Si Cantik Penjaga Bunga

1065 Words
Altharrazka Dinata Siapa nama perempuan itu, aku sungguh tidak tahu. Kami bertemu saat aku membeli bunga. Dia terlihat sedih dan terus saja melamun. Dia cantik sekali, dan kalau bisa, aku ingin sekali berkenalan dengannya. Si gadis penjaga bunga, dan dia pun persis seperti bunga. Cantik dan menawan. "Athar ... apa ini?" tanya Mamah padaku. Aku memang meletakan bunga itu diatas meja. Hari ini Mamah ulang tahun. Mamah sangat menyukai bunga anyelir dan mawar merah. Aku duduk dan memeluk Mamah. "Selamat ulang tahun, Mamah. Bunganya bagus kan?" Mamah terkekeh dan mencium keningku. "Anak Mamah yang paling tampan ini, memang selalu tahu apa yang Mamahnya inginkan." Kami perlahan melepaskan pelukan kami. "Mah, kalau Athar suka sama cewek sebelum kerja. Apa boleh?" Mamah menatapku dengan kedua mata menyipit. Selama ini aku memang selalu terbuka pada Mamah. Aku selalu menceritakan apa pun pada Mamah. Termasuk apa pun yang aku rasakan. "Boleh, tapi jangan serius dulu. Athar harus selesain sekolah sampai kelar, lalu kuliah dan kerja di kantor Papah. Kamu harus mikir, kalau punya cewek itu enggak cuma disayang. Kamu juga harus bisa ngasih sesuatu buat dia. Karena cewek itu harus dikasih. Kamu tahukan maksud Mamah." Aku senang, itu artinya boleh. Tapi mau serius, maksudku. Aku ingin gadis itu tidak hanya jadi pacarku saat ini saja. Tapi kelak menjadi pendamping hidupku juga. Ah, kenapa aku sangat tertarik padanya. "Kalau gitu, Athar berteman aja dulu ya Mah. Tapi bagaimana kalau cewek itu diambil orang!" Mamah terkekeh dan mengacak gemas kepalaku. "Ya Allah, anak Mamah ini lucu sekali. Siapa sih, gadisnya?" Aku pun malu, kenapa aku sampai mengakui ini. Padahal, gadis itu tidak mengenali aku. Bagaimana kalau dia sudah punya pacar? Bagaimana kalau ternyata, dia sama sekali tidak tertarik padaku. Ya Allah aku tuh parah sekali. "Athar juga gak kenal, Mah." Jawaban yang konyol pastinya. Sampai Mamah tergelak hebat menertakanku. Ya Tuhan ..., aku kesal sekali jadinya. Papah datang, dan ikut duduk bersama kami. Aku yang anak satu-satunya keluarga ini. Memang selalu jadi bulan-bulanan Mamah dan Papah. Padahal aku ini sudah dewasa. Tapi Mamah dan Papah selalu saja over protektif dan menjadikan aku bahan percobaan. Mereka seolah menganggapku masih anak kecil. Dan aku sering di olok oleh semua temanku. Tapi aku tidak marah, aku senang selalu diperhatikan keduanya. Itu artinya mereka memang sangat mencintaiku. "Ada apa nih?" tanya Papah, mamah menatap Papah dengan masih tertawa geli. "Kamu tahu, dia suka sama cewek. Tapi katanya dia sendiri enggak kenal. Bagaimana bisa coba?" Atas apa yang dikatakan Mamah. Papah ikut menatap padaku. "Ya ... kenapa gak kenalan sih? Ko anak Papah gak berani gitu, kayanya. Masa ganteng-ganteng gak berani ngajak kenalan cewek!" Tuh, kan. Aku di ledek Papah. "Ye ... orang dianya juga kaya gak suka sama Athar. Udah ah, aku mau mandi. Nyesel curhat!" Aku segera bangun, membuat Mamah dan Papah sekali lagi menertawakanku. "Coba dia ajak ke sini! Kalau kamu beneran suka. Papah mau lihat perempuan yang kamu suka itu kaya apa!" Apaan sih, Papah. Mana mau dia diajak ke rumah. Orang kenal juga enggak. Bikin mumet aja! Memilih mengabaikan keduanya. Aku segera masuk ke dalam kamarku. Aku harus mandi, karena hari ini panas sekali. *** Aku mungkin bisa disebut tidak tahu malu. Tapi aku memang sangat penasaran pada gadis itu. Sepulang sekolah, aku sengaja datang ke toko bunga itu. Aku ingin bertemu lagi dengannya. "Permisi!" Aku tidak tahu mau membeli bunga apa. Karena memang tidak ada rencana. Mungkin beli bunga mawar saja, nanti aku kasih lagi ke Mamah. Biar Mamah seneng, tapi semoga saja Mamah tidak curiga kalau gadis yang aku taksir adalah pelayan toko bunga ini. Bisa berabe, Mamah bisa datang ke sini. Dan mengajak gadis itu untuk berkenalan. "Ada yang bisa saya bantu?" Dia menatapku. Hari ini, gadis pelayan toko bunga itu terlihat lebih menyedihkan. Aku tidak tahu kenapa. Kedua matanya terlihat merah dan juga bengkak. Apa dia habis menangis? "Apa kamu baik-baik sa--" Aku segera menutup mulutku. Sial sekali, kenapa aku harus berkata seberani ini pada perempuan yang tidak akrab denganku. Lihat kedua mata indah itu, dia sepertinya sedang menelitiku. "Jadi mau pesen bunga apa Mas?" tanya nya lagi. Aku yang terlanjur malu, segera hanya tersenyum kecut. Aku sungguh ingin tahu apa yang sedang ia rasakan saat ini. "Bunga mawar aja," jawabku. "Mau di bikin buket kaya kemarin?" Aku menggeleng. "Enggak usah, saya mau satu tangkai saja yang warna merah." Dia terlihat menautkan kedua alisnya. Mungkin dia berpikir untuk apa aku membeli bunga hanya satu tangkai hari ini. Sedangkan kemarin aku sudah membeli sebuket bunga. "Baiklah, silahkan duduk Mas. Biar saya buatkan." Tapi aku mengikutinya dari belakang. "Apa saya boleh tanya-tanya?" Dia menatap padaku dengan ketidak sukaannya. Sangat terlihat kalau kehadiranku mengganggu untuknya. "Tanya apa Mas?" ya ... dia tetap mencoba bersikap profesional meski sepertinya dia tidak menyukaiku. Perempuan yang aneh. Di sekolahku, para gadis selalu bersikap ramah padaku. Tapi dia ... agak jutek. Tapi cantik sekali, dan penasaran sekali. "Apa boleh?" Aku bertanya lagi. "Iya, Mas nya mau tanya apa emangnya." Apa kamu sudah punya pacar? Tapi pertanyaan itu hanya aku telan di kerongkonganku. Aku sungguh tidak berani mengatakannya. "Ah, tidak." Aku menggaruk tengkuk ku. Dan dia menatapku heran. Kemudian melengos memetik bunga mawar itu. "Anu, nama kamu siapa? Anak mana? Masih sekolah kan?" Pertanyaan macam apa itu. Kenapa aku bodoh sekali? Aduh malunya. Dia terlihat mengerjap dan sepertinya bingung mendengar pertanyaanku yang bertubi-tubi itu. "Eh, maaf." Dia terkekeh kecil. "Ah, tidak apa-apa Mas," ucapnya. Dan itu sungguh manis sekali. "Saya Adena, panggil aja Dena." Nama yang sangat manis, persis seperti orangnya. "Oh Dena, kamu anak Mana?" Aku sungguh ingin tahu, di mana dia sekolah. Ya ..., kalau bisa mungkin aku akan pindah dan menemuinya. Aku tahu ini sudah kelas tiga. Sebentar lagi juga ujian. Tapi aku yakin, aku akan bisa mengejar materi sekolah. Kalian harus tahu, kalau aku siswa dengan nilai di atas rata-rata. Jadi mengejar nilai dan pelajaran adalah keahlianku. Boleh lah sombong sedikit. Hihihi ... "Aku anak SMK Samudra. Kenapa?" Kenapa dia tidak tanya aku anak mana dan siapa nama aku sih, kenapa tidak adil sekali sih. "Ah, enggak." Sekali lagi aku hanya tersenyum kecut. Ok, jangan menyerah Althar. "Ini bunga nya Mas, dua puluh ribu saja." Aku mengeluarkan uang dengan nominal yang ia pinta. "Ini, Dena." Dia terdiam dengan kedua matanya yang melebar saat nama indah itu aku sebut. "Baik, Mas." "Anu," aku masih saja belum mau pergi. Menghadirkan tatapan penuh tanya. "Ada apa Mas?" "Apakah besok saya boleh ke sini lagi?" "Hah!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD