satu sisi alisnya terangkat sedikit. Lucien melirik tanpa suara tapi sudut bibirnya terangkat sedikit membentuk senyum. Damien melotot ke arah sahabatnya yang biasanya anti dandan. “Ngopi,” jawab Seojun singkat. Damien langsung bangkit. “EXCUSE ME. Seojun bilang mau ngopi. Dalam outfit yang kayak ... CEO dari manhwa mafia modern??” Dua Flameborns yang duduk tidak jauh langsung berbisik pelan-pelan. “Dia ngopi?” “Sama siapa?” “Lucien biasanya yang mysterious ... tapi sekarang Seojun?” Salah satu dari mereka, Melissa, pewaris klub malam Jakarta Selatan, bangkit dari sofa velvet-nya. Rambut platinum blond-nya diangkat sleek, blazernya pas badan, dan senyum paling mematikannya muncul. Dia melangkah ke arah Seojun. “Seojun ...” suaranya seperti sirup yang terlalu manis. “You look different today.” Seojun tidak menjawab. Bahkan tidak melihat. Dia berdiri, memasukkan ponsel ke saku celananya. Jam tangan di pergelangan kiri menyala pelan. Satu langkah lagi. Melissa tidak menyerah. Dia menyentuh lengan Seojun sekilas. “Ngopinya ... kamu sendiri?” Seojun berhenti dan menoleh perlahan. Matanya dingin tapi tenang. “Five minutes late would be rude,” katanya. Lalu berjalan. Meninggalkan sofa, croissant, dan satu ruangan penuh rasa penasaran. Flameborns langsung ricuh dalam bisik-bisik setengah panik. “Siapa yang dia temui?” “Bukan dari circle kita, pasti.” “Cewe fakultas hukum?” Lucien hanya menghela napas pelan, menutup bukunya. Damien menyeringai, melirik punggung Seojun yang menjauh ke arah lift privat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD