2. Tahanan Rumah

2072 Words
"Makanan untuk siapa itu?" Reiga menghentikan salah satu pelayan yang melintas di dekatnya dengan membawa nampan berisi makanan. "Untuk Nona Freya, Pak." Keningnya berkerut seketika. "Di mana Martha?" "Ada di belakang, Pak." "Letakkan makanan itu di sini." Reiga menunjuk meja makan tempat ia sedang duduk menyantap sarapannya. Pelayan itu terlihat ragu, namun tetap diturutinya juga perintah sang majikan. "Tolong panggilkan Martha," ujar Reiga pada pelayan itu. Tidak berapa lama Martha muncul di ruang makan. "Ada apa, Den?" "Bu, apa gadis itu selalu makan di kamarnya?" "Iya, Den." Reiga memainkan cangkir kopi di tangannya. "Dia yang minta?" "Tidak, Den. Saya hanya berinisiatif membawakan ke kamar karena Nona tidak pernah turun untuk makan." Meski Freya tidak selalu menyantap makanan yang dibawakan ke kamarnya, tapi Martha selalu memastikan Freya tidak akan kelaparan. Reiga mengangkat alisnya. "Dia tidak pernah keluar dari kamarnya?" "Sejauh ini belum pernah, Den." "Tapi dia tahu kan kalau dia boleh keluar dari kamar?" "Tahu, Den." "Kalau begitu, mulai sekarang jangan antarkan makanan ke kamarnya lagi." "Bagaimana kalau Nona tidak mau turun, Den?" tanya Martha khawatir. Meski baru tiga minggu mengenal Freya, Martha sudah cukup tahu betapa keras kepalanya gadis itu. "Katakan padanya untuk turun saat waktunya makan. Ada saya atahu tidak, dia harus makan di bawah. Dia harus keluar dari kamarnya, Bu. Atahu lama-lama dia akan jadi gila kalau terus berada di kamar tanpa melakukan apa-apa." Reiga tidak ada niat mempedulikan gadis itu, dia hanya tidak ingin gadis itu mati depresi di rumahnya. "Sekarang tolong panggilkan dia, Bu." Martha tidak yakin akan berhasil membawa Freya turun, tapi setidaknya ia tetap harus mencoba. Butuh perjuangan dan bujukan yang cukup panjang hingga akhirnya Freya berhasil diajak turun. Reiga menunggu dengan tidak sabar. Dia tidak terbiasa menunggu. Ketika akhirnya terdengar suara langkah kaki menuruni tangga, Reiga sudah nyaris meledak karena kesal. Diamatinya wajah gadis yang kini berdiri kaku di hadapannya.  "Duduklah!" perintahnya tanpa nada bersahabat sama sekali. Freya duduk dengan kaku, pandangannya terarah lurus ke depan. Sama sekali tidak ingin menatap sang tuan rumah yang duduk di sebelah kirinya. "Mau sampai kapan kamu duduk diam begitu?" tanya Reiga dingin. Dia benar-benar hampir kehilangan kesabarannya. Bersabar adalah hal yang jarang dilakukannya. Menghadapi perempuan juga bukan hal yang biasa ia lakukan. Dan saat ini ia harus melakukan keduanya, bersabar menghadapi seorang perempuan. Reiga tidak tahan. "Semua makanan ini sudah mulai dingin. Kalau kamu tidak mau makan, lebih baik saya minta Martha membereskan semua ini." Namun gadis itu tetap memandang lurus ke depan, sama sekali tidak terpengaruh dengan kata-kata Reiga. Kesal dengan sikap Freya, Reiga bangkit dan berdiri tepat di sebelah gadis itu. Diputarnya kursi yang Freya duduki dengan kasar hingga kini gadis itu duduk menghadapnya. Tangan kirinya ia tumpukan pada meja, sementara tangan kanannya ia tumpukan pada sandaran kursi. Perlahan Reiga membungkukkan badannya untuk mengurung gadis itu. "Saya tidak suka diacuhkan! Pandang saya, kalau saya mengajak kamu bicara. Mengerti?" Bukannya terlihat gentar, Freya malah mengangkat wajahnya dan balas menatap Reiga dengan berani. Sama sekali tidak ada kata yang terucap, hanya matanya yang bersorot penuh kebencian pada Reiga. "Apa kamu mengerti perkataan saya?" desis Reiga kesal. Gadis ini berhasil memprovokasinya hanya dengan sikap diamnya. "Saya mengerti," balas Freya dingin. "Bagus kalau kamu mengerti," gumam Reiga. "Dan mulai sekarang, tidak akan ada lagi makanan yang diantarkan ke kamar kamu. Kalau kamu mau makan, turunlah ke sini! Kalau kamu tidak turun, berarti tidak ada makanan untuk kamu." "Tidak makan juga tidak masalah," balas Freya berani. Reiga menggeram kesal. "Saya ini bukan orang yang penyabar, jadi tolong jangan mencari masalah dengan saya, karena saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan kalau kamu memancing kemarahan saya!" Freya tetap menatap Reiga tanpa menunjukkan ketakutannya. Hidupnya sudah cukup buruk selama ini. Rasa-rasanya tidak ada lagi hal yang ia takutkan. Bahkan mati sekalipun ia tidak peduli. "Hal paling buruk yang mungkin Anda lakukan adalah melenyapkan saya, dan saya tidak takut." Reiga menarik napasnya dalam-dalam untuk mengendalikan dirinya. Gadis ini benar-benar membuatnya marah. Reiga menegakkan tubuhnya, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, dan berjalan mundur. "Saya anggap tidak mendengar kamu mengatakan apa-apa. Sekarang makanlah!" *** "Nona, tidak bosan di kamar terus?" Martha duduk di sisi tempat tidur Freya, memandangi gadis yang diam meringkuk di tempat tidur tanpa melakukan apa-apa sama sekali. Sejujurnya Martha tidak tega melihatnya. Gadis ini seperti tidak memiliki gairah hidup sama sekali. Freya hanya menyerupai cangkang kosong tanpa nyawa. Freya menatap sendu ke arah Martha, dan tersenyum sama sendunya. "Maafkan pertanyaan saya. Sudah jelas Nona pasti merasa bosan menghabiskan waktu di kamar setiap hari." Hampir satu bulan gadis itu tinggal di rumah ini, dan tidak ada hal yang dapat Freya lakukan selain menghabiskan waktunya di dalam kamar. Sepengamatan Martha, kegiatan Freya hanyalah berbaring di tempat tidur atahu duduk melamun di depan jendela. Tidak ada yang lain. "Nona tidak ingin turun?" Freya menggeleng tanpa minat. "Atau mungkin Nona ingin berjalan-jalan?" Untuk beberapa detik matanya terlihat berbinar. "Ke mana, Bu?" "Jalan-jalan di halaman saja, Nona. Halaman rumah ini cukup luas. Mungkin melihat-lihat rumah ini bisa sedikit menghibur Nona." "Tetap saja saya tidak bisa ke mana-mana, Bu," keluh Freya. "Saya ingin keluar dari rumah ini. Saya ingin menghirup udara bebas. Terus menerus di sini rasanya seperti di penjara." "Kalau untuk itu saya tidak bisa membantu, Nona. Den Reiga sudah berpesan kalau Nona tidak boleh meninggalkan rumah ini." "Kalau begitu percuma, Bu." "Kalau Nona tidak ingin melakukan apa-apa, setidaknya Nona harus makan." "Saya tidak lapar, Bu." "Tapi Nona belum makan apa-apa sejak kemarin. Kalau begini terus Nona bisa sakit." "Sakit dan perlahan mati. Semoga saja prosesnya tidak butuh waktu lama," sahut Freya apatis. "Jangan begitu, Nona!" "Sudahlah, Bu. Percuma menghibur saya." Ia mendengus malas. "Ibu hanya menyia-nyiakan waktu. Tinggalkan saja saya sendiri." Martha menyerah. Ketika kembali sendiri, seperti biasa Freya akan melamun. Memori-memori dari masa lalunya kembali bermunculan. Hanya itu yang selama satu bulan ini Freya lakukan. Memutar setiap memori yang pernah dimilikinya.             "Fre, ayo makan!" Farell mengulurkan tangan untuk membantu Freya bangun sambil memangku piring berisi nasi goreng di pahanya. "Nggak mau." Freya menggeleng keras, menolak ajakan kakaknya. Farell membelai kepala adiknya penuh sayang. Ia tahu adiknya begitu terpukul dengan kepergian ibu mereka yang tiba-tiba. Keduanya tidak pernah menyangka jika ibu mereka akan pergi secepat ini, menjadi korban dalam sebuah kecelakaan kereta saat hendak mengunjungi saudara mereka di Bogor. Freya yang baru berusia 16 tahun, tidak sanggup menghadapi guncangan yang tiba-tiba menghantam mereka. Adiknya mengurung diri selama berhari-hari sejak kembali dari pemakaman ibu mereka. "Fre, kamu nggak boleh gitu. Nanti kamu sakit, Fre," bujuk Farell sabar. Ia bukan tidak sedih, tapi Farell perlu menjadi kuat untuk bisa menjaga adiknya. "Biarin, Mas. Aku mau nyusul Mama," sahut Freya putus asa. "Fre! Nggak boleh ngomong gitu!" tegur Farell. Dengan cepat dibawanya Freya ke dalam pelukannya. Dipeluknya adiknya erat-erat. "Kenapa, Mas? Kenapa nggak boleh?" balas Freya hampa. Perlahan air matanya kembali mengalir. "Kamu nggak boleh punya pikiran pendek kayak gitu. Biar Mama udah nggak ada, bukan berarti hidup kita juga berakhir, Fre." "Tapi siapa lagi yang mau jaga kita, Mas?" tanya Freya terisak. Ketika masih bertiga saja hidup mereka sudah sulit, kini mereka harus hidup berdua saja, tanpa sang ibu. "Kita, Fre. Kita akan saling jaga." Farell melepaskan pelukannya, memegang bahu Freya kuat-kuat, dan memaksa adiknya menatapnya. "Mas janji akan selalu jaga kamu. Mas janji akan lakuin apa aja buat kamu." "Mas, gimana kita hidup besok-besok? Buat bayar uang kuliah Mas, uang sekolah aku, buat makan, buat listrik, air. Semua perlu uang, Mas," ujar Freya putus asa. Farell tersenyum lembut. Ditangkupnya pipi adiknya. "Kamu nggak perlu mikirin semua itu. Biar itu jadi urusan Mas. Mas janji akan pastikan kamu bisa tetap hidup layak. Kamu bisa tetap sekolah. Bahkan kuliah. Mas janji, Fre." Sejak kecil, Farell memang sudah terbiasa menjaga dan mengurus Freya. Karena tuntutan hidup, ibu mereka harus bekerja keras untuk mencukupi hidup mereka bertiga, sejak sang ayah meninggal ketika Freya baru berusia 3 tahun. Meski usia mereka hanya terpaut empat tahun, tapi Farell mampu menjalankan perannya sebagai kakak yang baik. "..." Freya menatap kakaknya dengan bimbang. Farell menunduk, tersenyum meyakinkan. "Percaya sama Mas?" Freya mengangguk dan memeluk Farell kuat-kuat. Jika Freya boleh meminta pada Tuhan, ia ingin meminta agar Farell akan selalu ada di sisinya. Ayah dan ibunya sudah meninggalkan dia, tapi setidaknya jangan ambil kakaknya dari sisinya juga. Tapi semua itu berubah. Kini kakaknya meninggalkannya. Meninggalkannya dengan cara yang menyakitkan. Bukan pergi ke alam lain, tapi menjerumuskannya ke dalam kehidupan tanpa masa depan. Kakaknya yang begitu ia cintai, kakaknya yang begitu ia percaya, kini mengkhianatinya. Lelah menangis, Freya akhirnya jatuh tertidur. Selalu seperti itu. Mengingat masa lalu. Marah dengan keadaan. Menangis kecewa hingga lelah. Kemudian tertidur. *** "Dia tidak turun?" Beberapa hari setelah perdebatan bersama Freya pagi itu, Reiga kembali menyempatkan diri untuk sarapan di rumahnya sebelum meninggalkan rumah. "Tidak, Den." Martha mulai lelah membujuk gadis keras kepala itu. "Waktu saya tidak di rumah, dia turun?" "Tidak, Den." "Jadi kapan terakhir kali dia makan?" "Waktu Den Reiga minta saya panggil Nona ke sini." Sejujurnya, Martha sudah cemas memikirkan kondisi Freya. Ia takut gadis itu akan mati lemas. Tapi Martha tidak tahu lagi cara menghadapi kekeraskepalaan gadis itu. Reiga mengernyit. "Bukannya itu tiga hari yang lalu?" "Benar, Den." Martha sudah memperkirakan hal semacam ini akan terjadi, tapi sebagai orang yang mengasuh Reiga sejak kecil, Martha tidak berani menentang keputusan Reiga. Ia tahu semenyeramkan apa anak asuhnya kalau sudah marah. "Dia tidak makan sama sekali?" Suara Reiga mulai meninggi. "Tidak, Den." Martha sudah berniat untuk memberitahu Reiga pagi ini, tapi ternyata Reiga sudah lebih dulu bertanya. "Dasar keras kepala!" Reiga membanting serbetnya dengan kesal ke atas meja, berdiri dengan kasar, dan berjalan cepat menaiki tangga. Didorongnya kuat-kuat pintu kamar yang Freya tempati hingga membentur dinding dengan kencang. Reiga berderap menuju tempat tidur, menarik kasar selimut yang Freya pakai dan membuangnya ke lantai. "Bangun!" Freya yang tengah berbaring meringkuk, tetap dalam posisinya semula. Hanya kepalanya yang ia tolehkan dan menatap Reiga dengan pandangan tidak peduli. "Cepat bangun!" sentak Reiga. Meski jengkel dan muak melihat pria ini, Freya tidak mau terlihat lemah di hadapannya. Maka meski kepalanya berputar dan tubuhnya terasa sangat lemas, dipaksakannya juga untuk bangun. Belum lagi ia berhasil duduk, tubuhnya kembali ambruk ke atas tempat tidur. "Dasar bodoh!" hardik Reiga ketika melihat Freya ambruk. Seketika Reiga dilanda kepanikan. Gadis ini terlihat seperti akan pingsan. Wajahnya berubah menjadi sangat pucat dan bibirnya bergetar. "Jangan mencoba bunuh diri dengan aksi mogok makan seperti ini!" Freya diam saja. Tidak peduli dengan ocehan Reiga yang terdengar jauh di pendengarannya. Keputusannya untuk bangun dari tempat tidur benar-benar salah. Ia sepertinya sama sekali tidak punya tenaga lagi, dan usahanya tadi memperburuk kondisinya. "Martha!" seru Reiga.  Kini mata Freya sudah terpejam rapat. "MARTHA!" seru Reiga lagi lebih kencang. "Ya, Den?" Martha terengah di depan pintu kamar. "Panggil Dokter Markus!" perintahnya. Sementara menunggu dokter datang, Reiga sama sekali tidak beranjak dari kamar itu. Diawasinya terus Freya yang berbaring seperti orang mati. Benar-benar seperti orang mati karena kulitnya berubah sangat pucat. Ketika dokter datang dan memeriksa kondisi Freya, Reiga meninggalkan kamar dan meminta Martha yang menemani. Cukup lama dokter berada di kamar, sebelum keluar untuk menemui Reiga. "Bagaimana kondisinya, Dok?" tanya Reiga langsung. Reiga tidak perlu berbasa-basi dengan Markus yang sudah menjadi dokter pribadinya sejak ia masih kecil. "Nona Freya mengalami dehidrasi berat. Saya sudah berikan infus untuk mengganti cairan tubuhnya yang hilang. Sekarang kondisinya cukup stabil." "Apa kondisinya membahayakan, Dok?" "Tidak. Tapi jangan biarkan Nona Freya melanjutkan aksi mogok makannya lagi. Tentu itu tidak baik. Lebih baik atasi masalah yang menjadi penyebab Nona Freya sampai mogok makan, agar kejadian ini tidak terulang lagi." Reiga melanjutkan perbincangan santai dengan Markus selama beberapa waktu, sebelum akhirnya mengantar sang dokter keluar. Setelahnya ia kembali ke kamar Freya untuk melihat kondisi gadis itu. Dipandanginya gadis yang tengah tertidur itu. Entah terlelap, entah tidak sadar, Reiga tidak yakin. Ia mendengus kesal. "Menyusahkan saja!" Di luar perkiraan Reiga, ternyata gadis itu mendengar kata-katanya, dan membuka matanya. Reiga mengangkat alisnya tinggi-tinggi, siap memarahi gadis bodoh ini. "Kalau kamu mau mati, jangan di rumah ini!" ujarnya ketus. Freya diam saja, hanya balas menatap Reiga. "Sudah saya bilang, jangan cari masalah. Apa kamu tidak mengerti? Atahu kamu sengaja ingin membuat saya marah?" Melihat Freya diam saja, kekesalan Reiga bukannya mereda malah semakin memuncak. "Kamu ini benar-benar merepotkan! Kalau kamu benar-benar ingin mati, pilihlah cara yang tidak akan menyusahkan saya. Dengan kamu sakit seperti ini, kamu hanya membuang-buang uang saya saja. Atau kamu mau saya masukkan biaya perawatan kamu ini ke daftar hutang Farell?" sembur Reiga tanpa dipikir. *** --- to be continue ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD