"Nona, ayo kita ke bawah!"
Freya yang sedang duduk melamun di depan jendela menoleh tanpa minat. "Mau apa, Bu?"
"Ada tamu."
"Tamu? Mencari saya?" Freya mengernyit heran.
"Iya." Martha mengangguk sambil tersenyum lebar, terlihat sedikit terlalu bersemangat.
"Siapa, Bu?" tanya Freya penuh curiga.
"Namanya Ibu Yuni. Beliau adalah guru crochet."
"Siapa yang mau belajar, Bu?"
"Nona."
"Saya?" Freya menunjuk dirinya skeptis. "Saya tidak pernah bilang mau belajar crochet."
"Den Reiga yang menghubungi dan memintanya datang."
"Saya tidak mau. Suruh pulang saja, Bu!" tolak Freya mentah-mentah.
Wajah Martha mendadak panik. "Nanti Den Reiga bisa marah, Nona."
"Saya tidak takut," balasnya berani.
"Bukan marah sama Nona, tapi sama saya."
Freya memutar bola matanya kesal. Dengan muka masam, Freya akhirnya ikut turun. Ia tidak tega kalau Martha yang jadi dimarahi gara-gara dirinya. Meski begitu, Freya tidak merasa perlu repot-repot untuk menunjukkan ketertarikan selama mengikuti pelajarannya.
Setelah pelajarannya bersama sang guru berlangsung cukup lama, tiba-tiba terlintas ide di kepalanya. "Bu, pelayan yang lain sedang sibuk?" tanyanya pada Martha yang ikut menemaninya belajar crochet.
"Sepertinya tidak, Nona." Siang hari seperti ini biasanya merupakan waktu istirahat bagi para pelayan.
"Kalau mereka sedang tidak sibuk, ajak saja ke sini," pinta Freya.
"Untuk apa Nona?"
"Belajar sama-sama."
Martha termangu beberapa saat demi mendengar permintaan Freya. Tapi ketika sang guru crochet mengangguk tanda dirinya tidak keberatan, Martha akhirnya mengalah.
Selama dua jam berikutnya, Freya terus memasang muka masam dan mengikuti pelajarannya dengan kesal. Barulah ketika Yuni pulang, Freya kembali berbicara.
"Bu, kalau pemilik rumah ini berpikir dengan memberikan saya kegiatan akan membuat saya merasa betah di sini, itu salah besar. Saya katakan saja, itu percuma, Bu," ujarnya dingin.
"Den Reiga hanya bermaksud baik, Nona."
"Mana ada lintah darat yang baik, Bu?" sindir Freya sinis.
Martha meringis mendengar perkataan Freya. "Tapi Den Reiga benar-benar mengkhawatirkan keadaan Nona."
"Khawatir?" Freya mendengus sinis. Kata-kata itu terdengar lucu di telinganya.
"Ya. Den Reiga takut Nona lama-lama bisa stres kalau diam di kamar terus setiap hari," ungkap Martha.
"Tidak perlu menunggu lama, saya memang sudah mau gila, Bu!" Freya bangkit berdiri dengan kasar. "Tolong katakan pada pemilik rumah ini, Bu. Semua itu tidak ada gunanya. Satu-satunya hal yang bisa membuat saya senang adalah terbebas dari tempat ini."
***
Tidur nyenyaknya tiba-tiba terganggu, refleks Reiga langsung menutupi matanya. Silau karena terkena cahaya matahari yang menyorot dari jendela kamarnya. Setelah matanya mampu beradaptasi, Reiga baru menyadari kalau sosok yang berada di kamarnya adalah Freya.
"Untuk apa kamu masuk ke kamar saya?" tanyanya kesal.
"..." Gadis itu berjalan tenang sambil membawa baki berisi kopi, mendekati tempat tidur dan meletakkan cangkir kopi di atas nakas.
Reiga terus mengamati gerakan gadis itu. "Kenapa kamu yang antar?"
"Anda yang minta Ibu Martha untuk mencarikan saya kegiatan. Tidak perlu repot-repot mendatangkan guru untuk saya," sindirnya dingin.
"Lalu kenapa kamu buka gordennya?" Reiga mengedik ke arah jendela.
"Sudah pagi," balas Freya tidak peduli.
Belum ada lima menit dia terbangun, tapi Reiga sudah ingin mengamuk pagi ini. Ia bangun dan duduk bersandar pada kepala ranjang, menatap tajam pada Freya. "Apa Martha tidak memberitahu kamu kalau gorden itu tidak boleh dibuka sebelum saya bangun?"
"Ibu Martha sudah bilang."
Jawaban Freya semakin membuat Reiga kesal. Dipijatnya pelipisnya yang berdenyut-denyut. "Kenapa kamu malah melakukan yang sebaliknya?"
"..." Freya diam saja. Hanya balas menatap tajam pada Reiga.
"Katakan." Reiga berdeham. "Sebenarnya apa tujuan kamu masuk ke kamar saya?"
"..." Gadis itu tetap bungkam.
Melihat gelagat gadis ini, seketika pikiran buruk langsung melintas di kepalanya. Gadis itu terlihat berani juga nekat, membuat firasat buruk Reiga muncul begitu saja. "Apa kamu sedang mengamati dan mencoba mencari celah yang dapat kamu manfaatkan untuk mencelakai saya?"
"..." Ekspresi datar yang biasa Freya perlihatkan tiba-tiba berubah.
"Atau jangan-jangan kamu menaruh racun di minuman saya?" Kecurigaan Reiga semakin menjadi melihat perubahan ekspresi di wajah Freya.
Freya tersenyum tipis. "Ide bagus. Terima kasih sudah memberi saran yang baik."
"Jangan coba-coba lakukan!" desis Reiga.
"Anda sendiri yang memberi ide."
"Saya menyatakan kecurigaan saya, bukan menyarankan kamu untuk melakukannya!"
"Tapi itu memberikan inspirasi dan motivasi untuk saya."
Reiga menyadari mata Freya yang biasanya menatap kosong atau tajam, bisa terlihat sedemikian hidup. "Jangan coba-coba, Freya! Kamu tidak akan lolos kalau sampai berani mencelakai saya," ancamnya.
"..." Freya tidak menanggapi lagi.
Reiga menyambar gagang telepon dan menghubungi Martha. "Martha, buatkan kopi untuk saya."
"Tapi, Nona-"
"Buatkan yang baru. Lalu antarkan sendiri ke sini. Cepat!" Reiga membanting gagang telepon dengan kesal. Dipelototinya Freya yang tetap berdiri tenang di depannya. "Jangan pernah membawakan kopi dan masuk ke kamar saya lagi!"
"Masih banyak cara untuk meracuni Anda." Bukannya mengiyakan perkataan Reiga, ia malah menantangnya.
"Kalau begitu mulai sekarang saya akan minta Martha menyiapkan kopi dalam poci, dan kamu yang antarkan ke sini, lalu ikut minum kopi itu bersama saya. Jadi kalau kamu menaruh racun di dalamnya, kamu juga akan ikut celaka."
Otak Freya berpikir cepat. "Kalau racunnya hanya di gelas Anda, saya akan baik-baik saja."
"Kamu!" hardik Reiga. "Jangan coba menakuti saya, Freya! Lagipula, dari mana kamu akan mendapatkan racun?"
"Anda punya halaman yang luas. Mulai hari ini saya akan mengamati tanaman apa saja yang ada di sana, dan saya akan menciptakan racun buatan saya sendiri," ujarnya tenang.
"Kamu gila!" maki Reiga. Ia bangkit berdiri dan menyambar lengan Freya. Sebelah tangannya yang lain naik ke leher gadis itu dan mencekiknya. "Saya akan bunuh kamu sebelum kamu mencoba mencelakai saya!"
"Lakukan sekarang saja!" tantang Freya. Ia sama sekali tidak gentar.
Reiga benar-benar hilang akal menghadapi gadis ini. Ia tidak pernah memperkirakan hal seperti ini akan terjadi. Ketika menyetujui hal gila itu, Reiga tidak tahu kalau gadis ini akan sedemikian sulit dihadapi. Didorongnya Freya kuat-kuat hingga terjatuh ke lantai. "Keluar sekarang!"
Martha yang baru masuk sampai tercengang melihat adegan terakhir yang terjadi di antara majikannya dan Freya. Begitu Freya meninggalkan kamarnya, Reiga langsung mengempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur.
"Den, ada apa?" tanya Martha cemas. Sudah lama ia tidak melihat Reiga seperti ini.
"Bu, awasi gadis itu baik-baik! Dia berbahaya dan dia bisa saja berbuat nekat."
"Maksud, Den Rei?" tanya Martha tidak mengerti. Bagi Martha, meski Freya keras kepala dan sulit dihadapi, tapi gadis itu tidak berbahaya sama sekali.
"Awasi saja, Bu!" seru Reiga frustasi. "Saya tidak mau mati di tangan dia."
"Den ...," bisik Martha ngeri. Ia sungguh khawatir melihat kondisi Reiga. Ia mengenal Reiga, sangat mengenalnya. Ia yang mengasuhnya sejak kecil. Ia tahu setiap detail pertumbuhan Reiga. Dan melihat Reiga seperti ini, Martha sedih. Sudah sangat lama Reiga tidak menunjukkan sisi dirinya yang seperti ini.
***
"Nona?" Martha melongokkan kepalanya dari pintu kamar.
"Hmm?" Seperti biasa Freya menanggapi tanpa minat.
"Ada yang datang."
"Apalagi kali ini, Bu?" balas Freya jengah. "Sudah saya bilang, saya tidak mau belajar apa-apa."
Martha menggeleng cepat. "Bukan, Nona. Ini bukan guru."
"Lalu siapa?"
"Dia seorang personal stylist, Nona."
"Untuk apa menemui saya?" Freya tidak habis pikir. Sudah satu minggu ini, setiap harinya ada saja orang yang datang menemuinya. Mulai dari guru crochet, guru yoga, guru cooking, dan sekarang personal stylist. Mau apa pemilik rumah ini sebenarnya? Setakut itukah dia dengan ancaman Freya, sampai seniat itu sang pemilik rumah mencarikan berbagai kesibukan untuk dirinya?
"Lama banget, sih! Nunggu ketemu lo kayak mau ketemu putri raja aja!"
Freya terkejut ketika melihat seorang pria yang nampak kemayu menerobos masuk ke dalam kamarnya begitu saja. "Kamu siapa?"
"Gue Oddie. Lo Freya 'kan, keponakannya Mas Rei?" Oddie mendekat tanpa sungkan dan langsung duduk dengan santai di atas tempat tidur, persis di sebelah Freya.
Freya mendelik waspada. "Kamu mau apa?"
Oddie mengalungkan lengannya di bahu Freya. "Gue disuruh dandanin lo!"
"Buat apa?" Ditepisnya tangan Oddie dan didorongnya menjauh.
"Mana gue tahu. Tanya sono sama om lo! Gue sih nggak ngurusin yang model begituan." Oddie mengibaskan tangannya. "Selama ada duit, kerjaan apa juga gue jabanin."
"Kamu mau dandanin saya dalam artian gimana?"
Oddie mengangkat bahunya. "Milihin baju-baju buat lo. Ajarin lo mix match pakaian. Ajarin lo make up."
"Saya bisa lakukan sendiri."
"Selera lo ndeso kali, makanya om lo nyuruh gue."
"Terus kamu mau ajak saya belanja beli baju?" tanya Freya asal.
"Betul!" sahut Oddie riang.
Tiba-tiba terbit harapannya untuk menghirup udara bebas. "Ke mall?"
"Salah!" sambut Oddie lebih riang lagi.
Freya dibuat gondok oleh tingkahnya. "Terus?"
"Duduk-duduk cantik aja di sini," balas Oddie centil.
"Gimana caranya belanja kalo nggak ke mana-mana?"
"Window shopping, dong!"
"Saya nggak mau. Beli baju online gitu barangnya suka nggak pas waktu dipake. Bahannya jelek, warna nggak sesuai. Belum ukurannya. Nanti kegedean, nanti kekecilan."
"Urusan bahan sama warna, percayain sama gue. Mata mahal gue ini gak bakal salah ngenalin barang bagus." Oddie menepuk dadanya pongah dan mengangkat dagunya tinggi-tinggi.
Freya melirik tajam.
"Soal ukuran, gampang! Kalo kekecilan lo tinggal ngurusin badan. Kalo kegedean lo tinggal gendutin badan lo." Diamatinya tubuh Freya dengan sebelah mata dipicingkan. "Tapi menurut gue, nggak mungkin kekecilan, sih, secara badan lo tulang doang. Kalo kegedean mungkin. Tapi kayak kata gue tadi, lo makan aja yang banyak sampe tuh baju pada muat."
***
--- to be continue ---