6. Melunak

1947 Words
"Bu, kenapa sekarang banyak sekali bunga di halaman belakang?" Reiga jarang memperhatikan perubahan-perubahan kecil yang terjadi di rumahnya. Jadi jika ia sampai menyadari sesuatu, itu artinya perbedaannya terlihat cukup mencolok.Bukannya menjawab, Martha malah terlihat salah tingkah. Diperhatikannya kembali halaman belakang rumahnya yang terlihat dari jendela kamarnya. "Ibu mempekerjakan tukang kebun baru?" "Bukan, Den." Diam-diam Martha mengambil napas dalam-dalam, bersiap untuk memberikan jawaban kemudian menunggu omelan sang pemilik rumah. "Itu ..., sebenarnya Nona Freya yang mengerjakan, Den." "Freya?" Reiga menoleh cepat ke arah Martha. "Dia mengerjakan semua ini sendiri?" Di luar perkiraan Martha, Reiga tidak nampak marah. Hanya terkejut, namun tidak ada tanda-tanda kekesalan. "Hampir semuanya Nona kerjakan sendiri. Tapi sesekali saya juga membantu." "Dari mana dia mendapatkan semua tanaman juga peralatan untuk berkebun?" "..." Ini pertanyaan berbahaya. Salah jawab akan membuat Martha terkena masalah. "Ibu yang sediakan?" Diamnya Martha sudah menjadi jawaban bagi Reiga. Martha meringis dengan wajah penuh rasa bersalah. "Maaf, Den." "Kenapa Ibu tidak bilang apa-apa sama saya?" "Karena Den Reiga sendiri yang bilang tidak mau tahu urusan Nona. Jadi saya kira Den Reiga pasti tidak akan mau dengar kalau saya cerita soal masalah ini." Hanya jawaban ini yang terpikir oleh Martha, dan karena memang hampir sebagian besar jawabannya adalah kenyataan. Reiga menggaruk kupingnya. Benar juga yang Martha katakan. "Ibu tahu apa saja yang dia tanam?" "Ya, Den. Nona mengajari saya banyak hal tentang tanaman yang dipilihnya." "Apa ada tanaman yang berbahaya, Bu?" "Tidak ada, Den." "Ibu yakin?" Lagi-lagi kecurigaannya terhadap gadis itu selalu muncul. "Saya yakin, Den. Malah Nona menghilangkan beberapa tanaman yang sebelumnya ada, dengan alasan karena tanaman itu beracun. Nona menggantinya dengan tanaman lain yang aman." Reiga mengangkat sebelah alisnya. Sedikit takjub mendengar penjelasan Martha. "Selain berkebun, apa lagi yang dia lakukan, Bu?" "Nona sering menghabiskan waktu di ruang baca." Reiga mengangguk kecil. "Dia senang membaca?" "Kalau sudah membaca, Nona bisa lupa waktu." "Ibu tahu buku apa saja yang sering dia baca?" Entah mengapa Reiga tiba-tiba merasa penasaran. Kira-kira bacaan seperti apa yang disukai oleh gadis seperti Freya. "Nona membaca beragam buku, Den. Terkadang tentang tanaman, arsitektur, desain, sejarah dunia, biografi." Martha mencoba mengingat-ingat. "Saya tidak tahu apa lagi yang dibacanya, Den. Sepertinya Nona menyukai semua." "Selain membaca, apa lagi yang dikerjakannya, Bu?" "Sesekali Nona suka memasak, atau membuat kue." Martha kembali mengingat-ingat kebiasaan yang sering Freya lakukan selama empat bulan terakhir ini. "Oh, Nona juga suka meracik minuman dari bahan-bahan herbal yang diambil dari halaman belakang, Den." "Siapa yang minum, Bu?" tanya Reiga ngeri. "Saya, Den. Para pelayan yang lain juga suka." "Kalian baik-baik aja?" tanya Reiga sangsi. "Den Reiga tenang saja, itu sama sekali tidak berbahaya." Martha terkekeh geli melihat kecuriggan Reiga. *** Reiga yang baru tiba di rumah, tidak bisa menahan rasa penasarannya ketika melihat sosok Freya tengah duduk termenung di tepi kolam. Didekatinya gadis itu, dan bertanya dengan nada datar. "Kenapa diam di sini?" Freya yang sejak tadi tengah melamun, cukup terkejut mendengar suara sang pemilik rumah yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingnya. Ia menjawab dengan sama datarnya, tanpa menoleh sama sekali. "Bosan di kamar." "Sebaiknya kamu kembali ke kamar dan tidur. Ini sudah lewat tengah malam," saran Reiga. "Belum mengantuk," balas gadis itu lagi. "Tidak bisa tidur?" "Hmm." Freya bergumam pelan. "Kenapa?" Entah mengapa juga Reiga ingin tahu. "Kenapa Anda ingin tahu?" balas Freya datar. "Hanya bertanya. Kalau tidak mau jawab juga tidak masalah," balas Reiga tenang. "Saya memang memiliki gangguan tidur. Anda sendiri kenapa?" Freya heran dengan dirinya malam ini. Untuk apa juga meladeni percakapan dengan pria ini? Mungkin dirinya kesepian dan membutuhkan teman bicara. "Maksud kamu?" Heran mendengar Freya bertanya padanya dengan nada biasa, bukan dengan nada penuh kebencian seperti biasanya. "Anda juga sering tidak bisa tidur. Saya bisa melihat Anda dari jendela kamar." Ia tidak mengada-ada. Cukup sering Freya melihat Reiga duduk sendiri di balkon kamarnya hingga lewat tengah malam. Freya bisa tahu hal itu karena balkon kamar yang mereka tempati menyatu. "Sama dengan kamu. Saya juga memiliki gangguan tidur." "Mau saya buatkan sesuatu yang bisa mengatasi kesulitan tidur?" Freya kembali merasa heran dengan dirinya sendiri. Untuk apa dia bersikap baik pada pria ini? Entahlah. Mungkin ia sudah lelah bersikap keras sepanjang waktu, dan nyatanya hal itu tidak mengubah keadaan. Ia tetap terkurung di sini tanpa ada tanda-tanda Farell akan membebaskannya dalam waktu dekat. Sementara kemungkinan untuk melarikan diri semakin sulit. "Sesuatu yang bisa membuat saya tidur dan tidak bangun lagi?" sindir Reiga. Ia teringat pada satu sosok yang pernah menempatkan nyawanya dalam bahaya di masa lalu. "..." Freya memutar bola matanya dengan sebal. Ia bangkit berdiri tanpa berbicara lagi, menuju pantry, kemudian sibuk mengolah sesuatu di sana. Reiga mengikuti gadis itu dan mengamati hal yang dikerjakannya. Ia duduk dengan tenang di depan kitchen island, tanpa bersuara, juga tanpa melakukan apa-apa, hanya diam mengamati wajah gadis itu. Ada setitik rasa iba yang tiba-tiba muncul begitu saja. "Coba minum." Setelah beberapa menit berlalu, Freya mendekat kemudian meletakkan secangkir minuman hangat beraroma lembut di atas kitchen island, mendorongnya ke arah Reiga. Ia sendiri ikut duduk di seberang sang pemilik rumah. "Apa ini?" Reiga menatap aneh isi cangkir di hadapannya. "Teh. Dibuat dari bunga lavender. Ini bisa memberi efek menenangkan dan membantu agar lebih mudah tidur," balasnya tenang. Reiga memainkan tepian cangkir di depannya. "Kalau ini benar, kenapa kamu tetap sulit tidur?" "Karena saya memang sengaja tidak meminumnya." "Kamu berniat mengerjai saya?" tanya Reiga hati-hati, bukan dengan nada keras seperti biasanya. Ia sendiri rasanya mulai lelah terus bersitegang dengan gadis ini. Freya menggeleng pelan. "Saya tidak minum karena saya memang tidak mau tidur lelap. Saya harus waspada." "Memangnya siapa yang mau mencelakai kamu?" balas Reiga heran. Freya mengangkat bahunya, berusaha terlihat santai. "Orang jahat ada di masa saja. Selalu ada." "Di sini kamu aman," ujar Reiga serius. Ia yakin akan hal itu, bahkan ia sendiri yang akan menjaminnya. "..." Entah bagaimana, kata-kata Reiga memberi efek menenangkan untuk Freya. "Saya tahu kamu menganggap saya orang jahat. Tapi coba kamu pikir sendiri. Sudah empat bulan kamu tinggal di sini. Apa selama ini pernah ada yang mencoba berbuat jahat atau mencoba mencelakai kamu?" tanyanya tenang. "..." Freya memikirkan kata-kata Reiga dan akhirnya menggeleng. Kenyataannya ia memang aman di tempat ini. Bahkan mungkin ia dapat mengatakan, setelah bertahun-tahun hidup dalam ketakutan dan kecemasan, empat bulan yang dilewatinya di rumah ini rasanya memang tidak terlalu buruk. Meski ia tidak memiliki kebebasan, namun jika dipikir lagi dengan baik, selama ini juga ia tidak pernah benar-benar menikmati kebebasan hidup secara utuh. "Kalau begitu, kamu juga minum," pinta Reiga. "Kalau benar ini bisa membantu, malam ini kita akan sama-sama tidur nyenyak." Freya mengangguk setuju, kemudian turun dari kursinya untuk mengambil teh yang masih ia simpan di poci. Sambil berjalan ia bertanya, "Anda sudah makan?" "Kenapa bertanya?" Jelas ia heran dengan pertanyaan Freya ini. Gadis ini aneh sekali malam ini. Dirinya juga sama anehnya. "Minuman itu akan bekerja dengan baik kalau perut Anda juga terisi cukup. Kalau Anda minum ini tapi kondisi perut Anda kosong, percuma. Anda tetap saja akan sulit tidur karena lapar." Freya menjelaskan. "Saya belum sempat makan. Tapi Martha sudah tidur. Jadi malam ini tidak apa-apa," balas Reiga. "Saya buatkan sesuatu." Freya tidak jadi kembali ke tempat Reiga duduk, tapi memilih menuju lemari pendingin untuk melihat bahan apa yang bisa diolahnya. "Kamu serius?" tanya Reiga ragu. Bukan ragu karena takut Freya mencoba mencelakainya, tapi ragu karena gadis ini bersikap baik sekali malam ini. Freya tersenyum samar. "Anda bisa duduk di sana dan perhatikan baik-baik apa yang saya kerjakan untuk memastikan kalau saya tidak menambahkan sesuatu yang berbahaya ke dalam makanan Anda." Reiga memilih diam dan tidak berkomentar lagi. Sampai sekitar tiga puluh menit setelahnya Freya kembali dengan membawa sepiring makanan untuknya. "Saya ke kamar dulu," ujarnya. Reiga mengangguk kecil. "Terima kasih untuk makanan dan minumannya." *** "Wajah Den Reiga segar sekali pagi ini," sapa Martha senang ketika melihat Reiga di meja makan Sabtu pagi ini. Reiga tersenyum samar. "Memang biasanya seperti apa, Bu?" "Biasanya selalu terlihat lelah, Den." Reiga kembali tersenyum. "Mungkin karena semalam tidur saya nyenyak, Bu." "Den Reiga minum obat?" tanya Martha khawatir. "Tidak, Bu. Semalam saya tidur tanpa bantuan obat." "Wah, itu bagus sekali, Den!" seru Martha lega. Selama ini, tidur nyenyak dan Reiga tidak pernah berkawan. Reiga selalu dihantui ketakutan karena mimpi buruk yang kerap muncul begitu saja. "Freya membuatkan minuman untuk saya, Bu. Dan sepertinya itu cukup membantu." "Nona membuatkan minuman untuk Den Reiga?" ulang Martha heran. "Hmm. Ibu beli minuman itu di mana?" Kalau memang itu bisa membantu mengatasi gangguan tidurnya, sepertinya Reiga akan sering meminumnya. Meski sebenarnya ia sendiri tidak terlalu yakin. Entah memang benar bermanfaat, atau hanya sugesti. Atau memiliki teman bicara di akhir hari yang melelahkan sedikit membantu Reiga untuk rileks. "Memangnya Nona buat minuman apa, Den?" tanya Martha heran. "Teh lavender katanya." "Hmm, sebenarnya itu tidak beli, Den. Nona sendiri yang membuatnya." "Dari halaman belakang?" "Iya, Den." "Di mana Freya sekarang?" "Sepertinya masih di kamar, Den." Diliriknya jam di tangannya. Sudah jam sembilan pagi. "Jam berapa biasanya dia keluar kamar?" "Biasanya Nona akan keluar kamar kalau Den Reiga sudah berangkat. Tapi kalau hari libur seperti ini dan Den Reiga tidak ke mana-mana, Nona juga tidak akan keluar dari kamar." "Coba tolong panggilkan, Bu," pinta Reiga. Martha menuruti perkataan Reiga dan beruntung pagi ini Freya sangat mudah diajak bekerja sama. Tanpa perlu susah payah dibujuk seperti biasanya, Freya mau keluar dari kamarnya dan menemui Reiga. "Ada apa memanggil saya?" tanya Freya canggung. "Kamu mau diam di kamar sampai kapan?" Reiga balas bertanya. "Sampai Anda pergi," balasnya jujur. "Kalau saya tetap di rumah sepanjang hari?" "Saya juga akan tetap di kamar." Kedua belah alisnya terangkat. "Kenapa?" "Karena Anda pernah bilang tidak ingin melihat saya berkeliaran di sekitar Anda, dan menyuruh saya mengurung diri di kamar." "Lupakan. Sekarang tidak perlu begitu lagi." Reiga teringat akan ucapannya beberapa waktu lalu dan menyadari kalau rasanya itu cukup kasar. "Duduklah, kita makan sama-sama." "..." Freya mengernyit heran. Tapi diikutinya juga kata-kata Reiga. Ia menarik kursi di sebelah Reiga dan duduk dengan tenang. "Terima kasih untuk minuman yang semalam kamu buatkan. Itu cukup membantu," ujar Reiga tulus. "..." Freya mengangguk kecil sebagai jawaban. "Untuk pertama kalinya saya bisa tidur nyenyak tanpa bantuan obat," lanjut Reiga. "Kamu benar-benar mengerti tentang tanaman?" "Lumayan." "Saya kira kamu bekerja sebagai desainer interior," ujar Reiga dengan nada penuh tanya. "Memang. Tapi saya juga mendalami landscape design. Jadi saya cukup tahu tentang tanaman." "Begitu rupanya." Reiga mengangguk paham. Kemudian entah bagaimana, bibirnya lagi-lagi mengucapkan pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu. "Kamu bosan di rumah terus?" "Apa perlu ditanya lagi?" balas Freya datar. "Mau ikut saya jalan-jalan?" Reiga menawarkan. Pertanyaan Reiga membuat Freya seketika bersemangat namun sekaligus heran. "Ke mana?" "Belum tahu. Tapi hari ini saya berniat mencari hadiah untuk oma saya." "..." Freya diam dan berpikir. "Mau ikut?" Melihat Freya diam saja, Reiga bertanya lagi. "Mau," jawabnya langsung. Ia tidak peduli akan diajak ke mana. Tawaran untuk melihat dunia luar setelah terkurung di rumah ini selama empat bulan lebih, terdengar sangat menarik baginya. Dan entah bagaimana, ia yakin Reiga tidak berniat jahat padanya. Seulas senyum tercetak di wajah Reiga. Sikap Freya yang melunak membuatnya merasa senang. Reiga berharap di waktu-waktu selanjutnya, sakit kepalanya akibat ulah gadis ini akan berkurang. "Kalau begitu ganti pakaian kamu, saya tunggu di sini." Setelah Freya meninggalkan meja makan, Reiga langsung menghubungi Ardi. "Ardi, tolong kawal saya hari ini. Saya akan mengajak gadis itu keluar rumah." "Pak, Anda yakin ini tidak akan menimbulkan masalah?" "Entahlah. Saya harap begitu." Ia sendiri tahu hal ini memang beresiko. "Tapi apa ini tidak terlalu beresiko, Pak?" "Mereka sudah mulai jarang mencari dia, 'kan?" tanyanya meyakinkan. "Akhir-akhir ini mereka memang tidak terlalu gencar lagi mencari Nona." "Kalau begitu sepertinya tidak akan jadi masalah. Sesekali membawa dia keluar rumah rasanya cukup aman." *** --- to be continue ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD