TIGA

1921 Words
         Dalam ruangan yang cukup luas, dengan meja panjang yang di huni oleh lebih dari tujuh orang. Anak - anak The Altlas sedang melakukan meeting bersama dengan maneger dan juga pihak label rekaman. Terlihat mereka semua tengah serius mendengarkan penjelasan dan presentasi untuk Album comeback mereka setelah hampir lima tahun vakum dan sibuk dengan karir mereka masing-masing. "Jadwal untuk rekaman, sudah saya emailkan pada Doni. Dan kita juga akan melakukan pemotretan serta menentukan single utama. Untuk ini saya percaya kan sama kalian berempat seperti biasa". Jelas Pak Mitra selaku produser mereka. Mereka berempat hanya mengangguk mengerti. "Dan satu lagi, comeback kali ini kita berniat buat tour Indonesia. Rencana nya menyeluruh. Kita sudah mendapatkan beberapa email dari sponsor brand ternama. Nanti mungkin akan kita pilah-pilih lagi, seperti biasa. Kalian yang akan menentukan." Lagi mereka mengangguk. Ini lah yang membuat The Atlas betah di produseri oleh Pak Mitra. Selain beliau musisi legend, beliau juga tidak banyak menuntut. Tidak terlalu gila akan popularitas. Tidak banyak menekan, semua keputusan selalu di serahkan pada The Atlas. Untuk di rundingkan bersama. "Al, kamu harus jaga suara ya". Tunjuk Pak Mitra pada Alvan yang duduk di samping Radit. "Siap, Pak". Jawabnya. "Oke, itu saja untuk sekarang. Dan jangan lupa jadwal kalian di sesuaikan dulu dengan jadwal pribadi. Jangan sampai bentrok." Ujar beliau lagi mengingatkan. Dan lagi-lagi mereka mengangguk. Setelah selesai, Pak Mitra izin pamit lebih dulu. Meninggalkan mereka yang kemudian menyusul. "Mau pada makan?". Tanya Denis saat keluar dari ruang rapat. "Gue gak bisa, ada janji sama Jess". Kata Radit menghela napas berat. "Gue juga," jawab Dika kemudian. Sehingga menyisakan Alvan saja. Membuat Denis langsung melirik padanya. "Lo?". "Ayo". Saut Alvan santai. Dennis langsung memeluknya dengan pura-pura terharu. "Elo emang soulmate gue, Al. Meski udah nikah tetap ingat teman". Kata Denis seolah menyindir kedua sahabatnya yang lain. Dika dan Radit langsung memicingkan matanya dengan tajam. Membuat Denis mendelik dan mengabaikan kedua sahabatnya itu. "Yok lah". Ajaknya menarik lengan Alvan menjauh. Radit mendelik tajam, sedangkan Dika menggeleng kepalanya. Melihat kelakuan Denis yang memang paling manja dan kekanakan. *** Selesai makan dengan Denis, Alvan tidak langsung pulang. Ia memilih untuk mengunjungi rumah sakit. Dan tidak sengaja bertemu dengan Dika yang hendak menjemput istrinya yang memang bertugas di rumah sakit Medical. "Jemput?". Tanya Dika berjalan bersisian bersamanya. "Enggak, gue ada kerjaan aja di sini.". Dika melirik tidak percaya. Membuat Alvan mendelik dan menghela napas kasar. "Iya, gue mau jemput bini. Kenapa sih?. Lo gitu banget ngeliatin gua?" Lanjut Alvan mengalah. "Gue biasa aja". Jawab Dika membuang muka kedepan. Alvan menghela napas berat, bicara dengan Dika memang harus sabar dan siap mental. Sahabatnya itu bukan tipe manusia yang bisa di ajak bercanda. Bukan juga tipe manusia yang akan menunjukkan perhatian dengan cara terang-terangan. Dika itu manusia es, sikap dingin nya melebihi salju. "Kemarin malam, gue ketemu Lavina sama Dude." Kata Dika meliriknya dengan ujung mata. Alvan tidak menjawab, ia memilih diam. Dan Dika juga tidak menuntut respon nya. "Lo gak mau ketemu Mikha?" "Buat apa?". "Lo bukanya suka sama dia?". "Udah basi". Dika melirik sahabatnya lagi, kemudian menghela napas lelah. Sampai mereka tiba di lantai empat. Dika berhenti melangkah, membuat Alvan juga berhenti. "Kenapa?." Tanya Alvan bingung. "Mau sampa kapan?". Tanya Dika. "Apanya?". Tanya Alvan berpura-pura tidak paham. Sahabatnya itu menghembuskan napas kasar. Menatap frustasi padanya yang berpura-pura seolah semua baik-baik saja. "Lo sama Lavina." "Oh". Respon Alvan terlihat santai. "Cuma setahun kok". Jawab nya kemudian. Dika diam, memandangi Alvan yang berjalan lebih dulu menyusuri koridor. Lalu kemudian menghembuskan napas kasarnya dan melangkah menyusul. "Gue baik-baik aja, Dik. Lo tenang aja." Kata Alvan padanya. "Semoga". Jawab Dika lirih. Alvan meliriknya, kemudian mengulum senyum kecil. Dari ujung koridor terlihat Kandil yang baru saja keluar dari ruangannya. Wanita cantik itu langsung menyadari kehadiran mereka dan langsung menghampiri suami dan memeluknya. "Cangcimen Cang cimen. Kacang kuaci permen". Ujar Alvan bak pedagang. Kandil langsung tertawa, melepaskan pelukkan pada suaminya. "Apa Lo". Kata Kandil padanya. "Lavina masih ada operasi." "Thanks infonya". Jawab Alvan memamerkan cengiran nya. "Al, kita duluan ya." Pamit Dika padanya. Ia hanya mengangguk, begitu juga Kandil yang ikut pamit dan pergi bersama sang suami. Alvan tidak langsung pergi, ia masih berdiri di sana. Memandangi pasangan suami istri yang sebenarnya. Dika dan Kandil. Keduanya memang sangat serasi. Dika memang sangat tidak peka terhadap sekitar. Sahabatnya itu memang sangat dingin pada dunia. Tapi, sangat hangat pada istrinya. Dan melihat keduanya, ada sedikit terbesit rada iri. Tapi dengan cepat ia membuang fikiran itu. Memilih untuk kembali melanjutkan langkahnya menuju ruangan nya. *** "Lavina" Ia mengangkat wajah dari layar hp, dan menoleh kebelakang. Dahinya mengernyit saat melihat Alvan keluar dari dalam lobi rumah sakit. Pria itu langsung menghampirinya. "Mau langsung pulang atau mau makan dulu?". Kata Alvan padanya. Ia melirik jam di layar hp, sudah larut malam. Ia terpaksa pulang malam karena ada operasi dadakan. Pasien kecelakaan tiba-tiba masuk sore tadi saat ia hendak pulang. Sedangkan dokter yang bertugas belum datang. "Makan dirumah aja, ya". Jawabnya. Alvan pun mengangguk, seorang satpam membawakan mobilnya dan ia langsung menyuruh Lavina untuk masuk. Dan kemudian mereka langsung pergi meninggalkan lobi rumah sakit. "Kemarin kamu ketemu sama Dude, lagi?". Tanya Alvan dengan nada hati-hati. "Hm." Gumam Lavina menyandarkan kepalanya di jendela kaca. Alvan melirik sang istri dengan ujung matanya. Lavina terlihat sangat lelah. "Kamu udah makan?." "Belum." Jawab Lavina dengan nada datar. "Mau makan apa? Aku masakin mau?." Tanya Alvan terlihat lebih semangat. Kali ini perempuan cantik itu menoleh padanya. Memicingkan mata dengan sanksi. "Kenapa? Kamu belum pernah dengar tawaran memasak dari laki-laki?." "Kamu bisa masak?." "Cih .. enggak sih." Lavina langsung mendengus. Sedangkan Alvan malah terkekeh geli sendiri sambil menggaruk tengkuk lehernya yang tidak sama sekali gatal. "Kamu nawarin kayak seolah bisa masak aja." "Ya, namanya juga basa-basi. Kamu keliatan tegang banget, capek gitu. Kita udah sebulan lebih menikah, tapi komunikasi jarang banget." "Kita gak perlu komunikasi, Al." "Kenapa?." "Pernikahan kita cuma satu tahun." "Ya, paling enggak kita bisa jadi teman. Kamu gak benci aku kan?." Jawab Alvan dan kemudian kembali bertanya. Lavina mengerutkan dahinya, menoleh pada Alvan dengan bingung. "Kamu kayaknya selalu menjaga jarak dengan ku, sikap kamu lebih dingin. Kalau kita temenan, salah ya?". Lanjut Alvan melirik Lavina sekilas. Perempuan itu diam, memandangi Alvan dengan tidak enak sekarang. Ia mulai merasa sedikit bersalah. Apa benar ia terlalu dingin pada laki-laki itu?. Kenapa? Apa salah Alvan?. Memikirkan itu semakin membuat rasa bersalah itu terlihat nyata. "Kamu ngerasa begitu?." Tanya Lavina hati-hati. Pria itu mengangguk kan kepalanya sebagai jawaban. "Sorry". Gumam Lavina pelan. "Its oke". Jawab Alvan. "Tapi, tolong jangan menghindar. Karena akan membuat orang tua atau kakek ku curiga. Mereka akan berfikir kalau kita dalam masalah. Kamu terlihat jelas menjaga jarak dengan ku". Lanjut Alvan menjelaskan. Ia menghela napas berat, menyibakkan rambut panjang hitam lekatnya kebelakang. Sedikit frustasi sekarang. Apa yang di katakan oleh Alvan benar. Bahkan Mamanya sudah bertanya berulang kali padanya tentang hubungan mereka. Seperti curiga. Alvan menepikan mobilnya di sebuah restoran, ia menanyakan Lavina ingin memakan apa. Setelah mendapat jawaban, laki-laki itu langsung keluar dari dalam mobil. Ia hanya diam, memandangi punggung Alvan yang sedikit berlari kecil masuk kedalam restoran. Getaran ponsel ia rasakan, ia langsung melihatnya. Dan melihat sebuah chat masuk dari Dude. Menanyakan kabarnya. Dengan cepat ia mengetikkan balasan, kemudian kembali menatap kedepan. Lalu getaran kembali terasa, sebuah panggilan dari Dude masuk ke ponselnya. Membuatnya langsung menjawab. "Hallo". "Hai, kamu udah pulang?". "Udah, tapi masih di jalan. Beli makan malam." "Lho,. Belum makan?". "Belum, gak sempat. Ada operasi pasien kecelakaan." Ia mendengar helaan napas dari seberang. Membuatnya mengulum senyum kecil. "Yaudah, nanti sampai rumah jangan lupa makan." "Iya". Jawab nya. Matanya menangkap Alvan sudah keluar dari dalam restoran, tapi tertahan karena beberapa gadis remaja terlihat meminta foto bersama. Dan pria itu dengan senyum ramah dan tidak keberatan menyetujuinya. Ia tau, kalau Alvan bukan laki-laki yang buruk. Alvan itu baik, ramah dan juga sopan. Apa yang terlihat di depan kamera atau di belakang, semuanya asli. Sebulan hidup bersama, ia sedikit lebih mengenal laki-laki itu. Meski ia memang terkesan menjaga jarak. Tapi, ia tau kalau Alvan bukan seperti kebanyakan anak band yang kehidupannya bebas. Alvan tidak seperti itu. Hidup Laki-laki itu tertata dengan baik. Pak Nugroho berhasil mendidik nya dengan baik. Kandil juga pernah cerita, kalau saat sekolah dulu Alvan memang nakal. Tapi, nakalnya ya nakal remaja biasa. Dan yang pasti, pria itu sangat baik dan perhatian padanya. Juga.. "Sayang?" Suara Dude mengejutkannya. Ia langsung menurunkan pandangan dari Alvan yang terlihat sudah selesai berfoto dengan fansnya. "Iya, kenapa?". "Aku tadi bilang, kalau kemungkinan besok aku sibuk banget. Jadi, maaf kalau aku bakal jarang kabarin kamu ya.". "Iya, gapapa. Paling enggak kamu bisa sedikit aja luangin waktu buat chat aku." "Iya, yaudah aku tutup dulu ya. Masih ada beberapa berkas yang harus ku kerjakan". Ia hanya menjawab dengan gumaman, lalu sambungan telfon terputus tepat dengan Alvan masuk kedalam mobil. "Sorry, lama". Ujar Alvan menaruh makanan di atas dasbor depan nya duduk. "Gapapa kok". Jawabnya. Alvan kembali melajukan mobilnya, menyusuri jalanan ibu kota yang ramai dan juga macet. Sesekali ia menangkap basah Alvan melirik ke arahnya. Tapi, ia pura-pura tidak melihat. Ia teringat kembali pada ucapan Alvan barusan. Tentang apa ia membenci pria itu. Jujur saja, ia tidak membenci Alvan. Bahkan ia menyukai Alvan, dalam arti sama dengan kebanyakan Fans lainnya. Yap!. Saat remaja dan kuliah dulu, ia memang mengagumi Band yang di naungi oleh Alvan. Dan sang vokalis adalah favorit nya. Namun, hanya sekedar suka fans kepada sang idola, tidak lebih. Meski pria itu pernah masuk kedalam fantasi liarnya. Tapi itu dulu, dulu saat ia masih remaja labil. Masih tergila-gila dengan laki-laki tampan. Pada masa pubertas nya. Untuk sekarang, sudah tidak lagi. Sejak ia mulai merasa sekolah dokter itu sangat menyiksa dan ia harus fokus penuh pada pendidikan dan melupakan Band laki-laki itu. Apalagi semenjak ia mengenal Dude dan kemudian jatuh cinta. Maka berakhirlah sudah. Ia sama sekali tidak memiliki waktu untuk menyelami hobi lamanya. "Mikha". Suara pelan Alvan mengejutkannya. Ia melirik pria itu yang menatap lurus kedepan. Membuatnya juga ikut melihat ke arah yang sama. Tepat di depan gerbang rumah mereka ada seorang perempuan tengah berdiri bersandar di samping mobil. Begitu mobil berhenti, Alvan langsung melepaskan seatbelt dan keluar dari mobil begitu saja. Ia juga menyusul, melihat Alvan yang menghampiri wanita itu. "Mikha". Sapa Alvan. Cewek cantik dalam balutan gaun putih panjang dengan belahan d**a tidak terlalu rendah itu langsung mendekat. Dan tanpa ia duga, wanita itu langsung memeluk Alvan. "Kamu kenapa?". Tanya Alvan dengan nada khawatir dan perhatian. Ia tidak tau siapa wanita itu. Dan ia merasa asing, perempuan itu sepertinya bukan dari kalangan publik figur. Karena, ia tidak pernah melihatnya wara Wiri di tv. Atau, ia yang sudah lama tidak menonton tivi Indonesia. Lavina memilih mengabaikan mereka berdua. Memilih untuk berlalu pergi, masuk kedalam rumahnya. Samar-samar ia mendengar Alvan mengajak perempuan bernama Mikha itu masuk kedalam. *** Ia tidak tau apa yang sedang di bicarakan Alvan dengan Mikha di halaman belakang rumah. Ia tidak tertarik untuk mencari tau atau ikut campur. Setelah tadi Alvan memperkenalkan mereka, ia langsung memilih untuk masuk kamar untuk bersih-bersih. Membiarkan mereka mengobrol. Namun, saat ia keluar kamar untuk kedapur untuk makan. Samar-samar ia mendengar Mikha menangis. "Seharusnya aku milih kamu, kan?". Ia mendengar suara Mikha di sela tangisnya. "Kenapa aku gak jatuh cinta sama kamu aja, Al. Kalau aku jatuh cinta sama kamu, pasti aku gak akan seperti ini.". "Mikha, kam-". "Ragil beda sama kamu, dia gak bisa seperti kamu yang selalu peduli sama aku. Yang selalu mengutamakan aku. Ragil gak sepeka kamu, dia-". "Mikha, kamu gak bisa menyamakan kami. Aku dan Ragil berbeda. Kamu tidak bisa menyamakan kami berdua." Alvan benar, Ia setuju dengan ucapan pria itu. Semua manusia tidak sama. Pasti berbeda-beda. Dan tidak bisa membandingkan atau menyamakan satu sama lain. Karena, mereka memang beda. "Lavina pasti beruntung banget punya suami seperti kamu". Ia menghentikan pergerakkan sendok di udara ketika mendengar ucapan Mikha. " Aku tiba-tiba iri padanya, karena saat memiliki kamu. Dia pasti akan baik-baik saja. Karena kamu pasti akan membuatnya bahagia." Entah mengapa mukanya tiba-tiba menghangat mendengar itu. Namun dengan cepat ia menggeleng untuk mengenyahkan semuanya. Ia tidak mendengar Alvan bersuara. Namun, Mikha kembali bersuara, dan sedikit membuatnya tertegun. "Andai aku bisa mengembalikan waktu, aku ingin memilih kamu. Al."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD