Badai Di Langit Jingga 1

1861 Words
Jingga menghela nafas, dia menatap gedung pencakar langit di depannya dengan perasaan gamang. Bisakah dia masuk ke perusahaan ini? Akankah dia diterima oleh orang-orang disini?Jingga memejamkan mata,mencoba menetralkan perasaan nya. Ada rasa sesal di dalam hati, mengingat bagaimana dulu dia acuh pada kehidupannya. Ada rasa kesal karena dia baru sadar saat semuanya telah terjadi. Jingga merasa dia memang pantas mendapatkan ini semua, mengingat bagaimana perlakuannya dulu pada orang lain. Jingga melangkahkan kakinya untuk memasuki gedung tempat dimana dia akan bekerja untuk pertama kalinya. Jingga tidak memiliki pengalaman bekerja, dia hanya seorang lulusan chef di salah satu universitas, kecintaannya terhadap dunia makanan memang tidak akan bisa lepas darinya.  Dulu saat dia masih berada di atas angin, Jingga slalu mengatakan pada semua orang jika dia akan membuat sebuah restoran ternama dan terkenal. Dia akan membuat namanya bisa di kenal banyak orang. Tapi, setelah kejadian peristiwa yang membuatnya tidak bisa lagi menyombongkan diri, Jingga menghilang dari semua publik. Jingga merasa malu atas apa yang pernah di lakukan olehnya terutama pada seseorang yang slalu di sakiti nya. 7 tahun setelah kejadian itu sekarang Jingga keluar dari dalam cangkangnya. Dia berjanji akan menjadi pribadi yang lebih baik dari masa lalunya.  Jingga mendatangi seorang resepsionis, "Permisi, Mbak. Saya Permata Jingga, saya mendapat telepon beberapa hari yang lalu untuk bertemu dengan Ibu Deana."  Resepsionis itu menatap Jingga dari ujung kaki sampai ke rambut. Jingga menatap tampilannya, tidak ada yang salah. Jingga memakai pakaian yang sopan, rapih, bersih dan wangi. Rambutnya tergerai indah menghiasi punggungnya, berwarna hitam legam. Di hiasi jepitan kecil untuk menghalangi poninya yang terurai ke depan.  Resepsionis itu tersenyum, "Mbak Jingga sudah di tunggu Bu Deana di lantai 5, Mbak bisa naik lift di sebelah sana."  Jingga menatap ke arah Resepsionis yang menunjuk sebuah lift. Jingga menatap ke arah Resepsionis yang bernama Dinda. "Terima kasih Mbak Dinda."  "Sama-sama." Jingga melangkah ke arah lift, dia sudah membuat janji dengan Bu Deana selaku Manager yang menelponnya.  Jingga menarik nafas, baiklah Jingga tidak ada hal yang perlu kamu takuti. Sudah saatnya kamu keluar dari dalam cangkang mu. Tidak ada yang bisa melupakan bagaimana kejamnya aku di masa lalu tapi bukankah setiap manusia memiliki kesempatan untuk berubah? Tidak ada salahnya jika kamu memulai hidup mu yang baru. Jika pun aku bertemu kembali dengan teman-teman ku di masa lalu, aku berharap semuanya akan baik-baik saja.  Jingga masuk ke dalam lift bersama beberapa orang karyawan lainnya. Dia memilih berdiri di paling sudut, menundukkan kepala menutupi wajahnya dengan rambut. Dulu Jingga tidak pernah mengalami rasa seperti ini. Dia adalah wanita paling barbar di kotanya. Semua orang tahu siapa Permata Jingga, sosok wanita pembuat onar di kota tempatnya tinggal. Jingga bahkan di segani semua teman-temannya karena dia anak dari seorang politikus terkenal. Semua orang mengagungkan Ayahnya. Semua orang begitu memuja pada Ayahnya. Ayah dan Ibunya slalu memberikan apa yang di inginkan Jingga, memanjakan Jingga, hingga suatu kejadian membuat kehidupannya hancur. Jingga merasa dunianya runtuh, orang-orang yang ada di sekitarnya mulai perlahan menjauh. Jingga dulu seorang Ratu Bully di sekolahnya, primadona di sekolahnya akhirnya mendapatkan hukuman yang serupa dimana dia slalu memperlakukannya orang lain sesuka hatinya. Jingga mulai mengerti sekarang, jika apa yang terjadi pada keluarganya adalah teguran dari Tuhan. Jingga terlalu sombong, mengagungkan harta orang tuanya hingga lupa untuk menundukkan kepala. Semuanya benar-benar membuat Jingga terpukul dan setelah bertahun lama mengurung diri, dia akhirnya bisa menapaki lagi dunia luar.  Suara dentingan lift terdengar menandakan pintu terbuka. Jingga mendongak menatap angka di lantai berapa dia berhenti. Senyum kecil terbit di bibirnya, ternyata karyawan ini memiliki satu tujuan dengannya. Jingga keluar dari dalam lift, mencari letak dimana ruangan Ibu Deana. Jika Jingga memiliki tubuh lebih tinggi dari perkiraannya, mungkin dia akan menjadi seorang model. Sayangnya, tubuhnya tidak mendukung membuat Jingga memakluminya. Jingga berputar, hingga akhirnya dia menemukan dimana ruangan Ibu Deana. Dia berdiri di depan pintu dengan jantung berdebar, menarik nafas lalu menghembuskan nya.  Baiklah, Jingga ayo semangat! Kamu harus memulai karir mu untuk masa depan mu. Jika kamu gagal, masih ada banyak hari untuk meraih ke suksesan mu. Jingga mengangkat tangan, lalu mengetuk pintu ruangan itu. Dia menunggu beberapa detik sampai suara lembut terdengar di telinganya. Jingga membuka pintu, lalu tersenyum saam melihat wanita yang mungkin perkiraan usia 30an ke atas duduk di kursinya. Jingga menutup kembali pintu saat dia sudah masuk ke dalam.  "Ayo mari duduk." Jingga melangkah mendekat, dia menarik kursi lalu duduk di hadapan Ibu Deana.  "Apa kamu yang bernama Permata Jingga?" Tanya Ibu Deana.  "Iya saya sendiri Bu." Deana menatap Jingga dari ujung kaki hingga kepala.  Apakah benar wanita cantik ini yang akan bekerja di kantin kantor? Deana merasa tidak percaya, jika wanita ini melamar menjadi pengurus kantin. Bagaimana bisa wanita secantik ini harus bekerja di kantin yang bahkan menurutnya tidak cocok. Wanita ini lebih cocok menjadi seorang karyawan di banding pengurus kantin.  "Apa kamu benar serius melamar menjadi pengurus kantin?" Deana masih ragu.  Jingga tersenyum, "Saya yakin, Bu. Ibu bisa lihat di CV saya, jika memang Ibu tidak percaya." "Bukan begitu, saya rasa kamu lebih cocok menjadi karyawan di banding menjadi pengurus kantin." Jawab jujur Deana.  "Saya bekerja sesuai dengan hobi, Bu. Di kantor ini menyediakan lowongan untuk pekerja yang sesuai jurusan saya. Ibu tidak perlu takut jika karyawan akan keracunan akibat makanan yang saya buat. Saya jamin 100% makanan yang saya buat sehat, terjaga dan aman." Jawab Jingga menyakinkan.  Pasalnya Jingga mengharapkan bisa bekerja di kantor ini. Gaji yang di dapatkan 2 kali lipat dari gaji kantor lainnya. Jingga rasa uang gajian nya bisa mencukupi kebutuhannya dan dia bisa mulai menabung untuk membuat usaha sendiri. Sebenarnya Jingga bisa saja melamar ke beberapa restoran tapi dia belum merasa aman. Setidaknya jika dia bekerja di kantin, tidak akan ada banyak yang tahu bagaimana masa lalunya. Jingga hanya ingin tenang menjalani hidup barunya. Melakukan semua kegiatan yang ingin di lakukan nya dari beberapa tahun lalu.  "Baiklah jika begitu. Kapan kamu bisa mulai bekerja?" Tanya Deana.  "Ibu menerima saya?" Tanya Jingga begitu antusias.  "Iya, saya rasa kamu bisa di percaya." Jawab Deana.  Jingga mengigit bibir bawahnya, dia ingin sekali berteriak melampiaskan rasa bahagianya tapi mengingat ada dimana dia sekarang hal itu di urungkan dengan tangan yang terkepal kuat.  Deana tersenyum melihat tingkah Jingga, "Jadi?"  "Saya bekerja mulai hari ini juga tidak masalah Bu."  "Kamu yakin?"  "Yakin. Saya hanya perlu bimbingan setelah yakin saya akan melakukannya dengan sungguh-sungguh." Jawab Jingga.  "Oke, kalau begitu mari ikut saya." Deana bangkit berdiri di ikuti Jingga yang membuntutinya.  Mereka keluar dari ruangan membuat beberapa karyawan memandang keduanya. Semua karyawan sudah tahu siapa Deana Apriliyan, wanita cantik berusia 34 tahun yang masih lajang di usianya yang sudah matang. Namun karena memiliki tubuh mungil, usia Deana tersamarkan. Jingga menatap interior perusahaan yang begitu simpel namun terlihat elegan. Banyak sekali ornamen yang terukir indah di dindingnya. Lantainya pun bersih mengkilap tanpa debu. Sungguh, sepertinya Jingga akan betah bekerja di tempat ini. Mereka menuruni tangga, tidak ada obrolan selain hentakan kaki yang menggema. Jingga menikmati setiap langkah kaki yang mengayun pelan. Hidup memang tidak pernah sesuai ke ingina, jika pun menginginkan sesuatu kita harus berusaha untuk mendapatkannya. Setelah beberapa menit menuruni tangga, mereka sampai di sebuah ruangan terbuka yang cukup besar. Jingga di buat takjub karena ini bukan seperti kantin kantor.  "Nah Permata sekarang ini tempat kamu bekerja." Deana menunjuk sebuah dapur sederhana yang luar.  Jingga tersenyum, "Panggil Jingga saja, Bu."  "Oh baiklah. Kamu sudah membaca persyaratannya kan?"  "Sudah, Bu."  "Jadi kalau begitu saya ingin kamu buatkan sesuatu, terserah kamu ingin membuat apa untuk saya cicipi."  "Emm Ibu tidak memiliki alergi pada makanan?" Tanya Jingga.  "Tidak. Saya manusia jenis makanan apapun akan saya makan."  "Oh baiklah Bu saya permisi untuk melakukan tugas saya." Deana mengangguk.  Jingga menyimpan tasnya lalu menggulung lengan kemeja, meraih apron lalu memakainya, tak lupa dia menggulung rambutnya. Jingga melangkah ke arah kulkas besar, membukanya lalu berpikir sebentar setelah itu dia tersenyum meraih bahan-bahannya. Dengan cekatan dia memotong semua bahan, menyiapkan semua barang-barang yang akan di pakainya. Tangannya dengan terampil bergerak, tertata dengan rapih, Deana takjub melihat gerakan yang Jingga lakukan. Senyum terbit di bibirnya, sepertinya Jingga akan menjadikan Kantin ini sarang untuk mengisi perut karyawan di kantornya. Tidak membutuhkan waktu lama masakan Jingga sudah terhidang di hadapannya.  "Apa ini?"  "Ini masakan sederhana Bu, saya tidak tahu selera Ibu bagaimana. Jadi saya buat, tumis brokoli di tambah irisan daging tipis di atasnya." Deana menarik kursi lalu duduk di sana.  Dia meraih sendok dan garpu, terlihat sederhana namun dari aromanya tercium begitu menggugah selera. Deana menyendok satu suap nasi masuk ke dalam mulut, mengunyah pelan dan dia berhenti. Sungguh! Masakan ini begitu sederhana, bumbunya pun tidak terlalu rumit tapi begitu cocok dan pas di lidah.  "Ternyata kamu pandai memasak." Komentar Deana dengan kembali menyuap nasinya.  "Sebenarnya saya di bagian Pastry, Bu."  "Bagian kue?"  "Iya, Bu."  "Lalu kenapa kamu bisa memasak seenak ini?" Jingga menggaruk rambutnya.  "Saya hanya coba-coba, Bu. Saya pikir, saya nggak berbakat buat makanan kaya gini tapi ternyata saya punya kelebihan selain di dunia Pastry."  "Kamu belajar otodidak?"  "Iya, Bu."  "Kamu bisa buat makanan barat?" Tanya Deana.  "Itu ...." Jingga mengigit bibir bawahnya. Makanan barat? Bahkan Jingga selama ini memasarkan makanan barat, dia tidak terlalu menyukai nasi, jadi makanan sehari-harinya roti, kentang, omelette, salad dan semacam lainnya.  Deana menaiki salah satu alisnya menunggu kelanjutan Jingga. "Itu apa?"  Jingga nyengir, "Saya nggak bisa makan nasi Bu jadi makana waster lah yang paling utama."  "Sungguh?" Jingga mengangguk.  "Woah pantas saja kamu cantik dan langsing, kamu tidak makan makanan berlemak." Jawab Deana yang masih melahap nasinya.  "Saya memang tidak terlalu menyukai nasi Bu jika di suruh memilih saya lebih baik makan mie instan setiap hari." Jawab Jingga jujur.  Deana terkekeh, setiap orang pasti memiliki kehidupan berbeda-beda. Mungkin Jingga tidak menyukai nasi tapi bagi Deana nasi adalah prioritas utama.  "Oh iya Bu apa yang mesti saya masak setiap harinya?" Deana menelan nasinya.  "Di bawah laci sana ada komposisi menu yang akan kamu buat setiap hari. Mungkin kamu akan kewalahan karena penghuni kantor ini memilki perut babi. Jadi saya harap kamu bisa menanganinya dengan baik."  "Baik Bu. Tapi, apa saya bekerja seorang diri?"  "Tidak. Kamu akan di temani oleh beberapa chef lainnya, hanya saja ini masih terlalu pagi mereka akan datang pukul 10 siang untuk menyiapkan makan siang."  "Berapa kali karyawan di kantor ini makan Bu."  "Hanya satu kali." Jawab Deana.  "1 kali?" Tanya Jingga tidak percaya.  "Iya. Jam 12.30 seluruh karyawan di kantor akan makan siang sampai pukul 13.30 setelah itu mereka akan kembali bekerja lalu pukul 17.00 mereka akan kembali pulang ke rumah." Jelas Deana.  Jingga menganggukkan kepala mengerti, dia menatap ke arah lain melihat suasana disini lumayan tenang. Bagian kantin kantor pun ada di bagian belakang gedung, terhubung dengan taman belakang, AC alami dari beberapa pepohonan menyegarkan untuk karyawan yang mengalami deadline.  "Saya lihat dari biodata kamu, kamu baru pertama kali bekerja di usia 25 tahun? Jadi, kemana saja kamu selama ini?" Jingga menatap Deana.  Apa ini masih sesi wawancara? Jingga berdehem, mencoba menetralkan perasannya. "Apa ini masih sesi wawancara, Bu?"  Deana mengerjap, dia menatap Jingga yang terlihat tidak nyaman akan pertanyaan barusan. "Oh maaf saya sudah lancang menanyakan hal ini."  "Nggak apa-apa Bu." Suasana hening, Jingga sibuk dengan pikirannya, menatap ulang kembali kehidupan barunya. Mungkin akan sulit baginya tapi Jingga akan berusaha sebisa mungkin menyesuaikan hidup orang-orang di sekitarnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD