Badai Di Langit Jingga

1595 Words
Jingga sedang membereskan beberapa perabotan untuk di tata di tempat yang gampang di raihnya. Dia menatap jam di dinding yang menunjukan pukul 09.35. Jantungnya berdebar, apakah teman kerjanya akan menerima dengan tangan terbuka? Apakah mereka akan membantu di setiap kesulitan Jingga nanti? Suara berisik membuat Jingga semakin di landa gugup. Sungguh setelah 7 tahun dia mengurung diri, kenapa rasa gugup itu mulai di rasakan nya sekarang? Dulu Jingga sosok wanita yang pandai bergaul, mudah untuk mendapatkan teman tapi sekarang rasa itu hilang begitu saja terbawa rasa malu dan kecewa.  "Gua denger Bu Deana buka lowongan buat bantu kita?" Jingga mendengar ucapan itu dengan jelas.  "Nggak tahu gua, semoga aja Bu Deana nggak salah pilih orang lagi."  "Kapok banget Lo?"  "Banget. Gua di gosipin dong sama Karyawan kantor, padahal baru waktu itu gua lakuin kesalahan."  "Lagian yah gua heran deh, nih karyawan kantor emang punya perut babi kayanya."  "Heem bener banget. Mereka makan siang dua kali lipat dari orang umumnya." Jingga hanya mendengarkan percakapan kedua pria yang sekarang sudah masuk ke dapur.  Kedua pria itu masih asik berbicara tanpa menyadari ada satu manusia cantik berdiri di dekat kulkas. Jingga merasa semakin gugup, apa dia akan bekerja dengan dua pria ini? Jingga menghela nafas menetralkan perasaan gugupnya.  "Permisi." Jingga berucap pelan membuat kedua pria itu terkejut.  "Eh Wewe gombel." Celetuk salah satu pria.  "Wewe gombel pala lo kotak, cewek secantik itu di katain Wewe gombel." Dumel pria satunya lagi.  "Kaget gua." Ucap pria itu sambil mengelus dadanya.  "Siapa yah?"  "Emm saya pegawai baru Mas." Jawab Jingga.  "Pegawai baru? Lo yang bakal bantuin kami berdua?" Jingga menganggukkan kepala.  "Woah syukurlah, kenalin gua Reno dan ini Ian." Jingga menyambut uluran tangan Reno lalu menyambut uluran tangan Ian.  "Btw Lo udah lama disini?" Tanya Reno.  "Lumayan lama Mas."  "Aduh gua di panggil Mas, Ian." Ujar Reno sambil memukul punggung Ian.  "Apaan sih lo lebay banget." Balas Ian sebal.  Reno menatap Jingga dari ujung kepala sampai ujung rambut, keningnya berkerut. "Sebentar? Lo beneran pegawai baru di bagian kantin kan?"  Jingga tersenyum, "Iya Mas. Memangnya kenapa?"  "Lo nggak cocok di bagian kantin."  "Kenapa?"  "Lo terlalu cantik buat kerja di bagian ini." Ian mendesis, dia memukul kepala Reno membuat pria itu mengaduh.  "Apaan sih Ian, sakit anjir."  "Lo kalau ngomong suka bener." Reno meninju bahu Ian.  "Sama aja oncom." Jingga tertawa membuat Reno dan Ian menoleh.  "Ya Allah Gusti, terima kasih sudah mengirimkan seorang bidadari di kantin. Ah gua bakalan betah kerja disini, bakalan semangat kalau tiap hari ketemu ... eh nama Lo siapa?" Tanya Reno.  "Jingga." Reno dan Ian saling berpandangan.  Reno menatap Jingga, "Beneran nama Lo Jingga?"  "Iya Mas."  "Njir ini kalau gua nyebut si Jingga gimana? Masa Jing bantuin gua, berasa manggil anjing gua." Ujar Reno sambil menggaruk kepalanya.  Jingga menggaruk kening, sebenarnya dulu dia di panggil dengan nama depannya Permata, hanya karena alasan dulu jadi lah dia memilih nama Jingga. Jingga menatap Reno dan Ian sepertinya mereka berdua orang-orang baik.  "Udah ayo cepetan kerja, tar di Bos ngomel-ngomel lagi." Ian mendorong Reno untuk mulai bekerja.  Ian menoleh ke arah Jingga, "Ngapain masih diem di pojokan, ayo sini kita bagi tugas."  Jingga mendekat, Ian menjelaskan secara singkat padanya tentang masakan apa saja yang mesti di masak. Jingga menganggukkan kepala mengerti, dia menatap Reno yang sudah memakai pakaian koki sibuk dengan alat-alat untuk memasak. Jingga sudah mendapatkan bagian untuk memasak dessert, Ian mengatakan jika memang dia pandai di bidang itu lakukan. Ian juga menjelaskan, jika memang dia bingung dengan desert yang akan di masak mereka bisa bekerja sama membuat menu baru. Reno juga mengatakan ada menu baru hasil diskusi mereka berdua.  Reno menatap Jingga yang sedang mengaduk adonan kue, dia menyenggol lengan Ian. "Gua rasa si Jingga ini bukan anak kalangan bawah deh."  Ian menoleh menatap Jingga juga, "Tau darimana Lo?"  "Liat dong penampilannya juga nggak kaya kita gini, walaupun dia kerja di kantin tetep keliatan berwibawa gitu. Nggak yakin gua, apa jangan-jangan dia anak Boss? Kita kan selama kerja disini nggak tahu siapa anak Boss."  "Ngaco lo, Ren."  "Ngaco gimana?"  "Anak Bos itu laki-laki sedangkan si Jingga perempuan." Reno mengedipkan mata.  "Oh iya yah gua lupa." Jawab Reno.  "Udahlah Ren nggak usah nge gosip mulu ah, sana cepetan kerjain bentar lagi mau makan siang pasti tuh para babi udah laper." Ujar Ian. Reno menghela nafas, dia kembali ke tempatnya.  Ian menatap Jingga, dia merasa pernah melihat wanita ini tapi dimana? Wajahnya terlihat tidak asing, hanya tatapannya saja yang terlihat berbeda. Ian menggeleng, biar nanti saja dia mencari di internet, karena dia yakin jika ucapan Reno benar kalau Jingga bukan dari kalangan bawah.  Jingga tersenyum melihat desert hasil karyanya, dia berharap semoga karyawan di kantor ini menyukainya. Ini memang menu baru yang Jingga buat sendiri saat di rumah. Awalnya hanya mencoba, dia pikir tidak akan seenak ini tapi ternyata di luar ekspetasinya. Jingga mendekat ke arah Reno dan Ian yang sedang membereskan peralatan masak mereka yang berantakan. Jingga mencolek bahu Reno membuat pria itu menoleh.  "Ngapain colek-cokek?" Ujar Reno.  "Saya buat ini Mas, tolong di coba." Jingga menyodorkan sepiring kue berbentuk imut membuat Reno menatap piring itu.  Astaga! Reno menganga tidak percaya melihat kue yang ada di atas piring. Ini Jingga mau ngasih makan Babi, kenapa kuenya hanya segede upil sapi? Apa Bu Deana tidak menjelaskan untuk membuat porsi dua kali lipat dari hasil sebelumnya.  "Sebentar, Jing. Ini lo beneran mau ngasih ini sama Karyawan?" Tanya Reno memastikan.  "Memangnya kenapa?"  "Gusti nu agung, Bu Deana pasti udah jelasin kalau Karyawan disini punya perut babi, terus ngapain elo bikin kue segede kutil gini, Jing?" Jingga mengerutkan kening.  "Bu Deana udah jelasin kok Mas." "Terus ini kenapa bisa segede gini?" Tanya Reno.  Ian yang mendengar perdebatan Reno dan Jingga mendekat. Dia menatap kue yang di buat Jingga, jangankan untuk Karyawan untuknya saja sepertinya tidak akan cukup.  "Sorry nih Ga, kayanya gua juga setuju sama Reno, ini terlalu kecil buat ukuran makan Karyawan." Jingga menggembungkan pipi.  "Mas ini tuh saya cuman mau kalian coba, lagian buat Karyawan udah aku bikin di depan." Jawab Jingga.  "Mana?" Tanya Reno.  Jingga menunjuk ke arah hidangan desert yang sudah di tatap dengan rapih dan cantik. Reno dan Ian menganga tidak percaya melihat beberapa hidangan yang di tata rapih di etalase. Reno dan Ian rasa karyawan di kantor ini akan memilih habis desert yang di buat oleh Jingga, terlihat menarik dan mengugah selera. Setiap porsinya pun terlihat sama, membuat Reno dan Ian tidak percaya akan keterampilan Jingga.  "Ini beneran Lo semua yang buat?" Ujar Reno tidak percaya.  "Iya Mas. Habisnya kalau cuman satu macem kayanya nggak keliatan menarik jadi saya buat beberapa macem. Nggak begitu banyak bahan kok, mereka dari bahan yang sama cuman saya racik sama beberapa bahan lain. Jadi, saya pengen Mas berdua coba kue saya ini." Jingga menyodorkan kue di atas piring kecil.  Ian meraih garpu kecil lalu memasukan ke dalam mulut, dia menguyah dengan pelan. Melihat Ian yang sudah memakan kuenya, Reno pun merasa ingin mencoba. Reno memasukan kue ke dalam mulut lalu menguyah. Matanya membulat, rasa lembut dan lelehan selai di rasakan lidahnya. Reno mengacung jempol pada Jingga.  "Ini bener-bener lezat." Komentar Reno.  "Lo cuman sisain kita segini?" Tanya Ian.  "Maaf, ini cuman sisa." Jawab Jingga.  "Kebagian sisa kita Ian." Reno menatap Ian dengan pandangan kesal.  "Udah biasa kan kita slalu kebagian sisa." Jawab Ian santai.  Jingga meringis mendengar ucapan Reno dan Ian. Dia merasa tidak enak hati tapi mau bagaimana lagi sisa bahan hanya tinggal sedikit, tadinya dia yang akan memakan sisanya namun melihat Reno dan Ian lebih baik di berikan saja pada dua pria itu. Jingga mencuci piring lalu meletakkan di tempatnya. Bu Deana mengatakan masakan di kantin terbatas, soalnya ada beberapa pedagang juga yang ikut bergabung dengan perusahaan ini. Di kantin mungkin tidak akan mengeluarkan uang tapi di luar mereka harus mengeluarkan uang. Bagi para karyawan yang jauh dari orang tua mereka lebih memilih makan yang di sediakan oleh kantin. Bu Deana juga menjelaskan, memang hanya setengah karyawan yang makan di kantin. Makanya tidak terlalu banyak karyawan di bagian Kantin. Tapi, memang rata-rata Karyawan lebih memilih makan di kantin.  "Akhirnya selesai juga." Ujar Reno.  Reno menarik kursi, merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal. "Ah rasanya gua pengen berhenti kerja tapi gua butuh modal buat kawin." "Emangnya siapa yang mau nikah sama Lo?" Tanya Ian. Reno meraih lap lalu melemparkannya pada Ian, "Sialan! Banyak kok cewek yang mau sama gua. Menurut lo, gua ganteng nggak Jing?" Jingga menatap Reno, dia merasa risih mendengar panggilan pria itu padanya tapi jika dia memilih memakai panggilan Permata rasa itu kembali hadir. "Lumayan Mas."  Ian terbahak mendengar ucapan Jingga, "Lumayan No hahahahah."  "Diem Lo domba." Reno mendelik kesal pada Ian.  "Sabar No." Ujar Ian.  Reno menatap Jingga yang menatapnya juga, "Jelek banget yah gua?"  Jingga mengangkat tangan lalu menggerakkan mengatakan tidak, dia panik melihat wajah Reno yang terlihat memelas. "Nggak juga kok Mas, cuman mungkin karena Mas nggak terurus jadi keliatan kucel."  "Buahahahaha." Ian tertawa ngakak, dia sampai terduduk memegang perutnya mendengar jawaban jujur Jingga.  Reno cemberut mendengar jawaban Jingga, walaupun kenyataannya memang benar jika dia terlihat tidak terawat. Jingga menatap Reno tidak enak hati tapi dia mengatakan sejujurnya.  "Udah ah terserah kalian aja." Reno kesal, dia bangkit berdiri lalu pergi meninggalkan Ian dan Jingga ke belakang.  Ian menggelengkan kepala melihat kelakuan Reno, sudah bertahun mereka kenal tapi kelakuan pria itu tetap masih sama. Ian menatap Jingga yang berdiri kaku menatap kepergian Reno.  "Udah nggak usah di pikirin, nanti juga dia balik lagi." Ujar Ian.  Jingga menoleh lalu tersenyum menganggukkan kepala. Tidak enak hati melihat Reno pergi setelah ucapannya tadi. Dia mengusap kening, kembali ingatan masa dulu masuk ke pikirannya. Jingga menghela nafas, semuanya akan baik-baik saja. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD