EMPAT

2227 Words
Dude : Sayang, maaf ya. Aku lagi sibuk banget nih. Mau meeting bentar lagi, kamu jangan lupa makan. Lavina hanya bisa menghela napas berat ketika membaca pesan dari Dude. Setelah puluhan kali ia mencoba untuk menelfon dan berujung tidak di jawab. Dan baru malam ini pria itu mengabarinya. Apa sesibuk itu?. Fikirnya lelah. Ia baru saja tiba di rumah, melangkah masuk kedalam rumah sambil menyimpan ponsel kedalam tas nya. Ia mendengar suara Alvan yang terlihat asik entah mengobrol dengan siapa. Dan benar saja, saat ia melewati ruang tengah yang langsung bisa melihat ke dapur sana. Ia melihat Alvan tengah duduk di depan meja bar yang menjadi pemisah dapur dengan jalan menuju ke halaman belakang dan ruang tengah. Pria itu duduk membelakangi nya, dengan sepasang earphone menyumpal kedua telinga dan tengah memegangi sibuk memencet-mencet layar ponsel. "Den, awas Den. Jangan kesana kampret!. Ah, sialan.. Gak guna Lo sumpah!. Ini kalau kalah gara-gara loe ya!". Pria itu terlihat mendumel. Ia hanya menggeleng kepala melihat kesibukkan Alvan. Tanpa ingin menyapa, ia memilih untuk langsung masuk kedalam kamarnya. Lebih baik bebersih lebih dulu sebelum makan atau mengerjakan apapun yang bisa membuatnya melupakan kejengkelan nya pada Dude. "Eh, kamu sudah pulang?". Alvan terlihat kaget saat melihat nya muncul dapur setelah ia mandi dan berpakaian rumah. Pria itu langsung melepaskan dua earphone nya dan melempar senyum ramah padanya. "Aku udah beli makan, kamu belum makan kan?". Ujar Alvan. Ia melirik makanan di atas meja, lalu mengangguk dan meneguk sedikit air putih sebelum kemudian ikut duduk di hadapan Alvan. "Aku gak tau kamu suka apa. Jadi, aku beli ini aja." "Makasih". Jawab Lavina padanya. Alvan mengulum senyum dan mengangguk. Ia pun memilih untuk menikmati nasi goreng yang dibelikan suaminya. Dan melirik pada piring pria itu yang sudah kosong. "Aku dengar, kalian mau comeback". Ujarnya mencoba membuka obrolan. "Iya". Jawab Alvan meletakkan ponselnya di atas meja. "Lagi persiapan aja sih, sama nyusun-nyusun jadwal aja." Lanjut Alvan. "Kamu -". Kalimatnya terhenti karena ponsel Alvan di depan mereka tiba-tiba bergetar. Mencuri perhatian, mereka. Dan Alvan langsung menjawab telfon tersebut. "Bentar ya". Izin pria itu. Ia hanya mengangguk, kembali pada makanan nya. Melirik sekilas pada Alvan yang berjalan menjauh untuk menerima telfon dari Mikha. Ia memang sempat melihat nama itu di kontak layar ponsel pria itu tadi. Makanan nya habis, bertepatan dengan Alvan yang kembali duduk di hadapannya. "Tadi kamu mau nanyak apa?." Tanya Alvan padanya. "Gak papa kok." Jawabnya menggeleng. Dan Alvan mengangguk saja. Pria itu kembali menyibukkan diri dengan ponsel nya. "Oya, Sabtu lusa sepupuku menikah. Acaranya di Puncak. Kamu bisa ikut?." Ia memandang Alvan sejenak. Kemudian berfikir menimang ajakkan itu. Tidak ada salah nya ia ikut, bahkan lebih baik bukan?. Karena pasti akan terlihat aneh jika ia tidak mendampingi Alvan di acara keluarga seperti itu. Padahal mereka suami istri. "Bisa." Jawab Lavina. Alvan tersenyum, " Aku ke kamar duluan". Pamitnya kemudian. Pria itu hanya mengangguk. Ia pun beranjak dari kursinya. "Lavina." Ia menoleh ke belakang pada Alvan yang kini sedikit memutar ke arahnya. "Good night." Ucap Alvan dengan senyuman manis. Lavina hanya mengangguk saja, lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju ke kamar. *** Mobil yang di kendarai Alvan berhenti di depan sebuah villa. Villa tersebut merupakan milik keluarganya, sedangkan untuk penyelenggaraan acara pernikahan sendiri berada di Villa utama. Tempatnya tidak terlalu jauh dari villa yang mereka jadikan untuk menginap. Lavina memandangi sekitar villa yang sangat nyaman dan tenang. Semua masih terlihat asri, lingkungan yang sangat terawat. Ada air mancur di tengah-tengah halaman. Lalu taman buatan yang banyak di tumbuhi bunga-bunga. Halaman depan juga sangat luas, jarak villa dengan gerbang juga lumayan jauh mungkin ada sekitar 100 meter lebih. "Lavina." Panggilan Alvan membuatnya menoleh. "Kenalin, ini Kang Ujang. Yang jaga villa ini." Ujar Alvan memperkenalkan seorang pria paruh baya. "Lavina." Ujarnya mengulurkan tangannya. "Ujang, Neng." Jawab beliau dengan sopan dan ramah. Lavina tersenyum, lalu Kang Ujang beralih pada Alvan. "Gak apa, Kang. Biar aku bawa sendiri kedalam. Gak banyak kok." Jawab Alvan menolak bantuan. Lagi pula tidak banyak barang yang di bawakan mereka. Cuma perlengkapan untuk pesta. Itu saja, karena mereka hanya semalam saja di puncak. Besok siang akan kembali ke Jakarta. "Ayo masuk." Ajak Alvan membawakan tas barang. Lavina mengangguk, ia berjalan mengikuti Alvan yang menuju teras. Kang Ujang membukakan pintu, mempersilahkan mereka masuk kedalam. Beliau berkata kalau Villa setiap hari di bersihkan. "Terimakasih, Kang". Ujar Alvan ketika Kang Ujang hendak berpamitan pulang. " Sama-sama Den, kalau begitu saya pulang dulu." Ujar beliau. Alvan hanya mengangguk, dan kemudian mengantarkan kepulangan Kang Ujang hingga sampai pintu. Sedangkan Lavina memilih untuk mengelilingi Villa yang cukup besar. Jika untuk liburan keluarga tempat ini adalah tempat nyaman. Ada juga kolam renang di halaman belakang. Dengan di lengkapi pemandangan alam yang sangat menawan. Ia sampai mengeluarkan ponsel dan memotret pemandangan tersebut. "Kamu mau jalan-jalan?." Tanya Alvan membuat ia menoleh kebelakang. "Keliling kebun teh." Lanjut Alvan mengindikkan dagu nya ke bawah bukit hadapan mereka. "Di atas bukit sana ada paralayang juga. Lumayan seru kalau kamu gak punya phobia ketinggian." Kata Alvan lagi. Mendengar kata Paralayang membuat nya tertarik. Ia sudah lama tidak menaiki paralayang itu. Terakhir ia hanya mendengar cerita dari Kandil, yang mengatakan jika sahabatnya itu menaiki paralayang saat honeymoon di Bali. "Oke." Alvan langsung tersenyum lebar. "Yaudah, ayo." "Sekarang?" Alvan mengangguk. "Kamu gak capek, nyetir berjam-jam dari Jakarta ke Puncak?". "Enggak lah, udah biasa." Jawab Alvan dengan santai. "lagian kita gak punya banyak waktu di sini." Alvan benar, mereka tidak datang untuk berlibur ke sini. Hanya untuk menghadiri pesta pernikahan sepupunya Alvan yang diadakan nanti malam. Siang hari itu mereka habiskan dengan berjalan-jalan di area perkebunan. Lavina terlihat sangat bersemangat, bahkan mengambil beberapa gambar disana. Sedangkan Alvan hanya menemaninya saja. Membantu memotret gadis itu dengan ponselnya. Lavina juga mencoba untuk memetik daun teh, dengan di ajari oleh buruh disana. Sampai mereka tiba di atas bukit, tempat yang di janjikan oleh Alvan. Tempat dimana mereka akan terbang dengan paralayang. "Kang, tolong ya." Kata Alvan pada seorang laki-laki yang bertugas menjaga tempat paralayang. "Gak mau berdua aja, kang? Biar romantis gitu". Ujar si petugas malah menggoda mereka. Alvan tersenyum, melirik pada Lavina yang juga melirik padanya. Ia tau jika mungkin gadis itu akan keberatan, jadi ia memilih menggeleng. "Bener nih, kang? Nanti nyesel lho kalau sama saya terbangnya." Kata Petugas itu lagi dengan nada bercanda. Lavina tertegun sendiri kemudian, ia melirik Asep si petugas yang sepertinya cukup akrab dengan Alvan. Ia tentu saja tidak akan berani untuk terbang sendiri. Namun, terbang dengan orang asing juga tidak akan membuatnya nyaman. Ia sangat ingin naik paralayang, Dude punya phobia ketinggian. Jadi ia tidak bisa melakukannya dengan Dude. Jika tidak sekarang, entah kapan lagi ia akan melakukan nya. "Al." Panggil nya menyentuh lengan Alvan sedang mengenakan perlengkapan terbang. "Aku sama kamu aja, ya." Putusnya. Alvan tidak langsung menjawab, ia memandangi Lavina sejenak untuk menyakinkan. Saat gadis itu mengangguk, Alvan pun akhirnya mengangguk setuju. "Oke." Jawabnya. Lalu Alvan beralih pada Asep lagi, mengatakan jika akan naik bersama dengan Lavina yang langsung mendapatkan godaan dari Asep. Lavina cukup excited dengan paralayang. Setelah memakai semua perlengkapan, ia dan Alvan langsung menuju paralayang mereka. Asep memberi beberapa pesan pada mereka. Terutama pada Alvan yang akan mengendalikan paralayang. "Siap?". Bisik Alvan di telinganya. Posisi mereka sangat dekat, bahkan mungkin ini adalah jarak paling dekat selama ini. Alvan berada di belakangnya, sedangkan ia di depan. Punggung bersentuhan langsung dengan d**a bidang Alvan. Membuatnya bisa merasakan kehangatan di tengah dinginnya udara puncak. Ia menganggukan kepalanya, Alvan langsung mengambil ancang-ancang dengan di bantu oleh Asep, lalu kemudian berlari menuruni bukit hingga habis dan saat ia membuka kedua matanya. Ia langsung terperangah tidak percaya. Jantungnya berdebar cepat saat melihat ia tidak menginjak tanah. "Kita terbang? Beneran terbang?!" Serunya sangat senang menoleh kebelakang pada Alvan. Pria itu hanya mengangguk sambil tersenyum. "Waahhhh... Ini bagus banget!. Pemandangan nya keren banget dari atas sini!". Seru Lavina terlihat sangat senang. Gadis itu terlihat seperti anak-anak saja. Alvan hanya tersenyum memandangi Lavina yang mulai mengambil video mereka. Memperlihatkan keberadaannya yang di udara. Sambil menunjukkan, bahkan menyebut nama Kandil. Sepertinya istrinya itu ingin pamer pada sahabatnya. *** "Enak?." Tanya Alvan pada Lavina yang duduk di depannya. "Banget!". Jawab Lavina. Mereka sedang berada di salah satu rumah makan khas Sunda. Setelah lelah terbang. Alvan mengajaknya makan di dekat sana. Dan uniknya, mereka bisa mengambil ikan sendiri di sebuah kolam yang di sediakan. Dan gadis itu makan dengan lahap. Terlihat sangat menikmati makanan itu. "Ya ampun, kamu makan kayak anak kecil." Kata Alvan. Lavina tersenyum, ia mencoba mengelap lumuran sambal di ujung bibirnya. Namun, tangan Alvan lebih cepat. Membuat ia terdiam, dan terpaku. Alvan juga melakukan hal yang sama. Mata mereka tiba-tiba saja bertemu. Untuk beberapa detik mereka seolah saling beradu pandang menyelami satu sama lain. Sampai Lavina tersadar dan langsung berdeham. Memutuskan kontak mata mereka. "Thanks." Kata Lavina melirik sekilas. Alvan hanya mengangguk, dan suasana menjadi canggung. Entah apa penyebabnya. Tapi, jelas keduanya merasa ada yang berbeda. Namun, sama-sama untuk mengabaikannya. *** Pukul 19:00 Lavina sudah siap dengan gaun pestanya. Terlihat sangat cantik dan cocok di tubuh rampingnya. Gaun malam yang memamerkan bentuk tubuh nya yang ramping. Dengan punggung terbuka dan belahan d**a sedikit rendah. Rambutnya ia biarkan tergerai dengan sedikit gelombang, lalu mengumpulkan menjadi di satu sisi. Saat ia keluar dari dalam kamar, ia menemukan Alvan yang sedang berusaha memasang dasinya. Lavina hanya menggeleng, ia berjalan menghampiri pria itu dan langsung mengambil alih dasi itu. Alvan terkejut, ia langsung menatap Lavina dan membeku disana. Ia langsung terpesona dengan kecantikan Lavina malam ini. Gadis itu terlihat lebih dewasa dan sangat cantik juga seksi. Ia bahkan sampai tidak bisa berkedip lagi saking jatuh dalam pesona seorang Lavina. "Thanks". Kata Alvan yang kembali menguasai dirinya. Lavina mengangguk, menyapu kedua bahu Alvan untuk memastikan tidak ada debu halus disana. "Berangkat sekarang?". Tanya Lavina. "Iya". Keduanya pun berjalan bersisian, keluar dari dalam Villa menuju mobil. Jarak tempat acara tidak terlalu jauh. Hanya sekitar beberapa menit saja jika menempuh dengan mobil. "Oya, aku lupa mau nanya sama kamu." Lavina membuka suara di tengah perjalanan. Membuat ia menoleh. "Apa?" "Hubungan kamu sama Mikha, kenapa kalian tidak bersama?". Tanya Lavina padanya. Alvan mengernyit kan dahinya heran. Kemudian menjawabnya dengan santai. "Entah lah". Jawabnya mengindikkan bahu. "Kalian saling mencintai?". "Dulu, mungkin iya. Sekarang tidak lagi." "Kenapa?". "Sudah terlambat." Jawab Alvan. Mobil mereka memasuki sebuah villa yang sangat besar. Dan sudah ramai dengan tetamu yang datang. Ada juga para wartawan. "Tapi, dia sangat mencintai kamu." "Perasaan aku sudah berubah, sejak dia memilih orang lain di banding aku." Jawab Alvan memarkirkan mobilnya. Ia pun memilih diam kemudian, Alvan turun lebih dulu. Lalu membukakan pintu untuknya. Mereka berjalan bersama menuju red karpet. Blitz kamera langsung menghujam mereka. Para wartawan mendekat untuk mewawancarai mereka. Ia tidak menanggapi nya, hanya tersenyum dan membuatkan Alvan yang menghandle semuanya. Ia sudah belajar banyak dari Kandil. Dan mulai terbiasa sekarang. Setelah berfoto-foto dan wawancara sebentar. Alvan langsung merangkul nya untuk masuk kedalam. "Kandil". Ia bersyukur menemukan sahabatnya di tengah-tengah lingkungan asing. Sahabatnya datang bersama sang suami. "Lo kenapa gak bilang kalau bakal datang juga?!". Kata Lavina melepaskan pelukkan mereka. "Tadinya gak mau datang juga, ribet dalam kondisi ku kayak sekarang". Jawab Kandil mengusap perutnya yang sudah membesar. "Tapi, kasian juga kalau dia pergi sendiri tanpa pasangan. Teman-teman nya pada bawa pasangan." Lanjut Kandil melirik Dika yang berdiri disamping sedang mengobrol dengan Alvan dan Denis. "Gue ketemu Revan dulu ya". Ujar Alvan pada Dika dan Denis. "Iya, tadi kita juga udah ketemu kok". Jawab Denis. Alvan mengangguk, ia mengajak Lavina untuk menemui sepupunya. Untuk mengucapkan selamat. Acara pesta pernikahan itu berlangsung meriah dan mewah. Meski tidak banyak mengundang tamu. Tapi, sangat seru. Revan yang merupakan sepupu Alvan yang juga seorang Aktor tanah air sangat tau caranya menjamu tamu. Pria itu sangat ramah dan penuh canda. Bahkan terlihat sangat akrab dengan Alvan. Ia juga menikmati pesta tersebut. Berkenalan dengan banyak orang dan terutama dengan mereka yang bekerja di industri hiburan tanah air. Orang-orang yang biasanya hanya bisa ia lihat di tv atau di media sosial. Namun kini bisa ia temui dengan secara langsung. Sampai sebuah panggilan dari Dude membuatnya langsung mengasingkan diri. "Halo, kenapa baru nelfon?!". Kata Lavina keseberang telfon. "Kamu honeymoon sama Alvan?!". Lavina mengernyitkan dahinya. "Enggak, kamu ngomong apa sih!?". "Jangan bohong, kamu kepuncak sama Alvan?!. Kamu lupa sama aku?!". "De, aku cuma nemenin dia, ada-". "Nemenin? Kamu yakin? Kamu terlihat sangat bahagia bersamanya? Atau diam-diam kamu suka bersama Alvan?! Idola kamu itu?!". "Dude-". "Aku jadi sangsi sama kamu!. Atau sebenar nya aku yang terlalu bodoh untuk percaya sama sandiwara ini?!. Kamu tau aku berjuang mati-matian di sini buat kamu! Aku kerja siang malam buat kamu! Tapi apa yang aku dapatkan?!". "Dude, aku cuma nemenin dia!. Enggak lebih!. Aku sama Alvan gak pernah melakukan-". "Kamu sudah tidur sama dia?!". Lavina langsung terperanjat mendengar itu. Hatinya tersentak tiba-tiba. "Aku capek, Lav. Kamu senang bisa bersenang-senang dengan nya? Suami kamu!. Aku capek! Tau gak!?". Ia menelan ludahnya sendiri. Menggigit bibirnya sendiri untuk meredam emosi. "Aku nyerah, Lav. Aku udah gak bisa terus berjuang sendiri. Kita udahan aja. Kita akhir saja hubungan kita. Aku udah gak sanggup lagi. Lagi pula kamu sudah milik orang lain". Lavina bahkan tidak diberi kesempatan untuk berbicara. Sampai Dude memutuskan sambungan telfon dan ia terdiam di tempat. Sampai Alvan menghampirinya, dan berniat untuk mengajaknya berfoto dengan pasangan pengantin. Namun, urung. Karena tiba-tiba saja Lavina memeluknya dan menangis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD