Chapter 3

1111 Words
"Hah?" Suara Raiga menggema, membuat kedua mata Yuna sedikit terbuka. "Neraka?" Zapar tersenyum sombong, dia berlagak seolah-olah dirinya adalah orang yang hebat. Padahal, Raiga sendiri saat ini sedang menganggap bocah itu aneh, bodoh dan dungu. Neraka? "Apa kau bercanda?" Raiga mengangkat kedua alisnya kaget. "Kau tidak berpikir Neraka itu tempat yang bagus kan?" Zapar menggelengkan kepalanya, menenggelamkan punggungnya di punggung kursi. "Hey, Raiga, kenapa mukamu jadi terkejut begitu?" Zapar menyunggingkan senyuman kecil. "Tenanglah, aku hanya bercanda, kawan." Bercanda dia bilang? "Konyol sekali," Raiga menepuk dahinya dengan jengkel. "Kenapa aku bisa-bisanya tertipu oleh kebohonganmu?" Mendengarnya, Zapar tertawa. Baru kali ini, Raiga ditipu oleh orang asing, biasanya dia yang duluan menipu orang. Tapi, ya sudahlah, mungkin saat ini keberuntungannya sedang direnggut oleh malaikat lain. Zapar contohnya. "Astaga! Untuk apa kau kembali ke sini, pria aneh!" Tiba-tiba Yuna bangun dan berdiri tegak dengan mata yang melotot pada Zapar. "Kau masih belum puas meledek Raiga?" Zapar ikut berdiri, namun dia tersenyum pada Yuna dan mencoba untuk berjabat tangan dengan gadis berambut biru tersebut. Sayangnya, Plak! Tangan Zapar langsung ditepis oleh Yuna. "Jangan ganggu kami," Yuna menatap tajam mata Zapar. "Kumohon, pergilah dari sini." Raiga hanya bisa menonton dengan santai, dia tidak peduli nasib Zapar yang sedang diusir oleh Yuna, yah, begitulah sifatnya. "Yuna," Ketika Yuna dan Zapar masih sedang berdebat, Raiga memotong pembicaraan mereka. "Zapar itu teman kita." Yuna terbelalak mendengarnya. Suasana tiba-tiba hening, hanya suara keriuhan dari rel kereta dan dengungan obrolan dari ruangan sebelah. Yuna memandang wajah Raiga dengan tidak percaya, tentu saja dia kaget, karena selama gadis itu tidur, dia sama sekali tidak tahu kalau Raiga dan Zapar sudah semakin dekat. "Kau dengar itu?" Zapar tersenyum licik pada Yuna. Yuna menoleh pada Zapar, dia bingung harus membalas apa. Jadi, gadis berjaket merah itu hanya bisa duduk kembali di kursinya dengan perasaan yang masih resah. "Jadi namamu Yuna ya?" Zapar juga duduk kembali, berhadapan dengan Yuna, mencoba berinteraksi dengan gadis lugu itu. "Kau cantik sekali." Seketika perasaan Yuna dibawa oleh Zapar setinggi langit sampai meledak berkeping-keping di angkasa. Apa ini? Yuna sedang digoda? Seumur hidupnya, Yuna tidak pernah sekalipun dibilang cantik oleh lelaki, bahkan keluarganya pun tidak ada yang mengatakan hal itu sebelumnya. Kedua pipi Yuna memerah, dia malu sekali. "Hah?" Raiga merespon perkataan Zapar dengan nada yang datar. "Tadi kau bilang apa?" Zapar berbisik-bisik pada Raiga, mendadak mereka berdua tertawa bersama, membuat Yuna yang seruangan dengan mereka penasaran pada bisikan yang disampaikan oleh Zapar ke Raiga. "Kenapa kalian tertawa?" Yuna sedikit merasa tersinggung. "Kalian menertawakanku?" Raiga langsung menggeser pantatnya mendekati Yuna, masih menahan tawanya, lalu berbisik pada telinga gadis tersebut. "Ada sisa keripik kentang di pipi sebelah kananmu, Yuna." *** Beberapa jam kemudian, Raiga, Yuna dan Zapar sudah semakin dekat saja, seolah-olah, kereta ini hanya milik mereka saja, canda tawa menghiasi ruangan yang dihuni oleh tiga malaikat tersebut, tanpa peduli kalau mereka mengganggu ketenangan malaikat-malaikat yang menghuni ruangan di dekat mereka. "DUA JAM LAGI KITA AKAN MENDARAT KE BUMI! DUA JAM LAGI KITA AKAN MENDARAT KE BUMI! DI MOHON BERSIAP-SIAP DARI SEKARANG!" Suara wanita yang terdengar dari dalam dinding ruangan telah memberitahu pada para penumpang tentang persiapan menuju bumi yang sudah semakin dekat. "Wow," Yuna menggendong tas merahnya. "Aku tidak sadar kita telah melewati ketujuh langit suci? Apa kalian melihatnya?" Raiga mengangkat bahu. "Kau tertarik dengan tujuh langit yang sering dirumorkan dihuni oleh malaikat-malaikat elit?" Yuna dengan semangat menganggukkan kepala. "Ya! Aku sangat menyukai tujuh langit!" Yuna meloncat-loncat riang. "Andai saja aku bisa terpilih menjadi bagian dari malaikat elit, mungkin saja aku bisa menghuni salah satu dari tujuh langit suci, oh! Aku sangat menginginkannya!" Kedua mata Yuna berbinar-binar saat mengatakan hal tersebut, sementara Raiga dan Zapar hanya memperhatikan gadis itu dalam diam. "Ngomong-ngomong," Raiga memecah keheningan dengan menoleh pada Zapar. "Di mana kau menyimpan barang bawaanmu, Zapar?" Zapar mengangkat bahu dengan santai. "Aku tidak membawa apapun," Raiga dan Yuna terkejut. "Lagi pula, kita hanya akan ke bumi kan? Untuk apa aku membawa banyak barang, kawan?" Yuna terbelalak mendengar perkataan Zapar. "Kau aneh sekali," Yuna menggelengkan kepala. "Kita di bumi bukan untuk jalan-jalan ria, Zapar! Kita ditugaskan oleh pihak sekolah untuk membimbing para manusia ke jalan yang benar! Dan wajar jika kau membawa banyak barang karena kau akan tinggal di bumi selama setahun!" Entah kenapa, Zapar hanya tersenyum saja mendengar yang dikatakan Yuna. "Kenapa kau mendadak marah padaku, Yun?" Yuna melipat tangannya. "Tentu saja aku marah!" ucap Yuna dengan jengkel. "Dan namaku Yuna, bukan Yun!" Raiga menepuk pundak Yuna dan Zapar. "Sudah-sudah, ayo kita bersiap-siap untuk keluar dari kereta, teman-teman." *** Kereta ini sudah sampai di bumi, lebih tepatnya, di tengah hutan belantara. Kereta awan memang sudah biasa menurunkan penumpangnya di tempat-tempat tersembunyi agar para manusia tidak mengetahui keberadaan kendaraan suci tersebut. Semua malaikat keluar dari ruangan masing-masing, berdesak-desakan menuju pintu keluar. Raiga, Yuna dan Zapar berjalan di tengah-tengah lautan malaikat, sulit sekali untuk menerobos punggung-punggung yang menghalangi mereka. Akhirnya, tak lama kemudian, mereka bertiga berhasil keluar dari kereta awan dan turun, menjejaki tanah hutan yang penuh dengan dedaunan kering. "Ini pertama kalinya aku datang ke bumi," ucap Yuna dengan riang. "Aroma tempat ini benar-benar berbeda dari surga." "Haha!" tawa Zapar menggelegar mendengar ucapan Yuna. "Jelas berbeda, Surga dan Bumi tidak dapat disamakan, Yun." Yuna hanya mengembungkan pipinya dengan kesal. "Sudah kubilang, aku benci dipanggil Yun!" "Teman-teman," Raiga kini angkat bicara dengan wajah datar. "Kita akan ke mana sekarang?" Yuna dan Zapar menoleh pada Raiga. "Jelas, kita akan bersekolah di bumi, kawan." balas Zapar dengan menyeringai kejam. "Akhirnya, sebentar lagi, aku akan membully cucu-cucu Adam! Haha!" Mendengarnya, Yuna kesal. "Apa kau bilang?" ucap Yuna dengan mendekatkan diri pada Zapar. "Kau akan berurusan denganku jika berani menyakiti para manusia, Zapar!" "Oi Malaikat!" Raiga sudah mulai bosan. "Dengarkan aku, sekarang, di mana sekolah yang akan kita masuki?" Zapar dan Yuna saling menatap setelah mendengar ucapan Raiga. "Sebelum memikirkan itu, lebih baik kita harus mencari cara agar kita bisa keluar dari hutan ini, kawan." jawab Zapar dengan mengusap hidungnya sombong. "Hah?" Raiga kaget. "Aku lupa soal itu." Kereta awan yang telah mengantarkan mereka telah menghilang, sementara malaikat-malaikat yang lain telah terbang dengan sayapnya masing-masing menuju tempat tujuannya. Sementara, Raiga dan dua kawannya hanya bisa menatap kepergian para malaikat dengan tatapan bingung. "Sayapku hanya satu," Raiga menundukkan kepalanya. "Aku tidak bisa terbang." "Kedua sayapku patah," Yuna menutupi mukanya dengan tangan. "Jelas sekali aku tidak mampu terbang." "Aku tidak punya sayap," Zapar tersenyum sombong. "Tapi aku tahu caranya agar kita bertiga bisa terbang, kawan!" Mendengar ucapan Zapar membuat Raiga dan Yuna menegakkan kepalanya, memandang wajah Zapar dengan tidak percaya. "Hah?" Raiga mengucek matanya. "Kau tadi bilang apa?" Zapar menyeringai. "Kita akan menggunakan ini, kawan." Raiga dan Yuna terkejut melihat benda yang ditunjukkan Zapar pada mereka. Apa dia gila?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD