“Masih mau ngeyel? Jangan mau ngikuti omongan si Fajar tengik itu! Kamu lupa dia pria normal, terus tujuan kamu ditaruh di dalam kliniknya apa? Kamu nggak bisa mikir apa bego? Buka lebar mata kamu! Masa depan anak kamu ada di tangan kamu, Rin! Dengan gaji kecil apa yang bisa kamu dapatkan? Kamu bandingkan saja, hasil kerja kamu di komplekku sama kerja di klinik si Fajar yang masih sepi?”
Rini menundukkan kepalanya akhirnya dia mengangguk dan berjalan ke ruang belakang untuk membersihkan tubuhnya dan juga memandikan Kela. Setelah itu dia mengambilkan makanan dari dapur dan memberikannya pada Kela di dalam kamar.
Kela melihat Rini sedang bersiap-siap untuk pergi membeli baju dan juga ke salon.
“Kamu makan dulu,” ucap Rini seraya menyisir rambutnya.
“Ibu mau pergi lagi?” Tanya anak itu sambil menyuap makanan ke dalam mulutnya.
“Ya, Ibu harus pergi untuk nyari uang yang banyak,” jawabnya dengan bibir bergetar. “Nanti kalau sudah selesai makan, piringnya taruh di meja dalam kamar saja. Kamu cepat-cepat tidur, setelah selesai nanti, ibu pasti pulang ke sini. Kamu tunggu ibu baik-baik di rumah, jangan rewel dan jangan cengeng. Ibu tidak mau kita diusir sama Bu Nuril.”
Mendengar jawaban dari Rini, Kela tidak banyak bertanya lagi. Anak itu menganggukkan kepalanya dan menurut dengan semua pesan dari Rini.
Dalam hati Rini yang paling dalam menolak semua hal yang ada sangkut pautnya dengan laki-laki lain. Menurutnya sudah cukup dia melakukan kesalahan dengan Fajar, Rini tidak ingin melakukannya dengan pria lain lagi. Akan tetapi di sisi lain Rini juga sangat memikirkan kondisi Kela, putrinya. Kela harus segera masuk sekolah. Dan dana untuk masuk sekolah di kota tentu sangat jauh selisihnya dengan di desa. Rini tidak ingin mengalami kesulitan keuangan lagi seperti kemarin-kemarin. Menurutnya ini memang keputusan terbaik baginya dan Kela.
“Rin! Cepetan! Sudah hampir gelap! Nanti salonnya tutup!” Teriak Nuril pada Rini dari beranda samping.
Beberapa saat kemudian, Rini terlihat keluar dari dalam kamarnya. Berjalan menuju ke dalam dan keluar dari rumah bersama Fajar.
“Aku tidak akan ikut pergi, setelah selesai kamu langsung antarkan dia ke komplek! Jangan seenak jidat kamu sendiri! Rini datang ke sini buat melunasi hutang si Ranto, jadi dia ini milikku! Sudah bagus aku biarkan kamu pakai dia, kalau tidak pasti sudah aku cincang punya kamu yang nggak seberapa besar itu!” bentaknya sambil membuka kipas kain dalam genggaman tangannya lalu mengipasi wajahnya sendiri. Gelang Nuril di lengannya sampai terdengar gemerincing saat kipas bergerak.
Fajar tidak berkata apa-apa, dia pergi berjalan masuk ke dalam garasi untuk mengambil mobilnya. Sementara Nuril bergegas masuk ke dalam mobilnya sendiri, mendahului Fajar pergi dari meninggalkan kediaman menuju ke komplek.
Rini hanya berdiri di dekat beranda, dia menunggu Fajar mengeluarkan mobilnya.
“Masuk, Rin!” perintah Fajar sambil membukakan pintu samping kemudi.
Rini berjalan mendekat lalu masuk ke dalam, Fajar menyusulnya masuk dan membawanya pergi menuju ke salon langganan Nuril. Dalam perjalanan, Rini tidak mengatakan apa-apa sama sekali. Fajar sendiri juga tidak ingin membuka kata lantaran Fajar tidak bisa membantu Rini sama sekali. Sebagai kepala rumah tangga di kediaman Nuril, Fajar tidak pernah memiliki hak untuk memutuskan apa pun. Status suami yang dia sandang dalam pernikahannya dengan Nuril hanya sekedar status belaka.
***
Di salon, tidak hanya rambut Rini yang ditata, tapi juga wajahnya. Rini mendapatkan perawatan penuh secara khusus. Aksesoris untuk menambah kecantikan Rini, juga sudah disediakan berdasarkan permintaan dari Nuril melalui telepon beberapa jam yang lalu. Rini Astuti bukan lagi wanita dengan baju kumal dan lusuh, tubuh rampingnya terlihat sangat seksi ketika rambutnya diatur lepas di punggung dengan gaya bergelombang. Rini mengenakan gaun panjang warna biru gelap dengan sisi pinggang sempit. Bagian atasnya terbuka dengan model kemben tanpa tali di kedua bahunya. Satu set perhiasan menghias tangan, jemari, dan kedua telinganya. Ditambah kedua kakinya yang lurus dan panjang menginjak sepasang high heels warna senada dengan gaunnya.
Fajar seperti melihat sosok yang lain dari sosok Rini yang biasa dia lihat sebelumnya. Kini Fajar mengerti kenapa Rini berkeras masuk ke komplek, wajah Rini yang awalnya terlihat sederhana dan biasa-biasa saja ternyata tidak hanya cantik jelita, tubuhnya juga terlihat sangat bagus dan terlalu menarik di mata pria normal seperti dirinya.
Rini sudah selesai dan dia melangkah keluar dari dalam salon untuk menghampiri Fajar yang sedari tadi duduk di kursi ruang tunggu. Melihat Fajar melamun, Rini segera menegurnya.
“Pak Fajar?” satu panggilan dari Rini tidak mampu membuyarkan lamunan Fajar. “Pak,” ulang Rini.
“Eh, iya!” jawabnya dengan nada terkejut.
Fajar mau tidak mau menelan ludahnya sendiri melihat seorang Rini yang kini berubah menjadi sosok bidadari cantik dan tak pernah terbayangkan olehnya sebelum-sebelumnya.
“Kita jadi ke tempat Bu Nuril, kan?” tanyanya. Rini menjadi pusat perhatian dalam salon, beberapa kali Rini bertemu tatap dengan pria yang sedang menunggu istri mereka di sana. Akibatnya Rini terpaksa mengalihkan perhatiannya beberapa kali ke arah lain.
“Ya, ya, ya! jadi!” ujarnya dengan nada gugup. “Ayo!” Fajar mempersilakan Rini berjalan mendahuluinya.
Ketika dalam perjalanan menuju ke komplek, Fajar sesekali mencuri pandang ke arah Rini di sebelahnya. Wanita yang awalnya dia jadikan pelayan, kini bagai model majalah fashion terkenal dan dia yakini mampu mencuri perhatian publik. Rini terlihat tenang di sampingnya, kelopak matanya mengerjap perlahan, pandangan mata Rini menatap lurus ke arah jalan di depan. Fajar benar-benar merasakan kehadiran sosok berbeda dari Rini yang dia kenal.
Fajar masih ingat saat mereka pertama kali bertemu di gubuk di mana Rini tinggal bersama Ranto sebelumnya. Saat berbicara dengannya sikap dan nada suara Rini terdengar dingin, acuh, dan tidak peduli dengan kedatangannya.
“Apa mungkin sikap cuek Rini sebelum-sebelumnya karena aku datang untuk menagih hutang? Atau memang wajahku tidak terlihat menarik sama sekali ketika Rini pertama kali bertemu denganku?”
Sepanjang jalan menuju ke komplek, Fajar menghabiskan waktu dengan memikirkan tentang pertemuan mereka berdua pertama kali.
Sementara Rini, dia merasa dunianya akan segera berakhir sebentar lagi. Rini tidak mengerti bagaimana saat dia dihadapkan dengan pelanggan di komplek nanti.
Keduanya sama-sama termenung dengan pemikiran mereka masing-masing. Tidak terasa komplek yang menjadi tujuan mereka sudah dekat. Mobil yang dikemudikan Fajar melambat, Rini melihat beberapa wanita dengan pakaian minim dengan warna mencolok, serta riasan tebal, berdiri di tepi jalan, rata-rata mereka terdiri dari wanita dua puluh lima tahunan ke atas. Rini menatap mereka cukup lama, menurutnya mungkin mereka yang sedang berdiri di sana sedang menunggu kedatangan para pelanggan.
Lampu berkerlap-kerlip menghias sekitar bangunan berlantai dua di ujung jalan tersebut. Sebagian bangunan terdiri dengan satu lantai, sisanya dua sampai tiga lantai. Di balkon nampak beberapa pasangan dengan berbagai tingkat usia sedang bercakap-cakap, sebagian lagi berciuman bibir di tempat mereka berdiri.