Sayup-sayup terdengar suara musik dari dalam bangunan komplek berjajar di sekitar. Fajar membawa mobilnya menuju ke area parkiran. Ketika Fajar turun dari dalam mobil, sosok pria berparas tampan tersebut mulai menjadi pusat perhatian di komplek. Beberapa dari pegawai komplek sudah mengenali Fajar bahwa Fajar merupakan pria peliharaan Nuril, begitulah mereka menyebut Fajar. Tidak peduli status Fajar saat ini sudah sah menjadi suami Nuril.
Mulai terdengar suara kasak-kusuk di belakang punggung Fajar begitu Fajar keluar dari dalam mobil. Mereka yang membicarakannya adalah para gadis yang kini berdiri di luar komplek.
“Siapa itu?” ucap salah satu dari wanita yang berdiri di sana.
“Tampan sekali,” timpal wanita berbaju biru, menatap sosok Fajar yang terlihat sempurna dengan penuh rasa kagum.
"Pelanggan baru?” tanya gadis berbaju kuning cerah dengan kerah renda merah.
“Melihat dari penampilannya yang rapi sepertinya dia berduit,” sahut sosok gadis dengan baju merah.
Fajar membuka pintu samping mobil di mana Rini masih duduk sekarang, karena sisi bawah rok Rini agak sempit dia terpaksa memegangi bahu Fajar ketika turun ke bawah. Karena itu adalah pertama kalinya, Rini merasa takut dan gugup. Setelah turun dari dalam mobil tiba-tiba Rini memegangi erat-erat lengan kanan Fajar seraya mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling dengan tatapan panik. Karena itu, Fajar sampai kesulitan menutup pintu mobilnya kembali. Fajar menatap lengan kanannya yang kini berada dalam genggaman tangan Rini. Dan kebetulan tatapan mereka berdua bertemu. Fajar tidak berjalan ke mana-mana, sejak tadi dia hanya berdiri di samping mobilnya.
“Kamu takut?” tanyanya seraya mencermati kedua mata Rini.
Rini menelan ludahnya, spontan dia langsung melepaskan lengan Fajar dari genggaman tangannya.
“Ti-tidak!” sahutnya gugup, ekspresi wajah Rini terlihat serba salah. Dengan cepat Rini memutar badan dan langsung berjalan menuju ke dalam.
Fajar tidak bisa menahan senyum pada bibirnya, entah kenapa, dia tidak tahu Rini yang tadi terlihat sangat manis sekali. Fajar mengekornya masuk ke dalam. Di sana Nuril sudah menunggu kedatangan mereka.
Begitu melihat Rini, Nuril segera berkata, “ikut aku ke dalam!” Nuril mengedikkan dagunya. Nuril juga melihat Fajar ikut serta masuk ke dalam. “Ngapain kamu?” hardiknya pada Fajar.
“Aku datang ke sini karena kamu yang minta tadi, kan?” ujar Fajar, kepala Fajar sibuk melongok ke dalam kafe yang kini penuh dengan lautan manusia di dalam sana.
Nuril tertawa dengan tatapan mata tidak percaya, dia berkacak pinggang tepat di depan Fajar. Dengan sengaja Nuril menghalangi ke mana arah mata Fajar memandang.
“Kenapa? Matamu melotot melihat Rini mengubah penampilannya?” Nuril sekali lagi tertawa penuh kemenangan.
“Nur, kamu yakin dia bisa melayani tamu? Kamu nggak lihat dia gemetaran?” Nada suara Fajar terdengar cemas. Kepala Fajar masih sibuk mencari dari bawah lengan Nuril lantaran Nuril tidak bersedia menyingkir untuk memberi jalan pada Fajar.
“Terus?” Tanya Nuril dengan santai.
“Kalau dia ketakutan, histeris, pingsan, kena serangan jantung, atau ngompol di celana, bukannya nanti Rini malah mempermalukanmu di sini?” bujuk Fajar.
“Kamu pikir dia kucing jalanan! Aku melihat Rini memiliki bakat untuk melayani tamu-tamu di sini, sudah kamu balik saja pulang! Urus pasien kamu!” usirnya sambil mengibaskan kipasnya.
“Nur, aku libur, ini hari Minggu. Pelayan kafe kamu kayaknya kurang? Aku mau gabung, biar hutang Ibu, Bapakku lunas, aku bersedia ganti baju pakai baju pelayan, ya?” tawarnya, mata Fajar masih sibuk mencuri pandang ke dalam sana, dia melihat Rini berdiri dengan canggung di antara para wanita cantik yang sudah terbiasa menjadi wanita panggilan.
“Hahahaha! Ingat kamu itu dokter! Mana mungkin seorang Dokter Fajar menjadi pelayan kafe di komplek kotor?” Nuril menepuk kedua bahu Fajar lalu mendorongnya pergi keluar dari pintu kafenya.
“Nur, please! Nur! Aku bisa! Ngepel juga nggak apa-apa! Mi! Mami!” Fajar menolak pergi, dia tetap ingin menerobos masuk ke dalam.
“Ngepel matamu buta? Pelangganku bisa kepeleset kalau kamu ngepel di dalam! Sudah sana pulang! Kalian jaga pintu, jangan sampai dia masuk ke dalam!” ujar Nuril pada dua orang berbadan besar dan kekar yang dia tugaskan untuk menjaga pintu.
“Kalian nggak tahu aku suaminya? Heh? Biarkan aku masuk! Nur! Nuril! Aku suamimu!” teriak Fajar.
Nuril tidak mau menggubris Fajar.
“Pakai status suamiku kalau kamu lagi kepepet! Kalau di luaran sana apa masih mau pakai status suami!” omel Nuril sambil terus berjalan, di luar sana penjaga yang diperintah Nuril tetap menghalangi Fajar agar tidak menerobos pintu.
Fajar tidak tahu apa yang harus dia lakukan, hingga akhirnya dengan perasaan putus asa Fajar mengambil langkah mundur dan bersandar di samping mobilnya. Fajar mengeluarkan kotak rokok dari dalam saku bajunya dan mulai menyulutnya.
Satu batang, dua batang, sampai satu kotak dia habiskan. Dari posisi bersandar di samping badan mobil, kemudian duduk di dalam mobil, bersandar di kursi dalam mobil, hingga meletakkan keningnya di atas setir kemudi sambil memejamkan matanya. Fajar mengulanginya beberapa kali, lalu membeli rokok di toko terdekat dan berjalan kembali ke area parkiran. Di sana dia melihat Rini sudah berdiri di dekat mobilnya.
“Sudah selesai? Jam berapa sekarang?” gumam Fajar pada dirinya sendiri sembari menatap ke arah arloji di pergelangan tangan kanannya. Fajar mengantongi kotak rokoknya sambil berlari kecil menuju ke arah Rini.
Fajar segera membukakan pintu mobil untuk Rini, dari dalam kafe Nuril menatap Fajar dan Rini dari balik tirai jendela kaca. Melihat mobil Fajar berlalu dari area komplek Nuril menghela napas panjang, memutar badan dan kembali bergabung dengan para tamu di dalam.
***
Di dalam mobil, Rini sejak tadi menatap ke luar melalui kaca di sebelahnya. Rini tidak menoleh ke arah Fajar sama sekali.
Fajar pikir mungkin perasaan Rini kurang nyaman karena baru pertama kali menjadi wanita penghibur di komplek Nuril. Fajar ingin bertanya padanya, perasaan Fajar sangat tidak tenang, dia cemas dengan Rini. Terlalu cemas dan gelisah! Rini meliriknya sekilas, Rini bisa melihat ekspresinya karena begitu jelas.
Saat berhenti di perempatan lampu merah Fajar tidak bisa menahannya, dia segera menyulut sebatang rokok untuk melampiaskan rasa gelisah dalam dadanya.
“Pak Fajar cemas?” tanyanya sambil menoleh.
Fajar membuka kaca jendela di samping lalu menoleh mendengar pertanyaan Rini barusan.
“Ya,” ujarnya sambil mengusap wajahnya sendiri.
“Aku baik-baik saja,” lanjut Rini.
“Syukurlah,” angguk Fajar sambil menyesap batang rokok di antara jemari tangannya yang ramping, Fajar terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya.
Rini melemparkan pandangan matanya kembali ke sisi samping jendela mobil, bibir Rini tersenyum, wajah cantiknya menunduk sedikit. Kebetulan Fajar menoleh ke kiri dan dia bisa melihatnya melalui pantulan kaca jendela mobil, Fajar hanya melihatnya sejenak lalu kembali menatap ke arah jalan raya di depannya, Fajar juga ikut tersenyum.