08

1095 Words
BARU berangkat kerja sehari, Axel harus libur lagi. Butuh waktu cukup lama sampai ia bisa menempati salah satu posisi penting di perusahaan itu, kecuali ia mau menggunakan kekuasaannya dan mengatakan bahwa dia adalah CEO dari AO Corporation pada semua orang. Bagian HRD jelas langsung mencurigai siapa Axel saat ia mengeluarkan Husni dan simpanannya dengan paksa dari perusahaan. Dia juga menunjuk Abdi sebagai CEO baru Starlight, jelas bagian HRD akan bertanya-tanya tentang siapa dirinya, apabila dia memiliki kekuasaan sebesar itu. Namun, tetap saja, kalau bisa jangan sampai banyak orang yang tahu tentang status aslinya di perusahaan itu. Karena dia tidak ingin dicap sebagai anak emas begitu saja, walau kemungkinan itu memang ada, tapi ia tidak mungkin menyebutkan statusnya sebagai CEO sekaligus pewaris sah AOC di tempat ia akan bekerja, kan? Mereka pasti akan sangat menghormatinya, bahkan mungkin memperlakukannya layaknya seorang pangeran yang tiba-tiba terdampar di wilayah rakyatnya. Axel tidak menyukai hal-hal seperti itu, jadi ia pun pasrah dan memilih mengikuti prosedur. Aroma harum tiba-tiba menyeruak ke indra penciumannya. Celia muncul dengan senyuman manis tak lupa pakaiannya yang menurut Axel seksi, walau bagi pria lain mungkin biasa saja. Kaus kebesaran berwarna cokelat tua yang mulai pudar dan celana hotpans abu-abu sepaha. Benar-benar seksi sekali, pikirnya lalu menarik napasnya panjang, Aromanya juga wangi. Axel berdecak kesal sambil mengumpati isi pikirannya sendiri. Celia mengambil tempat duduk di sampingnya dan menatapnya dengan senyuman penuh makna. "Lo nggak kerja lagi, Xel?" tanyanya terdengar riang, bahkan terlihat jelas kalau dia senang Axel tidak mau keluar apartemen hari ini. "Hari senin mungkin baru mulai kerja lagi," balas Axel yang kini berdiri, beralih ke sofa yang berada di seberang dan mulai rebahan. Tindakannya membuat Celia menatapnya terus. "Lo pasti sibuk banget kalau udah kerja kayak gitu, ya, Xel?" Axel hanya menggumam, sebelum mata yang sudah tertutup rapat itu kembali terbuka dan menatap tajam Celia. "Lo sendiri gimana? Nggak mungkin lo mau di sini selamanya dan nggak mau kerja terus, kan?" Celia tersedak ludahnya sendiri. Dia memalingkan muka, tampak sekali kalau ia sedang gelisah. "I-itu gue——" "Kenapa? Kalau lo cuma mau numpang tinggal di sini, gue nggak masalah, tapi lo harus tetap berusaha buat cari kerja dan cari uang buat hidup lo sendiri. Bukan berarti gue matre atau pelit, gue cuma nggak mau bikin lo ketergantungan sama gue selamanya. Lo tahu, kan, gue nggak akan menetap di sini selamanya?" Celia menatap Axel serius. "Lo bakal pergi dari sini?" Axel mengangguk. "Tentu saja, gue ke sini cuma karena tugas, gue nggak akan berada di sini selamanya. Itu berarti, masa tinggal lo di sini pun terbatas. Lo harus cari kerja, cari uang, mau nggak mau, suka atau nggak suka, lo harus ngelakuinnya." Celia terdiam, dia memandangi jarum jam pendek yang menunjukkan angka delapan. "Gue nggak punya pengalaman," lirihnya. "Pengalaman bisa dicari sambil bekerja. Ada banyak perusahaan yang mau nerima pemula, walau mungkin posisinya tidak terlalu bagus. Tidak masalah, kan? Semuanya berawal dari bawah dan perlahan naik ke atas." "Iya, sih." Celia terlihat murung. "Atau jangan-jangan lo nggak punya ijazah karena terlalu bodoh, bahkan lo belum sampai lulus kuliah?" Pertanyaan dengan nada menghina itu membuat Celia mendelik ke arah Axel. "Jangan menghina, ya. Walaupun gue nggak terlalu bisa masak dan bersih-bersih, tapi gue salah satu lulusan kampus terbaik!" "Oh ...." "Gue serius, kalau lo mau lihat, gue bakal kasih lihat ijazah gue ke lo!" sewotnya, masih tidak terima. "Nggak perlu. Kalau lo emang salah satu lulusan terbaik kampus, cari kerja, buktiin kalau apa yang lo omongin emang benar." Celia terdiam. Apa yang Axel katakan tidak salah, semuanya benar. Daripada hanya banyak bicara, lebih baik dia menunjukkan kemampuannya. Walaupun, di dalam hatinya, ada sedikit rasa takut untuk masuk dunia kerja. Teman yang iseng, bos yang galak, gaji sedikit, dan ia yang tidak bisa mengikuti pekerjaan yang dibebankan padanya. Celia menghela napas kasar. "Oke, gue bakal mulai nyari kerja besok." Axel tersenyum tipis, dia memejamkan matanya dan berusaha memasuki mimpi. Dia tidak bisa mengatakan menyesal karena telah membawa Celia kemari, apalagi dia sudah berjanji. Yang ia bisa hanyalah membuat perempuan itu mengerti. Bergantung pada orang lain secara terus-menerus memang mudah, tapi mau sampai kapan dia mau seperti itu? Celia perlu berusaha, dia perlu berjuang untuk hidupnya sendiri, seperti apa yang diinginkan keluarga angkatnya dari sosoknya. Walau Axel tidak mengenal mereka, tapi ia bisa memahami maksudnya, walau cara mereka agak sedikit kasar dengan cara mengusir Celia dari rumah. *** Pagi-pagi sekali, dia disambut dengan dandanan Celia yang sudah rapi dengan blouse tiga per empat lengan berwarna krem dan celana kain berwarna hitam. Aroma wangi dari parfumnya langsung menyeruak memasuki indra penciuman saat Axel mendekatinya di dapur. "Dokumennya udah lengkap?" tanya Axel yang langsung mengernyitkan dahi saat melihat Celia memakai make up tebal, terutama di area matanya. Apa dia bergadang untuk menyiapkan semua dokumen yang sedang ia bawa? "Udah, kok." "Mau gue cekin?" tawarnya. Celia memalingkan muka. "Kagak perlu, gue nggak bego-bego amat tahu!" Axel mengedikkan bahu. "Uang lo masih, kan?" tanyanya sembari mengambil nasi dan lauk yang tadi ia buat untuk sarapan, sebelum ia mandi dan membersihkan tubuhnya. "Masih utuh, kok." "Jangan lupa dibawa buat beli makan siang, kita nggak tahu lo bakal langsung dapat kerjaan atau enggak. Kalau lo terpaksa harus makan di luar, lo harus beli makanan." Celia mengangguk, dia tidak sebodoh itu untuk diperingati macam-macam oleh pria seperti Axel, kan? "Lo cerewet banget, ya?" "Ah ... cuma kadang-kadang aja," balasnya santai, lalu duduk di kursi yang berada di samping Celia. "Kalau lo mau gue jadi diem, gue bakal diem." "Iya, lo mending diam aja, deh. Lama-lama lo kedengeran kayak bibi angkat gue, cerewet banget sampai apa-apa dikomentarin." Axel tersenyum tipis, dia mengingat bibi Sandra dan ia pun bisa memahami perasaan Celia. "Oke." Keduanya makan dalam hening. Axel benar-benar diam, dia sama sekali tak berbicara dan hal itu malah membuat Celia merasa kehilangan dibuatnya. Padahal baru beberapa menit! "Xel!" "Hm." "Lo kalau diem kenapa malah serem, ya?" tanya Celia, menatap Axel yang sedang tersenyum tipis. "Gue banyak omong dibilang cerewet, gue diem dibilang serem. Sebenernya, lo mau gue jadi kayak gimana?" tanyanya ringan. "Yang biasa-biasa aja, deh. Lo lebih serem kalau diem gitu, ntar tiba-tiba lo ambil pisau terus nusuk gue dari belakang gimana?" Axel mendengkus. "Gue bukan pembunuh, kalau emang niat nusuk, bukan pakai pisau, tapi pasti pakai yang lain." "Apaan itu?" Celia memiringkan kepala. Axel mendelik ke arahnya. Dia sangat yakin, Celia tidak sepolos itu, lalu kenapa perempuan itu masih bertanya juga? Axel mendesah kasar, lalu menggeleng pelan. "Lupain aja." "Dih! Nggak seru banget lo!" Axel hanya menanggapi dengan gumaman samar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD