"Nona," panggil Martha. Didekatinya Freya yang tengah duduk melamun di tepi kolam.
"Ya, Bu?"
"Saya mau bicara sesuatu, Nona. Apa boleh?" Setelah berhari-hari dilanda kebimbangan, akhirnya Martha memberanikan diri untuk berbicara serius dengan Freya. Katakanlah ia lancang. Tapi ia tidak bisa membiarkan situasi ini menjadi semakin buruk.
"Tentang apa, Bu?" tanya Freya curiga.
"Ini soal Den Reiga, Nona." Martha ikut duduk di atas batu, persisi di sebelah Freya.
"Ada apa, Bu?" tanya Freya malas.
"Saya ingin meminta tolong pada Nona agar jangan bersikap begitu pada Den Reiga."
Freya memasang wajah datar tanpa ekspresi. "Memangnya saya melakukan apa, Bu?"
"Nona membuat Den Reiga takut."
"Saya? Saya membuat dia takut?" Freya menunjuk dirinya sendiri. "Apa tidak salah, Bu? Saya yang terancam di sini, kenapa juga jadi dia yang takut sama saya?"
Martha menggeleng sambil tersenyum sabar. "Nona mungkin tidak sadar, tapi sikap dan perkataan Nona membuat Den Reiga merasa terancam."
"Perkataan saya yang mana, Bu?"
"Tentang niat Nona ingin mencelakai Den Reiga."
"Meracuni dia maksudnya, Bu?" Seketika Freya ingin tertawa.
"Iya, Nona."
"Konyol!" desis Freya sinis. "Saya hanya asal bicara, Bu. Tidak mungkin saya sungguh-sungguh melakukannya. Ibu tahu sendiri apa saja yang saya lakukan di rumah ini. Semua yang saya kerjakan Ibu sendiri yang mengawasi. Memangnya apa yang bisa saya lakukan untuk mencelakai dia? Meski saya ingin pun, tidak ada yang bisa saya lakukan, Bu."
"Saya tahu, Nona." Martha mengangguk penuh pengertian. Diambilnya tangan Freya, dan ditepuk-tepuknya perlahan. Tidak berapa lama wajahnya terlihat sedih. "Tapi Nona tidak tahu apa yang Den Reiga alami semasa kecilnya. Pengalaman buruk yang menyebabkan Den Reiga bereaksi seperti itu hanya dengan mendengar kata-kata Nona."
Freya memicingkan matanya. "Memangnya apa yang terjadi dulu?"
"Sejak dulu, hidup Den Reiga tidak pernah tenang. Hidupnya selalu terancam. Ada orang yang sangat ingin mencelakainya."
"Siapa yang berani mencelakai dia, Bu? Apa yang melakukannya adalah musuhnya?" Freya mulai penasaran.
"Tidak, Nona." Martha menggeleng sedih. "Hal itu dilakukan oleh orang yang sangat Den Reiga cintai."
"Kekasihnya?" tebak Freya.
Martha menggeleng kecil.
"Istrinya?" tebak Freya lagi.
Martha kembali menggeleng disertai tawa kecil. "Den Reiga belum pernah menikah, Nona."
Freya mengangkat bahunya, tidak ingin mencoba menebak lagi. Ia memilih menanyakan pertanyaan lainnya. "Pelakunya ditangkap, Bu?"
Martha tersenyum miris. "Tidak ada yang berani melaporkannya."
"Kenapa?"
"Karena Den Reiga sendiri yang melarangnya. Den Reiga tidak ingin terjadi hal yang buruk pada orang yang dicintainya itu."
"Bodoh! Apa yang dia pikirkan?" Freya mendengus spontan.
Martha hanya bisa tersenyum mengingat kebodohan Reiga. Ia sendiri mengatakan hal yang sama dulu. "Den Reiga menganggap kalau itu hanya bentuk pelampiasan kekesalan saja, dan Den Reiga berpikir kalau dia memaafkan orang itu, orang itu akan sadar."
"Pikiran yang aneh," gumam Freya.
"Memang. Tapi begitulah kalau kita mencintai seseorang. Kita menjadi bodoh, dan kita mengharapkan hal yang tidak masuk akal terjadi."
"Dia mencintai orang itu?" Tidak terbayang dalam benak Freya pria dingin dan jahat seperti Reiga bisa mencintai orang lain.
"Sangat."
"Orang itu juga mencintai dia?" Entah mengapa mulutnya jadi lancang seperti ini.
"Sayangnya tidak. Tapi Den Reiga terus meyakini bahwa orang itu mencintainya. Hanya saja belum menyadari perasaannya sendiri."
"Mana ada orang yang mencintai tapi menyakiti begitu? Bodoh sekali dia!"
"Miris memang. Apalagi kejadian itu sampai terjadi berkali-kali."
"Sebenarnya siapa orang itu, Bu?"
"Saya tidak bisa bercerita lebih jauh lagi, Nona. Tapi yang jelas itu menjadi pengalaman buruk yang sangat membekas untuk Den Reiga. Semoga Nona bisa sedikit memahami ketakutan Den Reiga."
***
"Den Rei!" Martha berlari menuruni tangga dengan panik.
"Ada apa, Bu?" Reiga yang sangat mengenal Martha, heran melihat kepanikan wanita itu. Martha yang dikenalnya adalah wanita yang tenang, yang selalu bisa mengendalikan diri dalam berbagai situasi. Kalau sampai Martha terlihat panik seperti ini, pasti ada sesuatu yang terjadi.
"Nona tidak ada di kamarnya!" Martha mengatakannya dengan terengah. Martha takut. Ia takut dengan apa yang akan terjadi. Reiga sudah berpesan padanya sejak sebelum Freya di bawa ke rumah ini, bahwa ia harus menjaga gadis itu baik-baik. Tidak boleh sampai ada kesalahan.
"Dia pergi?" tanyanya tenang.
"Sepertinya begitu, Den. Karena Nona tidak pernah keluar dari kamar sebelum Den Reiga meninggalkan rumah."
Reiga tidak terlalu terkejut. Ia sudah memprediksi hal seperti ini akan terjadi. Hanya waktunya yang tidak ia sangka. Awalnya ia mengira kalau Freya akan mencoba melarikan diri di hari-hari pertama gadis itu dibawa ke sini, atau mungkin setelah mereka terlibat perdebatan besar, tapi nyatanya gadis itu malah memilih saat-saat tenang seperti ini.
Reiga menghentikan sarapannya, diraihnya ponselnya dan langsung menghubungi Ardi. Sikapnya tetap terlihat tenang. "Ardi, sepertinya gadis itu kabur. Lacak jejaknya dan segera bawa dia kembali. Lakukan dengan rapi dan cepat. Jangan sampai ada pihak lain yang berhasil menemukan keberadaannya."
Diletakkanya ponselnya di atas meja makan. Diketuk-ketuknya jarinya ke atas permukaan meja. Sungguh Reiga penasaran dengan cara Freya bisa meloloskan diri dari rumahnya tanpa ketahuan oleh siapa-siapa. Padahal ia sudah meningkatkan pengamanan sejak gadis itu tinggal di rumahnya.
Terdorong oleh rasa penasaran, Reiga memutuskan menunda keberangkatannya ke kantor dan memilih mencari tahu cara Freya menembus pengamanan di rumahnya. Ia menuju ruang kerjanya dan mulai memeriksa rekaman kamera cctv.
"Ternyata dia cerdas juga." Reiga terkekeh sendiri ketika akhirnya mengetahui cara Freya melarikan diri. Melihat cara gadis itu meloloskan diri, Reiga yakin kalau Freya sudah merencanakannya dengan matang. Tapi untunglah Reiga sudah mengantisipasi kemungkinan seperti ini. Sejak pertama Ardi membawa Freya, Reiga sudah memerintahkan agar Ardi memasangkan alat pelacak di liontin yang selalu Freya kenakan.
