Langkah Kirana nyaris berlari menuju ruangan Bramasta, hingga tanpa sadar ia lupa mengetuk pintu. Ia langsung membukanya seolah itu ruang pribadinya sendiri. "Kamu lupa mengetuk pintu, Kirana!" tegur Bramasta dengan suara yang membuatnya tersadar. Kirana segera meletakkan tangan di d**a dan membungkuk minta maaf. "Maafkan saya, Pak! Saya... iya, saya salah!" Meski hubungan mereka telah melampaui batas fisik, tetap ada batasan tak tertulis yang harus dijaga—terutama oleh Kirana. "Hm... masuklah!" ucap Bramasta kepada Kirana yang masih berdiri di ambang pintu. Kepalanya mendongak, "Kenapa masih di sana? Kunci pintu dan kemari!" Kirana mendekat, kini berdiri di depan meja besar Bramasta dengan jantung berdebar. Bramasta memicingkan matanya, memperhatikan wajah Kirana yang memerah. "Kamu

