KALAU ada yang bilang, cari kerja itu gampang. Celia pasti sudah melemparkan sepatunya ke mulut orang itu sekarang.
Bagaimana tidak? Kakinya sudah lelah berjalan, make up-nya sudah tak keruan, bajunya sudah berantakan. Astaga! Berapa banyak tempat lagi yang perlu ia datangi baru dia bisa diterima bekerja?
Padahal Celia tidak pilih-pilih pekerjaan. Semua tempat yang sekiranya memerlukan pegawai, dia masuki untuk bertanya apakah ada lowongan atau tidak. Namun, takdir benar-benar tidak berpihak padanya. Tak ada satu pun yang mau menerimanya.
Celia menghela napas kasar. Dia memesan taksi untuk kembali ke apartemen Axel, daripada melanjutkan mencari pekerjaan yang tak kunjung ia temukan.
Mungkin, dia harus mencari lewat internet dulu soal lowongan kerja. Daftar online atau apalah, yang penting, jangan jalan-jalan tidak jelas begini. Lalu ia berdecak kesal saat mengingat dia tidak punya alat komunikasi sama sekali.
Bagaimana dia bisa mencari pekerjaan lewat online kalau ponsel saja tidak punya? Astaga!
Axel terkejut melihat Celia kembali dengan rupa mengerikan. Bibirnya tersenyum miring saat mengatakan, "Dapat kerjaannya?"
Celia mendelik. "Nggak!" Celia melanjutkan langkah menuju kamarnya, masuk ke dalam tak lupa sambil membanting pintu kamar dengan kasar.
Axel memiringkan kepalanya. "Memangnya sesulit itu mencari kerja?" tanyanya pada dirinya sendiri. Ia kemudian berjalan menuju ruang tamu, menyalakan televisi, dan selonjoran di sofa.
Celia keluar dari kamar dan langsung menuju dapur. Axel tahu jelas perempuan itu sedang lapar, dia juga sudah memasak sesuatu sebelum bersantai sambil nonton televisi, walau dalam hati, dia agak berharap lebih pada Celia kali ini.
Benar, dia berharap Celia pulang dengan wajah bahagia, karena akhirnya dia diterima bekerja. Bukannya Axel keberatan menghidupi perempuan itu lebih lama, dia hanya ingin melihat apakah Celia bisa serius atau tidak dengan kata-katanya.
"Xel!" Celia mendekatinya sembari membawa piring berisi nasi dan lauk yang tadi ia buat. Perempuan itu duduk di sofa yang berseberangan dengannya, sembari melahap makan siangnya.
"Kenapa?" tanya Axel yang kini bangun dari sofa, duduk dan menatap Celia lurus-lurus.
Celia menelan makanannya lebih dulu sebelum membalas tatapan laki-laki itu. "Gue boleh nggak ... i-itu ...."
"Itu apa?" Axel mengernyitkan dahi, otaknya sedang tidak waras, karena kini mulai membayangkan sesuatu yang tidak-tidak, saat Celia terlihat ragu-ragu di bawah pengawasan matanya.
"I-itu ...." Celia menatap Axel mantap. "Gue boleh pinjem ponsel atau laptop lo, nggak?"
Axel mengernyitkan dahi. "Emang ponsel lo sendiri kenapa?"
"Gue kan nggak punya ponsel!" balas Celia gemas.
Axel tersedak ludahnya sendiri. Dia pun ingat, sejak bersamanya, Celia belum pernah memainkan sebuah ponsel sama sekali.
"Emang mau lo buat apa?" tanyanya hati-hati.
"Gue mau cari lowongan kerja di internet. Gue cape jalan kaki dari satu tempat ke tempat lain, padahal gue udah masukin semua tempat cuma buat nanya ada lowongan atau kagak, tapi nggak ada yang buka masa!" adunya sambil menghela napas kasar. "Sumpah, ya, kalau ada yang bilang cari kerja itu gampang, gue bakal lemparin sendal ke mulut itu orang!"
Axel mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Dia tidak pernah mencari kerja, dia langsung magang di perusahaan keluarga sampai ia lulus dan benar-benar bekerja di sana. Axel tidak begitu tahu bagaimana kesulitan orang lain dalam mencari pekerjaan, karena dia belum pernah merasakan hal seperti itu.
"Oh, ya, di tempat kerja lo lagi buka lowongan, nggak? Kantor apa, sih, kalau boleh tahu?" Celia menatapnya penuh harap, tapi Axel hanya geleng kepala meresponnya.
"Enggak lagi buka dan gue nggak mau ngasih tahu."
"Pelit lo!" Celia cemberut.
Axel tersenyum tipis, dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya, lalu ia berikan pada Celia. "Kodenya 923253."
"Hah?!" Celia menerima ponsel itu dengan wajah tidak mengerti, baru ketika tampilan layar kunci terpampang di depan matanya, dia menatap Axel sekali lagi. "Berapa tadi kodenya?"
"923253."
Celia mencoba mengikuti perkataan cepat itu dan berhasil. Dia bisa membuka kunci di ponsel Axel.
"Makan aja dulu, searching-nya bisa nanti kalau abis makan," peringat Axel saat melihat Celia hendak mengotak-atik ponselnya.
Celia mengangguk, dia pun meletakkan ponsel Axel di atas meja dan melanjutkan acara makannya. Axel benar, mencari lowongan kerja bisa belakangan, tapi makan adalah hal utama, karena penyakitnya yang cukup membahayakan.
***
Axel tidak kelihatan kehilangan sewaktu Celia meminjam ponselnya. Laki-laki itu tampak santai sekali, padahal semua sosmednya kini berbunyi dan mengoda Celia untuk mengintip isinya.
"Kalau lo ngelamar kerja, pakai aja nomor telepon gue buat ngisi data," saran Axel tanpa menatapnya.
"Lo yakin nggak apa-apa?" tanya Celia ragu.
Axel mengangguk. "Daripada ntar perusahaannya kebingungan nyari lo dan malah nggak jadi nerima lo kerja, kan? Lagipula, zaman kayak gini nggak punya ponsel itu hampir mustahil. Beberapa perusahaan juga butuh karyawan yang up to date, bukan karyawan yang malah ketinggalan informasi."
Celia mendesah kasar. Kata-kata Axel memang benar, jika ditanya tentang kabar terbaru yang ramai di dunia, Celia pasti langsung angkat tangan karena tidak tahu apa-apa.
Axel menoleh, melihat Celia yang berubah murung membuatnya mengernyitkan dahi. "Lo kenapa?"
"Gue jadi pesimis mau lamar kerja di perusahaan, Xel." Celia mendesah sekali lagi, wajahnya benar-benar masam saat ini. Dia meletakkan ponsel Axel kembali ke atas meja dan dia berniat pergi dari sana.
Axel berkata, "Lo belum apa-apa udah nyerah aja. Usaha dulu, hasilnya belakangan. Lo mau kerja karena apa, sih, sebenernya?"
"Biar lo mau ngakuin gue, kalau gue bisa kerja dan nggak cuma bisa numpang aja," lirih Celia.
Axel mengernyitkan dahinya. Lalu, dia teringat akan cerita Celia yang memasuki semua tempat yang sekiranya memerlukan pegawai. Astaga, jangan katakan padanya, kalau Celia bahkan memasuki rumah makan untuk melamar pekerjaan di sana?
Axel mendesah kasar, dia menatap Celia lurus-lurus saat mengatakan, "Lo dulu kuliah di jurusan apa?"
"PR." Celia terlihat murung saat mengatakannya.
"Kenapa murung gitu?" tanya Axel tak paham.
"Gimana nggak murung kalau ijazah gue itu nggak akan guna buat lamar kerja. Gue kudet, Xel! Gue nggak tahu apa-apa!" balasan dengan nada kesal itu membuat Axel menatap Celia tajam.
"Lo ngomong gitu kayak nggak punya sumber informasi apa-apa aja."
"Kan emang bener? Gue punya apa buat nyari informasi, beli kuota doang kalau nggak punya ponselnya emang bisa apa?"
Axel menunjuk ponselnya dengan dagunya. "Itu, ponsel gue ada, kan? Pakai aja dulu, sampai lo bisa beli baru."
"Terus lo sendiri gimana? Lo mau beli ponsel baru lagi gitu?"
Axel mendengkus. "Ponsel gue nggak terlalu berguna, setidaknya sampai hari senin. Toh lo sama gue tinggal seatap, kalau ada apa-apa, lo bisa teriak manggil nama gue, kan?"
Celia menelan ludah susah payah, lalu dengan ragu ia bertanya, "Kalau cewek lo telepon gue harus gimana?"
"Kalau ngejek jangan keterlaluan." Axel mendengkus keras. "Kalau gue punya cewek, nggak mungkin gue bawa lo balik ke tempat gue dan bikin dia cemburu setengah mati, kan?"
Entah kenapa Celia bisa tersenyum lega setelah mendengarnya. Jadi, Kayla yang kemarin itu bukan pacar Axel? Atau mungkin ... masih gebetannya gitu?
Axel menatap Celia yang tiba-tiba tersenyum senang. "Jangan terlalu senang, lo sendiri sadar kalau nyari kerja nggak gampang."
Celia cemberut. "Gue janji bakal nemuin pekerjaan dalam waktu dekat kok. Jadi, lo nggak perlu khawatir gitu bakal ngurusin gue terus sampai gue punya suami."
Axel mengangkat bahunya tak peduli. Dia hanya diam sambil menatap televisi. Ponselnya untuk sementara tidak terlalu penting, karena AOC diambil alih oleh ayahnya. Dia tidak mungkin dibebankan pekerjaan dari AOC ketika dia dideportasi ke perusahaan lini, kan?
Dan juga ... mungkin, yang paling sering merecokinya adalah nenek dan bibinya. Hanya mereka berdua yang ingin melihat Axel segera menikah, padahal usia Axel masih muda.
Axel mendesah kasar. Semoga ... Celia tidak berhubungan dengan mereka ketika sedang membawa ponselnya.
_____
Maaf, kalau alur awalnya agak boring :'(