"Apalagi yang kurang untuk persiapan menikah besok?" gumam Hana setelah memeriksa beberapa item di kamar.
Gaun pengantin dan item lainnya sudah tertata rapi di lemari. Lega rasanya semua sudah komplit, tak ada yang kurang satu pun. Hana hanya berharap pernikahan besok akan berjalan lancar tanpa hambatan apapun.
Hana kemudian duduk sejenak di kasur untuk meluruskan punggung, lelah mulai dirasakannya meski hanya memeriksa kelengkapan saja. Dia tak bisa bayangkan seperti apa pernikahan besok, pastinya cukup melelahkan.
Hana berniat untuk tidur lebih awal agar besok bisa bangun lebih pagi. Baru saja berebah terdengar suara denting bel ditekan.
"Apakah itu Ray?"
Hana turun dari kasur, meski malas. Mungkin saja yang datang calon suaminya. Karena sering pria itu melupakan sesuatu lalu datang untuk mengambilnya. Anehnya sejak tadi tak ada pesan ataupun telepon yang masuk. Namun, meskipun demikian Hana tetap bergegas menuju ke ruang tamu.
Pelan Hana menarik pintu terbuka.
Ternyata bukan Ray yang datang, melainkan seorang wanita dengan perut buncit yang sangat asing sekali baginya. Siapa dia?
"Permisi, apa benar ini rumah Hana?" tanyanya sembari mengusap perut besarnya itu.
"Ya, benar. Aku Hana. Anda siapa?"
Wanita berambut panjang yang diikat rapi itu terlihat tegang menatap Hana. Ada rasa cemas, marah dan takut yang terlintas di sorot matanya.
"Aku Eva. Boleh kita bicara di dalam?" sahutnya kembali mengusap perut bulatnya dengan gelisah.
Meski Hana tidak mengenal wanita ini. Tapi nada bicaranya terlihat serius pasti hal yang ingin dibicarakan penting. "Mari, silakan masuk."
Eva masuk kemudian duduk berhadapan dengan Hana. Berjuta tanya berputar di kepalanya. Siapa sebenarnya wanita hamil ini? Dia benar-benar tidak kenal dengannya.
"Apa kamu kenal Mas Ray?"
Dengan berat Hana mengangguk. Kenapa tiba-tiba wanita ini membahas calon suaminya? Ini membuatnya merasa tak nyaman. Entah kenapa feelingnya jadi tak enak sekarang.
"Ya. Ada apa dengan Mas Ray?"
"Kamu besok mau menikah dengannya?"
Hana mengangguk. Dia tidak tahu kenapa Eva tahu bila dirinya besok akan menikah? Apakah hubungannya dengan Ray? Seberapa besar dia mengenal dirinya?
"Aku minta kamu membatalkan pernikahan dengannya besok. Mas Ray adalah suamiku. Dan sebentar lagi aku akan melahirkan anak kedua. Tolong jangan ganggu rumah tangga kami."
Dada Hana bergemuruh hebat mendengarnya. Hatinya bagai ditusuk jutaan jarum. Eva bilang Ray adalah suaminya? Omong kosong macam apa ini! Selama ini dia sudah menjalin hubungan dengan Ray selama lima tahun. Tak pernah ada masalah apapun dan kenapa tiba-tiba datang masalah mengguncang hidupnya? Dia tak percaya dengan ocehan wanita ini, mungkin saja dia mengaku-ngaku.
Melihat muka bingung Hana, Eva kemudian mengeluarkan akta nikah, membukanya di depan Hana. Di buku nikah itu jelas terlampir foto suami dan istri. Lebih mengejutkan lagi foto pria itu memang foto Ray. Bahkan nama yang terlampir di sana adalah nama Ray.
Muka Hana memerah dengan hati carut marut, mau marah tapi pada siapa dia tujukan amarah itu. Sedih iya, kecewa sangat!
"Tapi Mas Ray bilang padaku dia single, belum married," sanggah Hana dengan lantang. Dia masih tak percaya dan belum bisa menerima kenyataan.
"Kami memang ada masalah selama lima tahun belakangan ini. Kami sering kres, tapi aku baru tahu ternyata dia mencari pelampiasan dari masalah kami dengan mengencani kamu."
Kini Hana membeku dengan lidah tercekat. Rasanya dia bagai ditimpa batu berton-ton beratnya. Sesak sekali. Ray yang selama ini sabar, cukup pengertian dan care hanya menjadikannya pelarian sementara.
"Itu saja yang ingin kusampaikan padamu. Aku harap kamu bisa mengerti sebagai sesama wanita. Sebelum kamu menjadi pelakor sungguhan, lebih baik kamu tobat sekarang. Lepaskan Mas Ray dan kembalikan dia padaku." Ucapan terakhir istri Ray penuh dengan penekanan dan sorot mata amarah juga peringatan.
Ucapan itu membuat Hana tak berdaya dan sangat menyakitinya. Dia sampai tak mengantar pergi istri Ray, membiarkan wanita itu pergi sendiri dari rumah tanpa pamit dengan kemarahan tertinggal di sini.
Sekepergian Eva, Hana tertunduk dengan air mata berderai. Dirinya yang selama ini menganggap dirinya baik, rupanya selama ini telah menjadi pelakor selama lima tahun.
Terdengar suara denting bel kembali.
Hana menegakkan muka sembari mengusap sisa air mata yang masih mengalir. Siapa lagi yang datang kali ini? Apa itu istri Ray lagi? Sungguh, Hana takut dan masih trauma bila saja wanita itu kembali datang bertandang ke rumahnya. Bukankah tadi sudah cukup marah dan memermalukan dirinya?
Suara bunyi bel terdengar semakin melenting, membuat Hana terpaksa bangkit dari duduknya untuk membuka pintu.
"Paket." Suara seorang kurir menyapa setelah pintu terbuka lebar.
Ada rasa lega yang datang bukan istri Ray, tapi pengantar paket. "Malam begini masih kirim paket, Mas?" ceplosnya dengan suara parau.
"Ini paket ekspres, Mbak sendiri yang minta paket ini dikirim dan sampai hari ini juga."
Kurir menyodorkan sebuah paket pada Hana, kotak berukuran tanggung. Namun, Hana tak langsung menerimanya. Dia diam sejenak memikirkan isi paket tersebut. Isinya lima stel lingerie yang khusus dipersiapkan untuk malam pertama besok. Tapi untuk sekarang, fakta menyakitkan terkuat apakah paket itu masih penting untuknya? Tidak! Dia tidak butuh itu sekarang!
"Maaf, aku batalkan pesanan paket ini." Hana berjalan mundur menuju ke pintu.
Kurir melipat kening seribu. "Membatalkan pesanan? Itu tidak bisa. Bila paket ekspres tidak bisa dibatalkan, kecuali itu paket regular."
"Biasanya bisa kok, Mas." Hana berkeras tak mau menerima paket tersebut. Yang menguntungkan Hana, dia memilih metode p********n cash on delivery tadi. Jadi posisi dia lebih kuat.
"Tidak bisa, Mbak. Untuk item yang kamu pesan ini tidak bisa dikembalikan bila sudah dipesan. Ada penjelasannya. Apa tidak dibaca sebelumnya?
Hana membeku di tempat. Jujur dia tidak membaca detail deskripsinya. Tadi dia pesannya buru-buru jadi menurutnya barang yang dia pilih menarik dan langsung dia masukkan keranjang tanpa membaca detailnya. Bila tahu ada tambahannya seperti itu maka dia tak akan memesannya tadi.
"Tapi barang itu masih utuh, masih tersegel dan aku belum menyentuhnya sama sekali. Jadi itu bisa kembali seharusnya."
Terjadi perdebatan setelahnya antara Hana dengan kurir. Keduanya berpegang teguh pada pendapat mereka masing-masing, tak ada yang mau mengalah.
Hana tak mau rugi, begitu juga dengan kurir yang tak mau rugi karena akan mempengaruhi performa kerjanya.
"Begini saja temui aku di kantor besok bagaimana baiknya. Kita bicarakan ini di sana. Ini kartu namaku. Karena masih ada paket yang harus ku antar juga." Kurir menyerahkan kartu nama pada Hana beserta paket kemudian pergi dengan sisa amarah yang tertinggal.
"Astaga! Dia malah pergi!" Dengan kesal Hana membawa paket itu masuk ke rumah.
Tak lupa dia baca nama kurir tadi. "Gavin Haidar Rumi."