***
Sejak tadi Freya tidak dapat memejamkan matanya, ia terus terjaga sepanjang malam. Dalam diam, ia kembali mengulang rencana yang sudah dipersiapkannya selama berminggu-minggu. Freya sudah mengamati dengan cermat seluruh aktivitas yang terjadi di rumah ini.
Begitu jam menunjukkan pukul 03.45 dini hari, Freya langsung bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan ke depan jendela, memeriksa kembali keadaan di luar. Setelah yakin bahwa semuanya aman, Freya langsung melesat meninggalkan kamarnya. Ia berjalan dengan langkah mantap menuju bagian belakang rumah Reiga yang digunakan sebagai tempat tinggal para pelayan. Ia hanya memiliki waktu lima belas menit sebelum para pelayan keluar dari kamarnya, menuju bangunan utama untuk bekerja. Kalau para pelayan sudah berkeliaran di dalam rumah, akan sulit bagi Freya untuk menyelinap keluar tanpa menimbulkan kecurigaan.
Freya terus berjalan menuju laundry room. Begitu masuk, ia langsung mencari seragam pelayan yang sekiranya dapat ia gunakan, kemudian mengganti pakaiannya sendiri dengan seragam pelayan tersebut. Setelahnya, Freya duduk menunggu dengan tenang hingga waktu pergantian sif tiba. Freya sudah mengawasi dan menemukan fakta bahwa saat pergantian sif, hanya gerbang utama saja yang tetap dijaga, sementara pintu belakang yang biasa digunakan para pelayan tidak dijaga.
Semuanya berjalan sempurna. Ia lolos dengan mudah. Freya merasa begitu lega ketika berhasil keluar dari rumah itu. Ia terus berjalan tanpa arah. Ia tahu keputusannya ini memang bodoh. Ia kabur tanpa tahu ke mana ia akan pergi, tanpa uang sedikit pun, dan tanpa ponsel. Entah bagaimana caranya menghubungi orang-orang yang sekiranya dapat membantunya, untuk saat ini yang terpenting adalah pergi.
Tapi sial, tidak sampai tiga jam setelah ia menginjak kebebasan, Ardi menemukannya dan membawanya kembali ke rumah Reiga. Hal yang membuat Freya marah adalah kenyataan bahwa Ardi dapat menemukannya dengan mudah. Semua usaha dan rencananya sia-sia belaka.
"Sudah jalan-jalannya?" Reiga berjalan masuk dengan tenang ke dalam kamar Freya. Dilihatnya gadis itu tengah duduk termangu di atas lantai, memandangi langit malam dari jendela kamarnya.
Lamunannya terputus ketika mendengar suara sang pemilik rumah. Entah mengapa, suara Reiga terdengar seolah tengah mengejeknya. Namun Freya bersikap seolah sama sekali tidak terganggu dengan kedatangan Reiga. Ia bahkan tidak merasa perlu repot-repot untuk sekadar menoleh ke belakang.
Meski Freya diam saja, Reiga tidak peduli. Ia tetap melanjutkan bicaranya. "Sudah saya bilang, jangan coba-coba melarikan diri. Usaha kamu akan sia-sia saja."
Hening. Sama sekali tidak ada balasan. Bergerak pun Freya tidak.
Reiga berjongkok di dekat Freya, menyambar bahunya dengan paksa agar gadis itu memutar menghadapnya. Tangan kanannya naik ke wajah Freya, mencengkeram dagu dan pipi gadis itu dengan kuat.
"Kira-kira hukuman apa yang pantas diberikan untuk gadis nakal seperti kamu ini?" desisnya kejam.
Freya balas memandang Reiga dengan tatapan kosong. Ia tidak peduli dengan apa yang akan Reiga lakukan padanya. Ia merasa sudah tidak ada gunanya lagi bertahan dan melanjutkan semua ini. Rencana pelarian yang sudah disusunnya sedemikian matang, hancur berantakan begitu saja. Padahal Freya sudah merencanakan pelarian ini sesempurna mungkin, tapi nyatanya tidak butuh waktu lama bagi Ardi untuk menemukannya dan membawanya kembali. Ia merasa sangat dungu.
Reiga termangu ketika menyadari pandangan kosong yang Freya berikan. Tidak biasanya gadis itu seperti ini. Freya yang ia tahu selalu menatapnya dengan tajam, Freya yang ia tahu selalu berani melawan dan menentangnya, Freya yang ia tahu selalu terlihat membenci dan ingin membunuhnya. Tapi saat ini, gadis yang tengah duduk bersimpuh di hadapannya, terlihat lemah dan kalah.
Sikap Freya yang seperti ini membuat Reiga tanpa sadar melunak. "Kalau kamu berhasil melarikan diri, kira-kira ke mana kamu berniat pergi? Menemui Farell? Meminta bantuan Gatra Permana? Atau jangan-jangan kamu akan mendatangi Kevin Jordie?"
Freya tersentak ketika mendengar Reiga menyebut kedua nama itu. Ada rasa takut yang perlahan menyusup. Pria di hadapannya ini, siapa dia sebenarnya? Kenapa ia tahu begitu banyak hal? Kenapa ia terlihat sulit dikalahkan. Sebesar apa pun kuasa seorang Kevin Jordie, Freya tidak gentar menghadapinya. Dan secerdas apa pun Gatra Permana, Freya masih dapat menemukan cara untuk mengakalinya. Tapi Reiga Narendra Tandayu? Pria ini seperti jelmaan Kevin Jordie dan Gatra Permana yang disatukan. Berkuasa dan cerdas.
"Katakan, siapa yang ingin kamu temui?" Perlahan dilepaskannya cengkeramannya dari wajah gadis itu. Setelah itu Reiga bangkit berdiri. "Dengarkan saya baik-baik, Freya. Tidak ada satu pun di antara ketiga orang itu yang bisa menyelamatkan kamu. Mereka semua tidak bisa membantu kamu. Kakak kamu tidak bisa membantu kamu karena dia sedang sibuk berusaha menyelamatkan hidupnya sendiri. Sementara Gatra Permana dan Kevin Jordie, mereka hanya akan memanfaatkan kamu. Meminta bantuan mereka hanya akan membuat kamu terjerat semakin dalam."
Kenyataan yang Reiga katakan memang benar, dan itu terasa menyesakkan bagi Freya. Tidak ada satu orang pun yang dapat ia andalkan. Tidak ada satu orang pun yang dapat menjadi tempat perlindungannya. Ia sendirian di dunia yang kejam ini.
"Kamu boleh marah dan membenci saya. Silakan, itu hak kamu. Tapi untuk saat ini, diamlah di sini. Sudah saya bilang, jadilah adik yang baik dan jangan menyusahkan Farell. Apa yang tadi kamu lakukan hanya akan membahayakan keselamatan kalian berdua."
Freya tidak mengerti. Freya tidak paham bahaya apa yang Reiga maksud. Ia lebih tidak paham lagi mengapa Reiga bisa mengenal Kevin Jordie dan Gatra Permana?
"Jadilah anak baik, Freya. Saya tahu kamu bosan terkurung di sini sepanjang waktu. Tapi tidak ada yang bisa kamu lakukan selain menunggu." Sikap Freya malam ini benar-benar menyedihkan. Gadis itu tidak lagi memiliki cakar untuk menyerangnya seperti biasa. "Kalau ada yang ingin kamu lakukan untuk mengurangi kejenuhan kamu, katakan saja pada Martha."
***
--- to be continue ---