#PART 8 >BHADRA PANIK<

1404 Words
Bhadra Bawika tampak tidak tenang mondar-mandir di ruangan rapatnya, pikirannya ada pada Bunga Lilyana, wajahnya bercucuran darah dan tubuhnya penuh dengan luka lebam menimbulkan kesedihan tersendiri di hati Bhadra. Entah kenapa gadis itu selalu disiksa?! Kemaren saat tanya nama siapa pria yang tidak jadi menikah dengannya?! Bunga Lilyana tidak menjawab, sejak putus dan tidak jadi menikah dengan Juan, Bunga menghapus semua kenangan tentangnya di ponsel, sekarang saat dibutuhkan?! Foto Juan malah tidak ada dan Bunga Lilyana kebingungan, hanya foto Aira saja yang tampak samar-samar, selebihnya hilang. Sepertinya Bunga sendiri juga kurang lihai dan tampak tidak pandai dalam mencari bukti guna memenjarakan seseorang. Terlebih!! Bunga juga takut jika foto Aira dan Juan terpampang di media ... maka foto telanjang Bunga juga otomatis akan tersebar oleh ulah mereka, sayangnya pada punya kekuatan dan kelemahan masing-masing, Mirna takut ditangkap telah menyiksa Bunga, Juan takut dibenci keluarganya karna mencemarkan nama baiknya, dan Aira sendiri juga tidak mau nama baiknya tercemar dengan julukan telah merebut calon suami orang. Karna itulah mereka semua sama-sama diam meski punya senjata masing-masing guna saling menjatuhkan, hebatnya Bunga ... adegan saat Aira dan Juan bercinta direkam dan Bunga kirim ke Bhadra, tidak sepenuhnya karna bagi Bunga Juan dan Aira sedang melakukan hal pribadi, hubungan suami istri, nuraninya masih melarang menyebarkan keintiman orang. Kemaren setelah disebar cerita mengenai Bunga yang dianiaya di pesta pernikahannya, diserang balik oleh akun-akun yang bilang bahwa Bunga Lilyana adalah gadis yang tidak baik, jal4ng mur4han! Simpanan para bapak-bapak tua di desanya, dan itupun tidak satu ataupun dua akun yang menyebar, melainkan beratus-ratus akun, pujian yang tadinya sempat membanjiri Bunga kembali menyerang dan malah menjelek-jelekkan Bunga Lilyana, dan rasa tidak terima! Entah kenapa muncul di hati Bhadra?! Biasanya pria berusia tiga puluh tahun itu tidak peduli pada apapun dan pada siapapun! Tapi Bunga Lilyana ini?! Sukses membuat hati Bhadra tidak tenang. "Tuan, apakah bisa melanjutkan rapatnya?" tanya Manaf, tidak enak pada para klien. Mereka menunggu sejak tadi dan tidak mengerti kenapa pria yang biasanya tidak main-main tentang pekerjaan apapun itu malah tampak bingung. "Apa kau tidak lihat?! Matamu buta?! Aku sedang memikirkan seseorang!!" marah Bhadra, tidak memandang suasana, padahal banyak orang penting menunggu kerjasama dengannya. "Baiklah, apa rapat hari ini sebaiknya ditunda?" Manaf sekali lagi tidak enak pada para klien. "Terserah!" Bhadra meninggalkan ruangan dengan amarah yang meluap-luap. Dia kesal tidak satupun orang yang bisa menolong Bunga. "Apa mata para warga di sana sudah buta?! Menyelamatkan satu gadis saja tidak bisa! Mati saja semuanya kalau tidak berguna!" seru Bhadra, naik turun dadanya saat masuk ke ruangan pribadinya, ingin rasanya meninju apapun yang ada di depannya tapi tidak bisa. Manaf meminta maaf pada semua klien dan para klien karna ingin sekali bekerjasama dengan Bhadra, terpaksa setuju dan pura-pura tidak terjadi apa-apa, meski hati mereka kecewa ingin memaki Bhadra, tapi yang muncul hanya pujian memaklumi tindakan Bhadra dari mulutnya, Manaf sendiripun juga heran, sejak menerima telepon dari seseorang dan menjauh dari ruangan, setelah selesai tiba-tiba masuk ruangan rapat kemudian marah-marah tidak jelas. "Pasti masalah Bunga Lily lagi! Tidak bisakah gadis itu membiarkan atasanku tenang?! Selain merepotkan, Tuan juga tidak kenal, sangat membuang-buang waktu mengurusi gadis lemah seperti Bunga Lilyana. Mending mengurusi istri pertamanya saja, Bunga Anindya," batin Manaf, takut jika wanita itu dijadikan istri ketiga dan saingan Bunga Anindya?! Tentu saja akan bertambah satu. "Sayang, kau ada masalah?! Kenapa wajahmu memerah?! Nafasmu juga tidak teratur, Sayang. Apa seseorang telah menyakiti hatimu?" tanya Laras, yang sedari tadi setia menunggu di ruangan Bhadra, mendengar Bunga Anindya datang ke kantor, Laras menyusul dan tidak mau jika gadis itu membuat Bhadra membatalkan pernikahannya dengan dia, syukurlah hubungan Bunga Anindya dan Bhadra Bawika tidak pernah harmonis, setelah tahu Bunga Anindya menangis di toilet, saat keluar Laras langsung ke ruangan Bhadra dan memeluknya dengan sangat erat, dan yang lebih memuaskan Laras lagi, Bhadra membalas pelukannya, harapan Laras, semoga Bunga Anindya melihat dan hubungannya dengan Bhadra?! Tentu saja akan semakin renggang, Larasati sangat senang. Tapi sekarang?! Pria yang dicintainya dengan sangat kembali marah-marah tidak jelas. "Sayang ... apa kau mengabaikanku? Tidak mendengarkan ucapanku? Kenapa kau marah-marah tidak jelas, Sayang? Katakanlah! Apakah kak Bunga Anindya membuat masalah?!" ulang Larasati, ingin dimengerti. Sejak berhubungan badan dengan Bhadra, seluruh hidup Laras hanya ingin dicintai Bhadra, disayangi Bhadra, dan diperhatikan oleh Bhadra, dan untungnya, Larasati hamil anaknya, itulah sebabnya kenapa Bhadra ingin bersama dengannya dan menikah dengan Laras demi calon bayi yang ada di dalam perut Laras. "Berisik sekali!! Tidak bisakah kau diam sebentar saja?! Bunga lagi dan Bunga lagi yang ada di otakmu!! Singkirkan itu dan jangan mengungkitnya di hadapanku!! Pergilah!!" marah Bhadra, membuat Larasati gemetar dan memegangi perutnya yang belum membesar. "Maaf ... Aku hanya tidak mau kau bersedih, Bhadra. Aku khawatir padamu dan anak kita ... sepertinya dia merasakan kesedihan ayahnya, maaf ... " tangis Laras, selalu menggunakan airmata palsunya untuk memikat Bhadra. Melihat kesedihannya, Bhadra teringat pada Bunga Lilyana dan mau tidak mau memeluk Laras. "Maaf ... Aku tidak bermaksud menyakitimu, Laras. Pulanglah! Untuk saat ini aku tidak mau diganggu siapapun dan masalah apapun!" tekan Bhadra, memisahkan diri dari Laras dan membiarkan gadis itu pergi meninggalkan ruangannya, Bhadra memegangi kepalanya dan merenung sendirian di meja kerja. "Kenapa selama hidup aku tidak pernah menemukan kebahagiaan, Ma, Pa? Apakah kalian bahagia tinggal di alam keabadian sana?! Bawa aku juga! Aku rindu kalian," sisi lemah Bhadra tak seorangpun bisa memahaminya, dalam kehidupannya ... hanya kesedihan saja temannya, harta kekayaan tak berarti bagi Bhadra, semua hanyalah kebahagiaan semu semata. Jika tanpa harta?! Akankah masih ada orang yang suka?! Belum bisa dipastikan. Yang Bhadra inginkan ... cinta sejati dari orang-orang terkasih. Dan selama ini?! Hanya Jenny Handoko saja yang bisa memberikan kasih sayang pada Bhadra secara tulus, selebihnya mustahil. Wanita berusia lima puluh tahun dan juga merupakan ibu kandung dari Juan Handoko itu menyayangi Bhadra layaknya anak sendiri, itulah kenapa Bhadra selalu membantunya meski sebenarnya tidak terlalu suka dengan Juan dan juga ayahnya Jamal Handoko, Jamal serakah akan harta sementara Juan sendiri adalah pria bodoh, tidak mau berdiri di kakinya sendiri, selalu jadi benalu di hidup Bhadra dan apa-apa meminta pertolongannya, Bhadra kurang suka. Andai bukan demi Jenny Handoko! Bhadra tidak sudi punya keluarga angkat seperti mereka, meski dirawat sejak kecil sekalipun. Itupun juga semua biaya perawatan adalah milik Bhadra sendiri, jadi tidak sedikitpun Bhadra mengemis pada mereka, hanya berjasa menjaga dan merawatnya saja, itupun hanya Jenny Handoko saja yang bersikap apa adanya, tidak munafik seperti Jamal dan Juan, tapi lagi-lagi demi Jenny, Bhadra harus menyayangi mereka berdua, Juan dan Jamal, ayah angkatnya, dan Juan?! Adalah anak mereka. Lama memandangi ponselnya, Bhadra menghubungi ibu angkatnya. Setelah menunggu beberapa detik lamanya, Jenny Handoko menjawab panggilan dari Bhadra. "Hallo, Nak. Kau rindu, Mama?" tanya Jenny, memang sangat lembut pribadinya. "Mama masih di Kalimantan?!" seru Bhadra, bimbang ingin meminta bantuan mama angkatnya atau tidak?! "Masih, Sayang. Tapi di kota, Juan bilang ingin tetap di desa beberapa hari memanjakan istrinya." "Dasar anak durhaka! Sudah tahu orangtuanya menyusul ke desa! Malah bersenang-senang dengan istrinya!" marah Bhadra, menggebrak meja. "Sayang ... jangan marah dulu! Mama tidak apa-apa. Lagipula papamu juga betah melihat suasana desa." "Baiklah, Mama. Jaga diri mama dengan baik." "Apakah ada masalah?!" Jenny khawatir mengenai kondisi Bhadra yang selalu berselisih paham dengan istrinya. "Tidak! Hanya saja ... Bhadra sangat merindukan, Mama." "Um ... manis sekali ... baiklah! Beberapa hari lagi mama pulang, Nak," hibur Jenny, tidak mau putra angkatnya kepikiran, dari nada bicaranya, Jenny tahu bahwa Bhadra tidak baik-baik saja. "Bhadra, jika ada masalah katakan pada, Mama. Mama tidak suka ada kebohongan diantara kita, Nak!" paksa Jenny, tidak suka hal buruk menimpa putranya. "Tidak apa-apa, Ma. Tenanglah! Bhadra baik-baik saja," Bhadra beneran tidak enak meminta bantuan mamanya. Dia tidak mengenal Bunga, dan hal yang lebih membimbangkan lagi, Bunga tinggal di desa tempat Juan melangsungkan pernikahan. Mudah-mudahan bukan Juan orangnya, karna kalau iya!! Mamanya pasti akan menderita. "Ya sudah, selamat bekerja, Nak." "Ya, jaga diri, Mama!" Bhadra mematikan ponselnya. "Anak angkat itu lagi?!" ejek Jamal, tidak suka Jenny bersikap baik pada Bhadra. "Dia anak kita, Pa. Bukan anak angkat, aku sudah menganggapnya sama seperti putraku sendiri," protes Jenny, berharap Jamal mengerti. "Mau bicara sampai berbusa pun Bhadra tetap anak orang lain, Ma. Jangan menyayanginya berlebihan melebihi putra kita sendiri." "Lalu, Juan?! Apakah dia bisa membanggakan seperti Bhadra Bawika?! Buka mata papa lebar-lebar!!" Jenny kesal. "Huh!! Membanggakan atau tidak tetap saja Bhadra anak orang lain, bukan anak kita. Sementara Juan Handoko!! Anak kesayangan, Kita. Putra kandung!! Ingat baik-baik." Jenny tidak peduli dan tetap dengan perasaannya sendiri yang menyayangi Bhadra Bawika. TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD