AXEL berhasil menyeret tubuhnya keluar dari kamar mandi Celia setelah perutnya benar-benar kosong. Dia merangkak dengan bantuan tembok menuju dapur, membuat teh dengan campuran madu yang ia beli kemarin, lalu meminumnya selagi hangat untuk meredakan rasa tidak nyaman di tenggorokan dan perutnya.
Setelah merasa baikan, dia kembali ke ruang tamu, mengemasi semua botol-botol anggur dan menyembunyikannya di kamar. Axel tidak ingin kecolongan dua kali dan mendapati apartemennya dipakai untuk tempat mabuk-mabukan lagi oleh perempuan tidak tahu diri yang sedang tertidur pulas di kamarnya itu.
Axel bahkan mengecek dapurnya dan memastikan tempat itu steril dari alkohol-alkohol yang pernah teman-temannya bawa ke sana.
"Berengsek!" makinya, begitu ia ingat apa yang terjadi dengannya beberapa saat lalu, kemudian ia kembali meminum sisa teh madu yang tersisa.
"Bego banget gue, ngapain gue balas ciumannya tadi?" tanyanya, sambil mengumpati diri sendiri.
Ia benar-benar tidak bisa memahami dirinya sendiri. Axel memang bukan pria suci yang tidak pernah berciuman sebelum ini, tapi dia juga bukan laki-laki yang mudah menyodorkan bibir untuk mencium wanita mana pun yang lewat di hadapannya.
Dia memiliki pengendalian diri yang cukup tinggi, tapi ke mana perginya semua pengendalian diri itu ketika ia berhadapan dengan Celia? Axel merasa kehilangan jati dirinya setiap kali berada di depan perempuan itu.
Axel berdecak kesal. Dia bersumpah tidak akan mengulangi kejadian 'kampret' itu untuk kedua kalinya. Apalagi, mereka tinggal seatap, akan sangat awkward kalau mereka melakukannya dalam keadaan sadar sama sadar--oke, anggap saja yang tadi Axel sedang khilaf, tidak sadar, ikutan mabuk, atau dia sedang kehilangan sebagian otak cerdasnya.
"Jangan sampai terulangi lagi," gumamnya, dia menatap gelas teh di depannya yang sudah kandas isinya. "Jangan sampai dia ingat apa yang udah terjadi," lanjutnya, dengan helaan napas yang terasa begitu pasrah.
***
Celia membuka matanya di malam hari. Perutnya terasa melilit, kepalanya terasa pusing, dan rasanya benar-benar tidak enak sekali.
Perempuan itu mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi padanya beberapa jam lalu. Ia ingat sedang menjelajahi dapur lalu menemukan beberapa botol anggur yang terlihat begitu lama dan menggoda, lalu ia membuka salah satu botol dan meminumnya.
Rasanya agak asing, tapi manis. Celia menyukainya dan ia terus meminumnya sampai habis setengah botol saat ia melihat Axel pulang. Laki-laki itu bertanya apakah dia mabuk, lalu Celia tidak begitu ingat apa yang terjadi padanya.
Dia benar-benar semabuk itu.
Celia mengerang, dia memegangi keningnya yang terasa pusing saat berjalan keluar kamar. Ia menyalakan lampu ruang tamu dan tidak mendapati Axel berada di sana, perutnya sakit dan ia berharap bukan karena penyakit magnya yang kambuh.
Dia langsung menuju dapur, menyalakan lampu, sebelum mencari sesuatu yang bisa ia makan untuk meredakan rasa sakit di perutnya, tapi tidak apa-apa. Kepalanya bahkan terasa makin pusing dan perutnya makin melilit.
"Axel," rengeknya, berharap laki-laki itu muncul di hadapannya, tapi mustahil.
Dengan susah payah, dia berjalan menuju pintu kamar laki-laki itu. Menggedor-gedor pintunya berulang kali, tapi tak ada tanggapan apa pun.
"Dia ada di apartemen, kan?" tanyanya ragu.
Ditatapnya jam dinding yang ada di ruang tamu. Pukul sepuluh malam. Axel benar-benar berada di apartemen, kan?
Ketakutannya membuat Celia makin mengeraskan pukulan tangannya ke pintu kamar sampai penghuninya terusik dan kembali dari alam mimpi. Wajah mengantuk Axel dengan tatapan geramnya membuat Celia takut, tapi perutnya sakit, kepalanya pusing. Dia butuh makanan dan hanya Axel yang bisa membuatkannya.
"Kenapa?" tanya Axel yang kini menguap memandangi Celia. "Hang over lo?"
Celia menggeleng, lalu mengangguk. "Perut gue sakit banget, Xel. Tolongin!"
Axel menyipitkan mata, memandangi Celia dengan wajah serius. "Laper?"
Celia mengangguk, lalu menggeleng. "Nggak tahu."
Axel menghela napas kasar, dia pun keluar kamar dan menutupnya rapat-rapat sebelum berjalan menuju dapur. Niatnya menyuruh Celia membuat mie instan saja jika lapar, tapi penyakit mag ditambah efek hang over jelas bukan perkara mudah jika ditambah mie instan yang terasa panas di perut.
Jadilah, malam-malam begini dia harus repot membuatkan Celia sesuatu yang bisa meredakan rasa sakitnya itu. Dibuatkannya teh madu untuk Celia agar sedikit bisa mengurangi rasa hang over yang ia derita, sebelum membuatkannya bubur instan. Setidaknya, makanan lunak mudah dicerna seperti bubur tidak begitu panas di perut dan juga baik untuk penyakit mag Celia yang tidak jelas kapan kambuhnya.
"Xel, lo marah?" tanya Celia, sewaktu Axel memberikannya segelas teh madu.
"Enggak," balasnya datar. Dia memberikan bubur yang baru jadi itu pada Celia, sebelum membuat kopi untuk dirinya sendiri.
"Serius?"
Axel mengangguk. "Jangan lupa dimakan." Axel menyesap kopi panasnya secara perlahan-lahan. "Lo nggak inget apa-apa?" tanyanya, sambil menatap Celia serius.
"Inget apa?" Celia memiringkan kepala, menatap Axel heran.
Axel hanya menggeleng dan menyendokkan sesuap bubur, lalu menyuapi Celia yang tak kunjung menyentuh bubur buatannya sejak tadi.
"Cepetan makan, gue mau balik tidur." Axel kembali meminum kopinya dan hal itu sukses membuat Celia mengernyitkan dahi.
"Emang lo masih bisa ngantuk kalau minum kopi kayak gitu?"
Axel tersedak, lalu menatap kopinya dan Celia secara bergantian. Tanpa sadar dia membuat kopi untuk membuatnya tetap terjaga. Lebih-lebih, kalau dia sampai harus berperang dengan Celia akibat ciuman yang tadi mereka lakukan.
Namun, kenyataannya, Celia tidak mengingat apa-apa tentang kejadian sebelumnya. Dia yang malah membuat tindakan konyol dengan meminum kopi, ketika ia ingin tidur lagi.
Axel menghela napas panjang dan mulai menyugestikan diri kalau dia tidak akan apa-apa hanya karena segelas kopi instan.
"Nggak apa-apa, gue nggak terlalu musuhan sama kopi."
Celia tersenyum manis. Dia pun mulai menyendokkan bubur dan mulai makan dalam diam. Walau sebenarnya dia tidak terlalu suka bubur, tapi dia tahu Axel membuatkan bubur itu untuk meredakan rasa sakit di perutnya.
"Terima kasih," gumamnya, setelah menelan bubur yang beberapa saat lalu masuk ke mulutnya, "lo perhatian banget sama gue."
Axel mengangkat bahunya ringan. "Gue cuma nggak mau ada yang mati di apartemen gue. Ntar gue dikira penjahat beneran."
"Emang ada, ya, yang bilang lo mirip penjahat?" Pertanyaan itu membuat Axel mengangguk. "Siapa?"
"Namanya Kayla, dia selalu bilang pekerjaan sampingan gue aslinya jadi pembunuh bayaran."
"Anjir!" Celia sontak tertawa keras. "Cowok baik banget kayak lo, masa dibilang pembunuh bayaran, sih?"
Axel tersenyum tipis. "Nggak masalah buat gue. Lucu juga kalau ada yang bilang gue mirip pembunuh bayaran, kan?"
Celia melirik Axel yang sedang tersenyum itu dengan wajah curiga.
Kayla ... apakah dia kekasih Axel selama ini? Sampai perempuan itu memberikan julukan seaneh itu pada pria sebaik Axel?
Apa ... itu julukan sebagai bentuk panggilan kasih sayangnya pada Axel?
Kenapa Celia tiba-tiba merasa sangat tidak menyukai perempuan yang bahkan belum pernah ia temui itu, ya?
____
Kalau kalian merasa ada yang beda. Kalian baca ulang dari bab 1, ya? Karena cerita ini sedikit aku ubah alurnya. Terima kasih. ??