1. Jaminan Hutang

1905 Words
Freya terbangun ketika mendengar tempat tidurnya berderit. Ia mengerjapkan matanya untuk mengenali sosok yang kini tengah duduk memandanginya. "Om?" "Shh! Jangan berisik, Anak Cantik!" Pria itu membelai pipi Freya. Belaian yang dulu Freya artikan sebagai ungkapan sayang, kini membuatnya tidak nyaman. Apalagi ketika tangan itu perlahan merambat turun ke lehernya. "Om mau apa?" Freya mencoba menepis tangan itu. Pria itu kini semakin berani. Ia memajukan wajahnya hingga berada tepat di atas wajah Freya. Kedua tangannya mencekal pergelangan tangan Freya. Freya memalingkan wajahnya ketika bibir pria itu hampir mendarat di bibirnya sendiri. Freya mual. Mual dengan perlakuan janggal ini, dan lebih mual lagi dengan pekatnya aroma alkohol dalam embusan napas pria itu. "Lepas, Om!" Freya meronta sekuat tenaga. Pria itu sama sekali tidak mengindahkan permintaan Freya. Ia bahkan semakin berani. "Jangan!" jerit Freya ketika tangan pria itu menjamah tubuhnya.             Freya tersentak. Dicengkeramnya bajunya kuat-kuat. Napasnya sesak. Mimpi itu lagi. Ketakutan yang sama lagi. Semenjak terkurung di dalam kamar tertutup ini, mimpi itu terus menerus menghantuinya.   Ia mencoba duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Diraihnya gelas berisi air dari atas nakas, diteguknya hingga habis. Freya mencoba mengatur napasnya. Freya harus segera keluar dari tempat ini sebelum ia menjadi gila. Gila karena mimpi yang menghantuinya. Setelah berhari-hari terkurung di kamar itu, doa Freya akhirnya terkabul. Pagi itu Ardi masuk ke kamarnya. Kalau biasanya pria itu hanya mengantarkan makanan dan pakaian, kali ini ia membawa sebuah berita. "Nona, kita akan pergi meninggalkan tempat ini." "Ke mana?" tanya Freya waspada. Meski ada sedikit rasa lega karena akan meninggalkan kamar yang selalu membuatnya sesak ini, tapi Freya juga tidak tahu ke mana ia akan dibawa pergi. "Tempat yang aman untuk Anda." Ardi mendekat dan mengulurkan sesuatu ke arah Freya. "Tapi Anda harus memakai ini." Freya mengenalinya sebagai penutup mata. Ia diam saja, tidak bergerak untuk mengambilnya. "Untuk apa?" tanyanya curiga. "Tolong jangan banyak bertanya, Nona. Ikuti saja." Ardi memaksa Freya berdiri dan memakaikan penutup mata di sekeliling mata gadis itu. Setelahnya Ardi mengambil tangan Freya dan melingkarinya dengan sesuatu. "Apa perlu tangan saya juga diikat?" tanya Freya kesal. Ia sudah tidak dapat melihat sekitarnya, tapi ia bisa merasakan sesuatu yang mengikat tangannya saat ini. "Untuk mencegah Anda berbuat nekat selama di perjalanan nanti." Perlahan Ardi membimbing Freya meninggalkan kamar itu. "Tidak sekalian saja beri saya obat tidur lagi seperti waktu membawa saya ke sini?" sungut Freya. Entah dari mana datangnya keberanian ini. "Kalau itu yang Anda mau, akan saya lakukan," balas Ardi. "Tidak usah!" tolak Freya langsung. Dibawa dalam keadaan tidak sadar akan jauh lebih berbahaya. Ia sama sekali tidak akan tahu apa yang akan terjadi padanya. *** Freya duduk seperti orang bodoh di dalam kamarnya yang baru. Tempat asing yang lain lagi. Tapi kini tidak menakutkan. Tidak gelap, dan tidak membuatnya merasa sesak. Hanya sebuah kamar yang normal, bahkan terkesan cukup mewah, lengkap dengan furniture cantik. Dan yang terpenting, kamar ini memiliki jendela. Setidaknya untuk saat ini hal itu cukup melegakan bagi Freya, karena ada harapan mimpi buruk itu tidak akan datang malam ini. Suara pintu kamar yang diketuk membuat Freya merasa waspada. "Selamat sore, Nona Freya!" sapa seorang wanita paruh baya yang terlihat ramah. "Sore," balas Freya kaku. "Perkenalkan, saya Martha. Kepala pelayan di rumah ini." Freya mengangguk sopan. "Nona sudah mandi?" Freya menggeleng. "Mandilah, agar Nona merasa lebih segar. Perjalanan jauh pasti membuat Nona lelah." Freya menatap curiga pada Martha. Apakah wanita ini tahu tempat ia dikurung sebelumnya? "Untuk pakaian ganti Nona bisa mengambilnya di dalam lemari," ujar Martha lagi meski sejak tadi gadis yang dilayaninya lebih banyak diam. Freya mengangguk kaku, kemudian perlahan berjalan ke arah lemari. Dibukanya lemari pakaian itu dengan ragu. "Nona bisa memakai baju-baju yang berada di jajaran ini, selebihnya tolong jangan disentuh." Freya kembali mengangguk. Meski sepertinya Martha terlihat baik, tetap saja Freya masih merasa waspada. "Saya baru menyediakan sedikit pakaian untuk Nona, karena saya tidak tahu selera Nona. Nanti Nona bisa memilihnya sendiri sesuai selera Nona." "Untuk apa?" tanya Freya heran. "Untuk Nona pakai tentunya." Pikiran Freya bekerja cepat. Tempat apa ini sebenarnya? "Maaf, Bu. Boleh saya bertanya?" "Tentu Nona." Martha tersenyum lebar. "Apa ini semacam tempat prostitusi?" Suaranya tercekat ketika mengucapkan pertanyaan itu. Martha terkekeh geli mendengar pertanyaan Freya. "Tentu saja bukan, Nona. Ini hanya rumah biasa.            "Kalau begitu, apa pemilik rumah ini membeli saya?" Pikiran Freya semakin menggila. Ia tidak bisa menalarkan dengan baik apa yang sedang terjadi padanya. Tangan Martha terulur dan mengambil tangan Fraya. Ditepuknya lembut punggung tangan gadis itu. Sejujurnya ia merasa iba pada gadis ini. Gadis yang terjebak dalam kebingungan karena sesuatu yang tiba-tiba menimpa hidupnya. "Nona, berhentilah menebak-nebak. Nona hanya akan berakhir dengan sakit kepala. Segera setelah pemilik rumah ini kembali dari perjalanan bisnisnya, beliau akan menemui Nona dan menjelaskan semuanya." "Kepala saya sudah sangat sakit, Bu," keluh Freya. Ia tidak berbohong. Sakit di kepalanya bukan hanya disebabkan oleh kebingungannya, tapi mimpi-mimpi buruk yang menyerangnya selama berhari-hari. "Apa Ibu bisa memberikan saya obat?" "Obat apa yang Nona butuhkan?" "Obat pereda sakit kepala, Bu. Atau kalau ada obat tidur itu akan jauh lebih baik," pinta Freya tanpa berpikir panjang. Ia rasanya butuh untuk tertidur lelap malam ini. Perasaannya mengatakan ia akan aman di sini malam ini. Martha mengernyit mendengar permintaan Freya. "Obat pereda sakit kepala bisa saya berikan, Nona. Tapi kalau obat tidur tidak ada." "Baiklah. Itu rasanya cukup, Bu." "Tapi Nona harus makan dulu." Freya mengangguk. "Saya mandi dulu, Bu." "Apa Nona ingin makan di bawah atau di kamar saja?" Beranikah ia turun ke bawah? Rasanya lebih aman berada di sini. "Di sini saja, Bu." *** Reiga mengerjapkan matanya ketika mencium aroma kopi yang Martha bawa. Ia masih sangat mengantuk karena baru sempat tidur selama tiga jam, tapi Reiga memaksakan dirinya untuk bangun. Dia harus menemui gadis itu pagi ini. Sudah terlalu lama ia menunda untuk menemuinya, padahal ia berhutang penjelasan pada gadis itu. "Gadis itu sudah bangun, Bu?" tanya Reiga dengan suara serak. "Sudah, Den." "Tolong suruh gadis itu untuk menemui saya di ruang baca satu jam lagi." "Den Reiga tidak mau sarapan dulu?" "Nanti saja, Bu," tolak Reiga. Ia merasa terlalu tegang saat ini. Memikirkan harus menemui gadis itu dan mengajaknya berbicara, perutnya terasa tidak enak. Menghadapi perempuan bukanlah keahliannya, apalagi kalau situasinya rumit seperti ini. Setelah berlama-lama menghabiskan waktunya di kamar untuk mempersiapkan diri, Reiga akhirnya turun ke ruang baca dan menunggu gadis itu. Sambil menunggu, dibukanya kembali berkas yang berisi catatan mengenai gadis itu. Freya Alessandra, aku tidak tahu apakah harus menyebut kamu sebagai perempuan yang malang atau malah perempuan yang sangat beruntung? "Masuk!" ujar Reiga begitu mendengar ketukan di pintu. Diangkatnya wajahnya dari atas kertas dan ia beradu pandang dengan gadis yang berdiri kaku di depan pintu. "Duduklah!" Reiga menunjuk kursi di hadapannya. Gadis itu berjalan kaku, duduk dengan sama kakunya, dan menatap Reiga tanpa berkedip. Reiga balas mengamati gadis di hadapannya. Masih terlihat sangat muda, usianya bahkan baru menginjak 23 tahun, sepuluh tahun lebih muda darinya. "Kamu Freya?" "Ya." Freya mengangguk kaku. "Saya yakin kamu pasti sangat ingin tahu kenapa kamu bisa berada di sini. Karena itu, tidak perlu berbelit-belit, saya akan bicara intinya saja." Reiga kagum melihat ketenangan gadis ini. Ia sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya meski Reiga jelas menangkap hal itu dari pancaran matanya. "Kamu kenal dengan seseorang bernama Farell Addison?" "Ya. Itu kakak saya." Reiga menyatukan kedua tangannya di atas meja, kemudian mengucapkan sebaris kalimat yang sudah disusunnya dengan baik. "Dia menemui saya beberapa waktu yang lalu untuk meminta pinjaman dengan jumlah besar dan menjadikan kamu sebagai jaminan." Freya tercekat. Kakaknya. Ternyata kakaknyalah penyebab semua ini. "Kakak saya sedang berada di dalam tahanan, bagaimana caranya ia menemui Anda?" "Dia sudah bebas." Seketika lutut Freya terasa lemas. Untunglah ia sedang duduk saat ini. "Apa Anda dari sindikat pengedar?" Suaranya nyaris tidak terdengar. Orang macam apa lagi yang berurusan dengan kakaknya kali ini? "Bukan." Reiga menggeleng. "Kalau begitu untuk apa kakak saya meminjam uang pada Anda?" "Itu bukan urusan saya. Saya hanya menjalankan bisnis, dan selama itu memberikan menguntungkan, kenapa harus saya tolak?" "Apa untungnya menyekap saya di rumah Anda?" tanya Freya berani. "Saya belum pikirkan bagaimana cara memanfaatkan kamu. Tapi setidaknya dengan menyerahkan kamu sebagai jaminan, Farell tidak akan kabur dan pasti akan melunasi pinjamannya." "Berapa lama Anda akan menyekap saya?" Reiga menggeleng tidak suka. "Tolong jangan pakai istilah itu. Saya tidak mengurung kamu di dalam ruangan tertutup yang gelap, atau mengikat kamu, apalagi menyiksa kamu. Menyekap rasanya tidak tepat untuk menggambarkan situasi kamu ini." "Apa pun itu, bagi saya sama saja. Selama Anda tidak mengizinkan saya meninggalkan tempat ini, itu artinya saya tidak memiliki kebebasan," balas Freya tajam. "Terserah kamu." Reiga mengangkat bahunya, tanda ia malas berdebat. "Jadi berapa lama saya harus berada di sini?" "Tergantung seberapa cepat kakak kamu melunasi pinjamannya." "..." Freya tertegun. "Tenang-tenanglah di sini dan bersikaplah baik. Jangan mencari masalah. Jangan mencoba kabur. Intinya, jangan mempersulit posisi Farell. Jadilah adik yang baik." "Bisa saya menemui kakak saya?" "Sayangnya tidak bisa. Tapi kamu bisa menghubunginya." "Bagaimana cara saya menghubunginya sementara Anda menyita ponsel saya?" Sejak pertama Freya mendapati dirinya diculik, hingga saat ini, ia belum pernah melihat tasnya lagi yang berisi dompet, ponsel, beberapa berkas, dan laptop miliknya. Reiga meraih ponselnya dari atas meja dan mendorongnya ke hadapan Freya. "Pakai ini. Hubungi Farell." "..." Freya diam saja. Ia terlihat ragu. "Kenapa diam saja? Kamu tidak tahu nomor Farell?" "Sudah dua tahun lebih dia tidak pernah menghubungi saya." Sejak kakaknya resmi menerima vonis, mereka kehilangan kontak. Reiga mengambil ponselnya, mengutak-atik sesuatu, kemudian mendorongnya kembali ke dekat Freya. "Ini nomor Farell. Telepon saja. Saya akan tinggalkan kamu di sini." Freya mengambil ponsel yang Reiga berikan dengan ragu-ragu. Reiga bangkit berdiri. Ia tahu gadis ini memerlukan waktu untuk sendiri. "Freya ...," panggil Reiga sebelum berlalu. "..." Freya menengadah menatap Reiga yang kini berdiri di sisinya. "Satu saran saya. Cobalah nikmati hari-hari kamu di sini." Setelah mengucapkan itu, Reiga keluar dan meninggalkan Freya sendirian. Setelah cukup lama menimbang-nimbang, Freya memberanikan diri mencoba menghubungi kakaknya. "Mas Farell?" ujarnya begitu panggilan terhubung. "Freya?" Ada keterkejutan dalam suara itu. "Mas Farell bener udah bebas?" "Bener, Fre. Gimana kabar kamu? Kamu sehat? Kamu baik-baik? Maaf Mas belum bisa menemui kamu." Untuk beberapa saat Freya ingin menangis mendengar suara Farell. Kakaknya yang begitu ia sayangi, kakaknya yang selalu penuh perhatian padanya, kakaknya yang menjaganya sejak ibu mereka meninggal tujuh tahun yang lalu. Ia merindukan kakaknya yang selalu bersedia melakukan apa saja untuknya. Tapi fakta yang baru diketahuinya membuatnya kecewa. "Mas, soal itu nggak penting. Ada hal yang jauh lebih penting yang aku mau tanya." "Apa, Fre?" "Bener Mas Farell pinjam uang dengan jadiin aku sebagai jaminan?" Cukup lama hening di seberang sana, sebelum jawaban yang sarat dengan rasa bersalah itu terdengar. "Bener." "Mas, kenapa tega?" Mengalir sudah air mata Freya. Semua orang boleh menjahatinya, semua orang boleh mengkhianatinya, bahkan meninggalkannya pun Freya tidak peduli. Tapi jika Farell yang melakukannya, Freya sakit. "Maaf, Fre." Freya menghela napas. Mencoba menenangkan diri. Mencoba memahami pilihan kakaknya. "Mas, buat apa Mas Farell pinjam uang?" "..." Hening. "Mas, Mas itu baru bebas. Kenapa udah cari masalah lagi?" Freya menggeleng lelah sambil air matanya terus berderai. "..." Tetap hening. "Mas udah janji sama aku buat berhenti, 'kan? Mas bilang nggak akan terlibat sama sindikat gelap lagi," sesal Freya. "Fre, maaf." Terdengar helaan napas yang begitu berat dari seberang sana. "Mas emang cuma bisa buat kamu susah. Tapi lepas dari dunia hitam itu nggak gampang, Fre. Sekali masuk, hampir mustahil bisa keluar dengan aman." *** --- to be continue --- Kalau suka cerita ini, add ke library kalian ya!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD