Alvan menghela napas saat ia melihat Lavina sedang duduk termenung di taman belakang gedung rumah sakit. Sebuah taman yang sepi dan juga memiliki sebuah danau buatan. Ia bisa melihatnya melalui ruangan kerjanya di rumah sakit.
Sejak dari acara pesta pernikahan sepupunya malam itu. Saat Lavina tiba-tiba memeluk dan menangis, gadis itu menjadi pemurung dan sedikit cengeng. Ia jadi sering mendengar atau mendapati Lavina menangis.
Alvan tidak berani bertanya, karena ia tidak ingin ikut campur lebih jauh. Namun, ia sedikit yakin kalau kesedihan atau keterpurukkan Lavina dengan ada hubungannya dengan Dude. Ia tidak tau ada masalah apa di antara keduanya.
Ketika ia sedikit mengorek informasi dari Kandil, istri sahabatnya hanya mengatakan tidak tau. Entah jujur atau tidak. Tapi, melihat sikap Lavina beberapa hari ini membuatnya cemas. Gadis itu bahkan tidak berselera makan.
Patah hati kah?.
Atau Dude melakukan sesuatu atau mengatakan sesuatu malam itu?.
Atau tanpa sadar malah ia yang menyakiti Lavina?.
Ia langsung menggeleng kepala membuat fikiran buruknya. Ingin menelfon Dude, tapi kembali berfikir kalau itu bukan lah urusan nya. Mereka berdua sudah dewasa, jadi bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri. Ia hanya lah orang asing, dan tidak perlu ikut campur lebih jauh. Lebih baik diam.
Jadi ia memutuskan untuk berbalik, dan memutuskan pergi dari ruang kerjanya. Ia masih ada jadwal rekaman hari ini. Dan Doni, menejernya sudah bawel menanyakan keberadaan nya sejak sepuluh menit yang lalu.
"Al." Panggilan itu menghentikan langkahnya saat ia sedang berada di lobi. Ia menoleh kebelakang dan melihat Kandil yang baru saja turun dari dalam mobil.
Wanita cantik yang saat ini sedang hamil enam bulan berjalan menghampirinya dengan sebuah rantang.
"Kamu mau rekaman, kan?." Ia mengangguk. Membuat Kandil mengulum senyum senang dan menyodorkan bekal di tangannya. "Titip buat Dika ya?."
"Rajin banget kamu." Jawab Alvan menerima rantang itu.
"Bukan gitu, Dika lagi susah makan sekarang. Aku takut dia sakit, jadwal kalian terlalu padat." Kata Kandil.
"Iya". Kandil terlihat senang. Lalu berpamitan padanya untuk kembali ke atas.
Alvan juga langsung menuju mobilnya, melirik sekilas pada bekal yang di berikan Kandil barusan. Sedikit merasa iri pada sahabatnya itu. Karena bisa mendapatkan istri yang begitu memperhatikannya. Pasti sangat menyenangkan jika di perhatikan sedemikian rupa.
Seandainya saja, hubungan nya dan Lavina seperti hubungan Dika dan Kandil. Pasti ia akan-.
Alvan langsung tersadar dari halunya. Menggelengkan kepala dengan kuat untuk membuang semua pemikiran semu itu. Lalu memilih fokus pada jalanan.
Ia tidak boleh memikirkan hal yang nanti ujungnya akan membuatnya terluka.
***
"Dude."
Lavina memanggil Dude yang tengah duduk di depan bar. Dengan suara musik yang mengalun keras, dan aroma alkohol juga asap rokok yang terlalu menyengat. Ia bahkan nekat malam ini menghampiri tempat Dude biasa bersembunyi.
Benar saja, setelah ia ke apartemen dan tidak mendapati pria itu di sana. Ia memutuskan untuk mendatangi Club' milik salah satu sahabatnya Dude. Ia nekat kesana tanpa memikirkan resiko nya.
Dude hanya meliriknya sekilas, kemudian menghembuskan napas berat.
"Apa lagi?". Tanya Dude jengah.
"Ayo bicara sama aku." Kata Lavina dengan nada dingin.
Dude menghela napas lagi, mencoba menguasai perasaan nya yang sedang campur aduk.
"Gak ada yang perlu di bicarakan lagi antara kita, Lav." Jawab Dude lelah.
"Paling gak, kamu kasih aku penjelasan atas ucapan kamu waktu itu!". Nada Lavina meninggi dan bertahan di sampingnya.
"Penjelasan buat apa?. Sandiwara sialan kita?. Aku capek!. Kamu ngerti itu?!."
"Dude, kamu janji bakal-". Dude menyela dengan gelengan kepala. Membuat Lavina menggigit bibir bawahnya cemas.
"De, aku-".
Cklek!.
Lampu flash dari kamera belakang menghentikan ucapannya. Keduanya dengan kompak langsung menoleh, dan mendapati seorang pria berkacamata yang sedang mengambil gambar mereka.
Lavina langsung memicing matanya dengan tajam. Pria itu terlihat salah tingkah, lalu memilih berjalan mendekati keduanya.
"Lavina? Istrinya Alvan The Atlas ?". Kata Pria itu dengan senyuman jenaka.
Dude melirik pria itu, kemudian menghembuskan napas kasar. "Saya tadi melihat Mas Alvan lagi rekaman di studio, tapi istrinya malah bersama pri-".
Sret!.
Dude beranjak dari kursinya, menarik kerah pria itu dengan kuat. Membuat Lavina kaget dan langsung berusaha menarik Dude.
"Tutup mulut anda,. Sebelum saya patahin tuh lidah!". Kecam Dude marah.
Pria itu tidak terlihat takut, malah menyeringai jenaka. Melirik Lavina dengan penuh misteri. Lalu menunjukkan kameranya.
"Bagaimana jika Mas Alvan tau, jika istrinya main di belakangnya!". Ujar Pria berkaca mata tersebut. "Atau ini semua tersebar di media."
Lavina memicing matanya tajam, "apalagi sekarang The Atlas sedang persiapan Comeback". Ia kembali menelan ludah.
Perempuan itu memilih menarik tangan Dude dan menariknya pergi dari dalam ruang pengap dan berisik itu.
"Kita bicara tentang masalah kita!". Kata Lavina saat mereka tiba di Basement. "Aku mau jelasin semua nya, aku sama Alvan tidak-".
"Lav, kita akhiri saja semuanya."
"Dude, plis dengerin aku dulu." Dude menggeleng, pria itu menatap putus asa.
"Kita akan selalu meributkan ini nanti kedepan nya. Salah paham ini aja terus terjadi di kemudian hari." Jelas Dude putus asa. "Aku capek, Lav".
"Dude, aku tau ini Sulit buat kamu. Buat aku juga, tapi kita harus sabar setahun ini. Aku dan Alvan akan bercerai!. Dan -".
"Dan Papa kamu tetap tidak akan merestui kita. Aku tau itu, Lav. Papa kamu gak akan pernah merestui hubungan kita." Sela Dude putus asa.
Keduanya sama-sama terdiam, basement itu menjadi hening kembali.
"Aku gagal dapat proyek di Sulawesi". Kata Dude kemudian.
Lavina langsung menoleh cepat. "Aku dan perusahaan mengalami kerugian besar. Dan, waktu setahun gak akan cukup." Lanjut Dude.
Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar. Terlihat sangat putus asa. Lalu menatap Lavina dengan tidak berdaya.
"Aku gak punya lagi kepercayaan diri buat dapatin kamu, Lav." Kata Dude menjatuhkan air matanya. "rasanya aku gak sanggup lagi buat ngadepin semua tekanan itu." Lanjut Dude.
Hati Lavina terenyuh, akhirnya ia bisa mengerti dengan semua emosi Dude tempo hari padanya.
Ia melangkah maju dan memeluknya. Tapi, tiba-tiba seseorang menariknya mundur. Membuat ia kaget dan menoleh kebelakang.
"Al".
***
"Ikut aku."
Nada suara Alvan terdengar dingin. Sirat tatapan pria itu juga terlihat marah. Lavina memandang bingung. Lalu Alvan melirik pada Dude.
"Gue berharap, ini terakhir kalian berdua bertemu."
"Al!". Lavina terlihat terkejut dengan kalimat Alvan. Bahkan Dude juga terkejut. Menatap tidak percaya kini.
"Dude, jauhin istri gue!. Berhenti menemui atau memintanya untuk bertemu dengan Lo". Kata Alvan.
Ujung mata Alvan melirik ke arah lain, dan itu di tangkap jelas oleh Lavina dan Dude.
"Ayo pulang." Kata Alvan menarik tangan Lavina untuk pergi dari sana meninggalkan Dude yang terdiam memandangi kepergian keduanya.
Alvan membawanya menuju seorang pria yang tadi ia temui di dalam sana. Pria berkacamata yang mengambil gambarnya dan Dude.
"Mas Arya, saya masih meminta baik-baik. Tolong hapus foto-foto yang mas Ambil tadi. Dan tutup mulut dengan apa yang mas dengar ." Kata Alvan.
"Tentang istri anda yang menemui laki-laki lain di club." Ujar Arya terlalu berani.
Alvan menyunggingkan senyum gerahnya. Lalu menggaruk keningnya yang tidak sama sekali gatal. Ia maju selangkah.
"Anda tau siapa saya, dan saya bisa melakukan apa saja untuk membunuh karir Mas." Arya langsung tersengat. Menelan ludah dengan susah payah dan Alvan tersenyum puas melihat respon tersebut.
Setelah mengatakan itu, Alvan langsung mengajak Lavina ke mobilnya.
"Maaf". Kata Alvan merasa bersalah kini.
Lavina menoleh padanya, semua emosinya tiba-tiba saja lenyap hanya dengan satu kata itu.
"Aku gak maksud ngomong gitu ke kalian, tapi aku harap kamu ngerti Lav. Aku lakuin ini buat nama baik kalian berdua." Jelas Alvan. "Aku akan menelfon Dude. Kalian bisa bertemu di rumah." Lanjut Alvan lagi.
Lavina mengernyitkan dahi, memandang wajah samping Alvan dengan lekat. Ia kemudian memilih diam, tidak menanggapi apapun. Karena ia tidak tau harus bagaimana merespon. Di sisi lain, ia marah pada perlakukan dan ucapan Alvan tadi pada Dude. Tapi, saat mengetahui kebenaran ia menjadi merasa bersalah. Karena ia sudah ceroboh.
***
Dude : Maaf, Lavina. Aku akan tetap pada keputusan ku. Kita putus aja.
Lavina langsung melempar ponsel nya ke dinding kamar hingga hancur.
Ia tidak percaya jika Dude akan melakukan ini padanya. Memutuskan hubungan yang sudah mereka perjuangkan mati-matian. Padahal pria itu sudah berjanji untuk tidak akan menyerah pada ke adaan.
Ia bahkan tidak menuntut apapun pada Dude.
Tapi sepertinya Dude tidak mau mengerti.
Dan tetap dengan keras kepalanya. Dan akhirnya ia memilih untuk diam saja. Ia memberi waktu pada Dude. Sama seperti yang sudah-sudah. Ini bukan pertama atau dua kalinya Dude mengatakan hal tersebut.
Tapi, tetap saja hatinya hancur. Hatinya terluka.
"Lavina." Suara Alvan membuyarkan fikirannya. Ia menoleh ke samping. "Sudah sampai". Ucap Alvan.
Ia menoleh sekitar, dan tersadar ternyata mereka sudah sampai di rumah. Dirinya pun menghela napas berat, membuka seatbelt dann kemudian langsung keluar dari mobil di susul Alvan.
Mereka berjalan bersama masuk kedalam rumah. Alvan menyalakan lampu, ia memilih untuk langsung menuju ke kamar. Tapi, panggilan Alvan membuatnya berhenti di depan pintu.
"Lavina".
Ia menoleh sekilas. "Kamu bisa cerita apapun sama aku." Lanjut Alvan.
Ia terdiam sejenak, kemudian memilih untuk mengabaikan hal tersebut. Masuk kedalam kamarnya dan menangis disana. Ia sangat kecewa pada semuanya. Pada Dude, Kedua orang tuanya dan diri sendiri. Pada keadaan yang tidak pernah berpihak pada hubungannya dengan pria yang ia cintai. Malah, membuatnya menikah dengan pria yang tidak ia cintai. Membuatnya semakin rumit dan juga terluka.
***
Alvan menghempaskan tubuhnya di sofa panjang yang ada di ruang santai. Memejamkan kedua matanya, ia lelah sekali. Bahkan suaranya saja sudah mulai serak karena terlalu sering memanfaatkan nya.
Suasana rumah terasa sepi, tidak ada yang aneh untuknya. Itu sudah biasa ia rasakan, bahkan ia tidak pernah protes pada kesepian atau kesunyian yang selalu datang menghampirinya. Alvan membuka matanya kembali, menatap langit-langit rumahnya. Lalu sebuah helaan napas berat lolos dari mulutnya.
Brak!.
Suara benda jatuh mengagetkannya. Langsung membuatnya terdiam beku. Lalu beranjak bangun dari baringan nya.
Siapa yang menjatuhkan barang? Apa Lavina di rumah?.
Alvan langsung beranjak dari sofa, dan berjalan mengitari rumahnya mencari sumber suara tadi.
Dan ia menemukan Lavina di dapur. Entah sedang apa, saat ia lihat perempuan itu sedang berjongkok di depan kitchen table. Ia langsung menghampirinya.
"Lavina, kamu ngapain?." Tanya Alvan mendekat.
Tidak ada jawaban, ia melirik pada pecahan kaca di samping Lavina dan juga di tangan gadis itu. Fikiran buruk langsung menghantuinya, dengan cepat ia langsung meraih kaca di tangan wanita itu.
"Kamu mau ngapain?!." Sentak Alvan dengan nada tinggi.
Lavina menelan ludahnya, ia tidak menjawab. Terlihat lemas dan lunglai. Matanya sedikit kembung dan merah. Wajahnya sembab, membuatnya terenyuh sendiri.
"Aku capek, Al." Suara itu terdengar lirih.
Alvan memandang Lavina dengan iba. Air mata wanita itu jatuh di pipi. Menatapnya dengan lelah dan putus asa. "Aku capek hidup kayak gini."
Ia diam, menunduk untuk membersihkan pecahan kaca. Memungut semuanya, tidak memperdulikan Lavina atau pecahan kaca itu menggores tangan sehingga menimbulkan luka.
Tanpa memperdulikan Lavina, Alvan mengambil sapu dan juga sorokkan. Kemudian membuang pecahan itu ke dalam tong sampah.
Setelah itu baru ia memandang Lavina. Ia berjongkok di depan gadis itu. Mengusap air mata Lavina yang kini menatapnya.
"Nangis aja, Gapapa." Ujar Alvan pada Lavina. "Gak ada yang larang kamu nangis." Dengan perlahan bibir gadis itu mulai menekuk kebawah.
"Menangis lah sepuas kamu, sampai kamu benar-benar lelah. Sampai air mata kamu habis. Menjerit lah sampai puas. Lepasin semua rasa sakit kamu. Lampiasin semua kekecewaan dan juga beban kamu sampai semua terasa ringan." Lanjutnya.
"Setelah itu, coba lah untuk bangun kembali. Dan menjalani hari esok lebih baik lagi."
Dan dengan perlahan mulai terdengar isakkan pilu. Lalu di susul dengan tangisan hebat. Ia mengulum senyum. Lalu mengambil duduk di samping Lavina, menarik gadis itu untuk bersandar di bahunya. Ia diam, membiarkan Lavina menangis, meraung, mengeluarkan semua kekecewaannya.
Sampai kemudian gadis itu meringkuk memeluknya. Ia hanya bisa diam menepuk punggung Lavina untuk memberi semangat.
Entah berapa lama Lavina menangis sampai ia tidak lagi mendengar suara Lavina. Saat ia melirik kebawah, dalam dadanya. Gadis itu sudah tertidur. Napasnya mulai teratur.
Alvan menyibakkan rambut yang sedikit menutupi wajah istrinya. Lalu memandangi nya dengan lembut. Bibirnya langsung mengulum senyum kecil.
Setelah puas, ia langsung bergerak dengan pelan. Menyelipkan satu tangan di bawah lutut Lavina dan tangan lain menyelip di punggung istrinya. Dengan perlahan agar tidak membangunkan nya ia membawa dalam gendongan, lalu berjalan keluar dari dapur menuju ke kamar Lavina.
Dengan hati-hati dan perlahan, Ia membaringkan Lavina di atas kasur. Lalu menarik selimut untuk gadis itu. Sebelum ia pergi, Alvan menyempatkan diri untuk menyibakkan lagi rambut yang menutupi dahi Lavina. Ia tersenyum lagi, mengusap pipi istrinya yang basah. Kemudian, entah keberanian dari mana ia sedikit lancang menunduk dan mengecup kening itu dengan sangat lembut.
Hanya beberapa detik, karena selanjutnya ia menarik diri kembali. Ia tersenyum dan menggeleng kepala pelan. Merasa telah kurang ajar.
Alvan pun kembali menegakkan badannya, namun tiba-tiba saja kedua tangan Lavina melingkar di lehernya menahannya untuk pergi.
Ia tersentak ketika kedua mata Lavina terbuka dan langsung menghujam nya.
"Stay with me."