Bab 10. Status sosial

1243 Words
Jika bukan karena tuntutan hidup yang begitu berat, mungkin saat ini Maureen akan bermalas-malasan dan menikmati hidupnya tanpa merasa terbebani. Tapi jalan hidup yang dilewati tidak sesederhana itu, padahal di usianya yang masih sangat muda, sudah seharusnya menikmati hidup tanpa harus menanggung banyak beban. “Kamu nggak digaji untuk tidur, perusahaan ini butuh karyawan yang serius bekerja, bukan yang malas-malasan seperti kamu!” Maureen kena tegur, saat seorang pengawas datang dan mendapati Maureen tengah tertidur di meja, di dekat ruang khusus karyawan OB. “Sekali lagi aku melihatmu bermalas-malasan seperti ini, aku tidak akan segan melaporkan kepada atasan.” Maureen menundukkan kepalanya, “Iya, Bu. Saya minta maaf, nggak akan terulang lagi kejadian seperti tadi. Jangan pecat saya.” Wanita itu tidak menjawab, hanya mendengus kasar lalu meninggalkan Maureen. Setelah memastikan wanita itu pergi, Maureen hanya menghela lemah. Jujur saja hari ini kondisi tubuhnya sedikit tidak baik, kepala dan tubuhnya sakit. Tapi karena tanggung jawab dan jam kerja yang masih belum berakhir, ia harus memaksakan diri membersihkan beberapa ruangan yang ada di kantor Adiguna. Berjalan dengan langkah lunglai, Maureen hendak menuju lantai empat, dimana ruangan tersebut ditugaskan untuk dibersihkan. Karena kondisinya saat ini, tidak memungkinkan Maureen untuk menaiki tangga darurat, padahal Wulan kerap memberitahu untuk tidak menggunakan lift, kecuali dalam situasi tertentu atau mendesak. Maureen menganggap situasinya saat ini darurat, hingga ia memutuskan untuk menggunakan lift, berharap juga Mbak Wulan tidak mengetahui apa yang dilakukannya saat ini. Sedikit menghemat tenaga agar ia bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik. Maureen berdiri di depan pintu lift, menatap pantulan tubuhnya yang terlihat begitu lusuh. Rambutnya diikat rapi, tapi wajahnya tidak bisa menutupi lelah yang begitu dirasakannya. Suara denting terdengar diiringi pintu besi terbuka, merasa bersyukur karena di dalam lift tidak ada orang lain, hanya dirinya sendiri. Situasi yang bisa meminimalisir kemarahan Mbak Wulan tentu saja. Langkahnya masih gontai, masuk perlahan ke dalam lift. Di dalam sana ia menempatkan diri di salah satu pojok, dengan memegangi kakinya lap dan botol pembersih, ia memposisikan diri sekecil mungkin agar tidak mengganggu jalannya aktivitas karyawan lain, yang tentunya memiliki jabatan lebih tinggi darinya. Satu lantai terlewati dan hanya dirinya saja di dalam lift, namun saat melewati lantai kedua, pintu tiba-tiba berdenting dan berhenti, menandakan ada seseorang yang juga hendak menggunakan benda tersebut. Maureen sudah mempersiapkan diri, dengan semakin menyudutkan diri, berharap lift tidak terlalu penuh agar ia bisa mencapai tujuan tanpa harus berjalan kaki menggunakan tangga darurat. Beberapa orang masuk, membuatnya langsung menundukkan kepala, tidak ingin mereka melihat dan menatap dirinya dengan tatapan jijik, seperti yang kerap dilakukan beberapa orang. Beruntung hari ini ia menggunakan masker untuk menutupi wajahnya yang masih lebam. Maureen mungkin tidak menyadari jika di dalam lift, di tengah kerumunan ada seseorang yang tengah memperhatikan. Dia adalah Anjas, lelaki itu hendak menuju lantai empat, sama seperti dirinya. Namun karena Maureen sejak tadi hanya menundukkan kepala, tanpa sedikitpun menoleh ke arah lain, membuatnya tidak menyadari siapa saja yang ada di dalam sana. Sampai pada tujuan, Maureen masih diam, membiarkan beberapa orang keluar, dan ia akan menjadi yang paling akhir keluar dari dalam lift. Anjas masih berdiri di dekat lift, menunggu hingga Maureen pun keluar. Alih-alih menyapa, wanita itu keluar tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya. Apakah wanita itu sedang menghindarinya? Kenapa? Semalam keduanya masih berbicara seperti biasanya, tapi hari ini Anjas justru mempertanyakan sikap Maureen yang membuat ia begitu penasaran. “Maureen,” karena wanita itu tidak kunjung menyapa atau menoleh ke arahnya, Anjas pun memanggilnya terlebih dulu. Wanita itu menoleh, walaupun sebagian wajahnya tertutup masker, tapi Anjas bisa melihat perubahan ekspresi Maureen. “Pak Anjas, ada perlu apa? Butuh kopi?” ia mendekat dengan perlahan. “Iya, saya butuh kopi.” padahal baru beberapa menit lalu ia menghabiskan satu cup kopi. Tapi pertanyaannya Maureen membuatnya tidak memiliki pilihan lain, selain mengiyakan. Pasalnya jika ia menjawab tidak, bisa dipastikan Maureen akan langsung pergi dan Anjas pun tidak punya alasan untuk menahannya. “Mau saya belikan? Tapi tunggu bersihkan ruangan itu dulu, nggak apa-apa kan?” “Iya, nggak apa-apa. Selesaikan saja pekerjaan kamu, setelah itu belikan saya kopi.” “Baik.” Memerintah, dan membuat wanita itu semakin terlihat status sosialnya memang sedikit berlebihan. Anjas bisa meminta tolong orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk hal sepele seperti kopi. Tidak juga bermaksud membuat Maureen menganggap dirinya adalah orang yang harus dipatuhi, tapi Anjas masih kesulitan untuk membuat wanita itu sedikit lebih lama ada di dekatnya. Merasa keterlaluan, tapi Anjas tidak punya pilihan lain. “Pak Anjas nungguin kopi? Kalau kelamaan bisa saya pesankan,” Anjas menoleh, ke arah Cipto, lelaki yang mungkin menyadari bahwa sejak tadi dia terlihat menunggu sesuatu “Tidak, tunggu wanita itu belikan saja.” “Baiklah kalau begitu,” Sejak tiga puluh menit lalu, Anjas memang terlihat gelisah dan terus menoleh ke arah pintu. Menunggu seseorang datang dan membawakan kopi untuknya. Namun wanita itu tidak kunjung datang, padahal sudah cukup lama Anjas menunggu. “Maaf pak, saya nggak terlambat kan?” yang ditunggu akhirnya datang, wanita itu muncul dengan keringat di pelipis dan dahi. Terlihat jelas ia begitu kelelahan. “Pak Anjas mau kopi, kan? Saya sudah belikan. Tunggu sebentar,” tanpa menunggu Anjas menjawab, Maureen segera kembali keluar untuk mengambil kopi yang sudah dibelinya. Memang belum mengkonfirmasi, jenis kopi apa yang disukai lelaki itu. Hanya bermodalkan pengetahuan yang dimilikinya dulu, saat keduanya masih sama-sama remaja, dan Maureen sempat melihat Anjas menikmati secangkir kopi Moschino, ia pun membelikan lelaki itu kopi dengan rasa yang sama. “Saya belikan kopi ini, Pak Anjas suka, kan?” Maureen memberikan kopi tersebut pada Anjas. Anjas menatap kopi dan Maureen secara bergantian. “Kapan kamu beli kopi ini?” “Baru banget, Pak. Belum lama,” jelasnya. “Sekalian beli untuk yang lain, biar nggak bolak-balik, aku beli untuk Pak Anjas juga.” “Jadi, kamu beli kopi untuk yang lain juga?” “Maureen mengangguk. “Iya, mereka minta dibelikan kopi.” Tiba-tiba dua wanita datang dan langsung mendekat, mereka Siska dan Wulan. “Kamu beli lagi kopi?” tanya Siska, menatao kopi yang ada di tangan Anjas. “Belum lama ini kamu minum kopi, masa mau kopi lagi.” Siska mengambil gelas kopi dari tangan Anjas. “Ya ampun, ini moccachino loh, sayang! Kamu bisa kena asam lambung lagi, kenapa beli kopi ini sih?!” Siska langsung menyingkirkan kopi tersebut, bahkan langsung membuangnya ke dalam tong sampah. “Kamu yang belikan Pak Anjas kopi itu?” Pertanyaan bernada tuduhan itu tertuju pada Maureen, lengkap dengan tatapan sinis. “Iya.” Maureen menganggukkan kepala. “Pak Anjas nggak minum kopi jenis itu, kamu salah beli atau gimana?!” “Saya inisiatif beli, karena dulu Anjas pernah minum kopi seperti itu.” “Dulu? Kapan itu?” “Kami teman satu sekolah dulu, dan Anjas pernah,,,” “Maureen, tolong bersikap sopan, jangan panggil nama pada seseorang yang statusnya jauh lebih tinggi daripada kamu! Bagaimanapun masa lalu yang pernah terjadi diantara kalian, kamu harus tetap menjaga sopan santun!” Wulan menatap tajam ke arahnya. “Oh iya,, maaf saya sudah sangat lancang. Dan pak Anjas, maafkan saya, saya nggak sengaja melakukannya. Sekali lagi, maaf.” ucapnya penuh sesal, sementara Anjas tidak bisa membela Maureen di depan Siska. Lagi-lagi ia tidak mampu melakukan apapun, karena takut membuat Maureen dalam bahaya. “Pergi dan selesaikan pekerjaan kamu, jangan bersikap sok akrab pada siapapun, dan kamu harus menjaga sikap sopan santun jika masih ingin bekerja disini, mengerti?!” “Baik, Mbak Wulan. Saya permisi,” Maureen segera pergi, meninggalkan ruangan itu dengan langkah cepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD