Online Crush

1400 Words
Jia masih menatap danau. Tapi kini, detak jantungnya terasa lebih jelas di telinga sendiri. Seojun menunduk lagi ke layar. Tapi sebelum jari-jarinya menyentuh ponsel, dia berkata. “Dia jago, by the way.” Jia menoleh. Seojun masih tidak menatapnya. Matanya tetap di layar dan suaranya terdengar tenang. “Akurat. Gak greedy. Timing heal-nya pas banget. Kayak dia ... tau insting aku bahkan sebelum aku gerak.” Jia menahan napas. Bukan karena kata-kata itu. Tapi karena cara Seojun mengatakannya. Sama sekali tidak seperti dia sedang memuji. Tapi lebih seperti ... mengakui seseorang yang diam-diam penting. “Aku gak pernah cocok sama support mana pun selama ini.” Lalu, jeda sebentar. “Baru dia.” Jia akhirnya menoleh, menatap Seojun dengan alis terangkat. “Seojun …” “Hmm?” Wajahnya datar. Masih fokus ke layar. Tapi Jia bisa rasakan, sudut bibirnya sedikit naik. “Kamu gak jatuh cinta, kan … sama adikku?” Seojun langsung diam. Jari-jarinya berhenti di atas layar. Jia menahan tawa. “Serius deh. Cara kamu ngomongin dia barusan ... kayak lagi deskripsiin tokoh utama shoujo manga. ‘Dia paham gue bahkan sebelum gue gerak.’” Seojun menoleh perlahan. Tatapannya masih tenang. Tapi sekarang dingin dalam cara yang terlalu tenang buat dianggap biasa. Lalu dia bicara. “Karena aku pikir dia cewek, aku udah nembak dari bulan lalu. Tapi ditolak.” Jia: “ … ” Seojun mengangkat bahu santai. “Ternyata dia cowok. Hidup emang kadang penuh jebakan.” Jia akhirnya tidak tahan dan tertawa. Tertawa beneran. Bukan senyum sinis, bukan tertawa canggung. “Ya ampun.” Seojun menatapnya dan untuk pertama kalinya pagi itu, dia ikut tersenyum. Benar-benar senyum. Dan Jia? Dia masih tertawa kecil. Tapi sekarang wajahnya sedikit hangat. Entah karena candaan barusan atau karena dia baru sadar kalau Seojun bukan cuma dingin. Dia bisa lucu. Dia bisa mengerti. Dan tanpa sadar, Jia berpikir ... Kalau seseorang seperti Yoon Seojun bisa tertawa karena lelucon kecilmu, apa itu tandanya dia sedang mulai membuka pintu? *** Hari itu kuliah berakhir lebih cepat, tapi cuaca Jakarta seperti biasa panas, lengket, dan bikin pengen rebahan seharian. Fei sudah berada di depan rumah Jia. Pakai kacamata hitam oversized, crop top ungu, dan celana kulot batik couture yang entah kenapa masih bisa dia bikin terlihat fashionable. “BESTIE!” teriaknya begitu masuk. “Gue mau mati karena tugas filsafat cinta itu. Please, otak gue tinggal tiga persen.” Jia sudah tahu dan sudah pasrah. “Masuk. Duduk. Gue bikin teh.” Fei langsung melempar tas ke sofa dan memeluk bantal. Tepat saat itu, Jason muncul dari lorong. Rambutnya masih basah, pakai kaus oblong, dan headset tergantung di leher. “Jason,” sapa Jia sambil menyerahkan gelas teh ke Fei. “Partner kamu yang Korean global top itu ... dia nyariin kamu. Katanya nungguin kamu online dua minggu.” Jason berhenti di tempat. Matanya membesar karena kaget. “Hah?” Jia duduk santai, menyilangkan kaki. “Serius. Katanya partnernya ilang. Dan dia kesel banget.” Jason perlahan menoleh ke kakaknya. Curiga. “Kakak ... kok bisa tau?” Fei menyender ke bantal, ikutan nimbrung. “YEAH. Gue juga penasaran. Sejak kapan lo tiba-tiba update soal gaming internasional?” Jia cuma senyum. Senyum yang menyebalkan. Senyum yang menyimpan 30% rahasia, 40% keisengan, dan 30% rasa sayang kakak. “Kebetulan aja partner kamu itu temennya temen.” Jason masih menatap dengan kecurigaan penuh. Tapi refleks jari-jari gamer-nya udah gatal. Dan 0.1% probabilitas muncul: what if? “Aku login dulu.” katanya sambil balik badan dan lari ke kamarnya. Fei menoleh cepat. “Woi itu teh lo belum minum!” “Biarin! Darurat nasional!” Lima menit kemudian ... Teriakan kecil terdengar dari dalam kamar. “KAKAAAAAAK!!” Jia tersenyum. Fei tersedak dan hampir tumpahin tehnya. Jason muncul lagi. Wajahnya campuran syok, senang, dan bingung. “Aku dikasih item legend.” Fei: “Whaaat?!” Jia, dengan nada seenaknya: “Jangan lupa emot love ya.” Jason: “HAH??” Jia berdiri, menuju dapur, sambil ngomong tanpa menoleh. “Soalnya katanya, partner kamu suka pakai ‘bestie’ dan ‘emot love’. Jadi jangan lupakan ciri khas. Nanti dia curiga.” Jason berdiri di sana. Pusing. Bingung. Fei menatap Jia penuh skandal sambil scroll-scroll santai di MIRÁGES. “Jangan bilang ... kamu kenal siapa dia sebenarnya?” Jia cuma angkat bahu dan menuju ke kulkas untuk mengambil camilan tapi senyumnya belum hilang. “Hah?” Nada suara Fei berubah. “HAAAAAAH?!” Jia langsung nengok dari balik pintu kulkas. “Apa?” Fei menatap layar ponselnya, matanya menyipit. Kacamatanya turun setengah hidung. Jari telunjuknya naik pelan dengan dramatis. “Jia.” “LOOK. AT. THIS.” Fei berlari kecil ke arah Jia dan menyodorkan layar ponselnya. Postingan Damien dengan gambar screenshoot in-game. Caption-nya simpel. “Cold hands, warm loot.” Legend drop, sent with love. #TridentSecrets #healerfirstlove #seojunheartbroken Fei menatap Jia pelan. “Jason dapet item ini kan?” Fei menyempitkan mata. “Dan Jason bilang... ‘gue dapet dari partner lama gue.’” “Partner lama dia itu ... player global Korea yang misterius.” Fei menoleh. Pelan dan dramatis. Jia: “Fei.” Fei: “Yang kamu bilang temen dari temen pas Jason login tiba-tiba?” “Yang sekarang udah ngasih ITEM LANGKA yang literally gak bisa dibeli??” Fei diam menatap Jia. “SPILL.” *** [Sudut Pandang Seojun] Kamar Seojun tidak seperti kamar mahasiswa biasa. Tidak ada poster. Tidak ada gantungan hoodie random. Tidak ada sisa cup ramen di pojok. Melainkan, satu dinding penuh glass panel, menghadap ke city skyline Jakarta. Langit sore memantul di balik kaca, menciptakan efek visual seperti lukisan bergerak. Interiornya minimalis futuristic, bernuansa monokrom. Semuanya hitam, abu, dan sedikit kilau logam. Tempat tidur king size dengan seprai abu-abu gelap yang selalu rapi. PC gaming custom-built dengan casing transparan dengan lampu biru redup, semua kabel tersembunyi rapi. Kursi ergonomis yang mahalnya bisa beli motor. Headset digantung dengan presisi penuh, keyboard mekanikal yang klik-nya punya suara seperti langit runtuh kecil. Dan di tengah semuanya, Seojun duduk. Bahunya tegak. Mengenakan hoodie hitam oversized. Kaki terlipat di bawah kursi dan mata terfokus ke layar. Damien duduk di bean bag hitam di belakangnya, sedang makan biskuit langsung dari box. “Lo yakin dia bakal login?” Seojun tidak menjawab langsung. Jarinya bergerak cepat di keyboard. ID yang lama muncul. sh4dow. Online. Mata Seojun menyipit. Satu detik hening. “He is back.” Damien bersiul pelan. “Awww. Little reunion moment. Mau gue bikin musik latar?” Seojun mengabaikannya. Dengan dua klik di layar, dia membuka inventori, mengambil satu item. Legend grade. Rare event drop. Tidak bisa dibeli, hanya bisa dimenangkan. Dia kirim. Langsung. Tanpa pesan. Damien menoleh cepat. “Eh?! Lo kasih itu?! Seriusan?” Seojun masih menatap layar. “Dia butuh. Main pake default skin bikin dia keliatan newbie.” Damien tertawa, berguling di bean bag. “Lo bener-bener deh. Tampang batu, hati sugar daddy. Cinta pertama lo pasti healer ya.” Seojun mengangkat bahu. Dingin. Tapi satu sisi bibirnya ... naik sedikit. DING! Notifikasi masuk. Damien menggigit biskuit pelan. Matanya menyipit ke layar. “Whoa. Dia bales emot love banyak banget.” Seojun mengangguk pelan. “Biasanya juga gitu.” “Sweet,” gumam Damien. “Gue pengen punya partner kayak gitu ... yang bisa healing dan kasih kasih sayang.” Dia mengunyah biskuit lagi, tapi lalu berhenti. Alisnya mengerut. “Bentar.” Matanya menatap Seojun dari balik kotak biskuit. “Jun.” “Hmm?” “Bukannya ... bulan lalu lo cerita ...” Damien menyipitkan mata, mencoba mengingat. “Lo bilang partner lo itu ‘lucu, lembut, dikit-dikit ngetik bestie dan emot love ...’” Seojun tidak menjawab. Hanya mengklik mouse. Too precise. Too controlled. “Lo juga bilang mau confess.” Damien duduk lebih tegak. “Bro.” Seojun akhirnya menghela napas pelan. “Iya gue salah sangka.” Damien membuka mulut. Menutup. Membuka lagi. “BRO.” Damien berdiri, tangan masih membawa biskuit, seolah tidak percaya. “Lo literally seminggu diem, cewek di Claret Room lo anggurin, well, walaupun emang selalu lo anggurin sih, just because ‘partner terbaik lo ghosting.’ Ternyata dia ...” Seojun pelan-pelan kembali ke gamenya. “Dia cowok.” Damien terduduk lagi. Kali ini di lantai. “Lo ditolak cowok.” Seojun menoleh, santai. “Gue kira dia cewek. And He said no.” “Respectfully.” Damien tutup muka pakai box biskuit. Setengah sakit perut karena tertawa. “Gue gak kuat.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD