9. Bibit cemburu

1148 Words
“Kamu ikutin aku? Ternyata kebiasaan menguntit kamu belum sembuh juga.” Maureen menaikan satu alis dan melipat kedua tangan di d**a, lengkap dengan tatapan penuh selidik ke arah Anjas. “Kupikir setelah menjadi seorang CEO kebiasaan kamu sudah berubah, ternyata nggak.” Anjas tidak bisa lagi mengelak, faktanya ia memang menguntit diam-diam, tapi pada akhirnya ketahuan juga. Sikap waspada Maureen memang patut diacungi jempol, ia selalu menyadari hal-hal kecil yang terjadi disekitarnya. “Mau ngapain?” tanya Maureen, menghampiri Anjas lebih dekat lagi. “Mau minta maaf karena ucapan gadis tengil itu? Ah,, siapa namanya, aku lupa?” “Anjani.” jawab Anjas. “Oh iya, Anjani.” Maureen menganggukkan kepalanya, padahal sudah mengingat namanya sebagai salah satu anak menyebalkan yang harus dihindarinya. “Aku nggak sakit hati dengan ucapannya, lagipula apa yang dikatakannya memang benar. Nggak perlu minta maaf, nggak usah repot-repot datang nyariin aku juga.” Maureen melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, dan waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Ia hanya punya waktu dua jam lagi untuk tidur, sebelum kembali berangkat ke kantor Adiguna untuk bekerja. “Sudah jam segini, nggak baik anak bujang berkeliaran, takut diculik wewegombel.” Maureen terkekeh. “Wewegombel nya kan kamu,” balas Anjas. “Mana ada wewegombel cantik kayak aku.” Maureen mengusap wajahnya dengan kedua tangan, dan hal tersebut semakin membuat Anjas semakin melihat jelas lebam di wajahnya. “Rumah kamu dimana? Aku antar.” “Nggak usah, rumah aku masih jauh.” tolaknya. “Justru karena jauh, aku antar.” “Nggak usah deh.” tolaknya lagi. “Aku nggak akan ada yang nyulik, manusia kere kayak aku nggak ada yang minat, apalagi aku ini wewegombel.” Maureen tersenyum jahil, namun Anjas justru menatapnya dengan tatapan serius. “Ayo, aku antar pulang.” kali ini lelaki itu tidak hanya menawarkan diri, tapi memaksa. “Nggak usah, serius deh! Aku udah biasa berkeliaran jam segini, kalau suatu hari ketemu aku jam berapapun di jalan, nggak usah kaget. Aku memang sering berkeliaran nggak jelas tengah malam.” Maureen menatap kearah Anjas, dimana lelaki itu ingin kembali memaksa. “Pulang sana! Aku nggak mau diantar, beneran deh!” Sejujurnya Anjas ingin memaksa, tidak peduli seberapa keras wanita itu menolak ajakannya, tapi karena sejak dulu, Maureen memang tidak pernah mau seseorang mengetahui tempat tinggalnya, Anjas pun tidak bisa lagi memaksa walaupun sebenarnya sangat ingin. “Ya sudah,” Akhirnya Anjas mengalah.. “Aku duluan ya, Pak.” ucap Maureen, sambil menganggukkan kepalanya lalu pergi meninggalkan Anjas yang masih terpaku menatap kepergiannya. Bahkan ia tidak sempat menanyakan apa penyebab luka di wajahnya. Seperti sebuah penyesalan yang membuat Anjas merasa telah melewatkan kesempatan untuk mencari tahu. Dilihat dari sudut pandangannya, Maureen memang menjalani hidup yang begitu keras, tapi ia masih merasakan sisi positif yang ada dalam dirinya, walaupun pernah bertemu di tempat hiburan dan saat ini pun Anjas kembali bertemu di jalan raya, di waktu yang tidak seharusnya dipergunakan seorang wanita untuk berkeliaran sendirian. Sesampainya di rumah, suasana sepi dengan sesekali terdengar dengkuran nyaring dari arah sofa. Disana ia melihat Rizal tengah tertidur pulas dengan posisi terlentang. Bau minuman keras tercium jelas, entah berapa botol minuman diteguknya hingga berkahi mabuk seperti itu. Jika hanya satu botol, rasanya sangat mustahil. Manusia yang sudah menjadikan minuman tersebut seperti kebutuhan, tidak akan merasa cukup hanya dengan satu botol atau dua botol saja. Maureen berdecak kesal, pantas saja lelaki itu selalu butuh uang untuk memenuhi kecanduannya terhadap minuman keras. Siang dijadikan malam, dan malam dijadikan siang. Di waktu seperti ini Rizal tidak akan mungkin bangun, waktu yang dapat digunakan Maureen sebagai waktu tenang dimana ia bisa beristirahat. Memang hanya tersisa dua jam saja, tapi sudah sangat cukup untuk kembali mengisi tenaga sebelum kembali beraktifitas di kantor Adiguna. “Lo keliatan kayak mayat hidup, Ren.” Alifa menatap, sambil memperhatikan wajah Maureen dengan seksama. Kedua mata Maureen terlihat memerah akibat kurang tidur, beberapa kali Maureen sempat membasuh wajah untuk menghilangkan rasa kantuk yang begitu sulit di tahan. “Ngantuk banget,” ucapnya, sambil kembali menguap. “Lo nggak tidur?” Maureen menggelengkan kepalanya. “Dua jam doang,” Ia menyandarkan kepala di atas meja, masih dengan memegangi kain lap dan cairan khusus pembersih. “Wajah babak belur, mata merah, Lo mirip banget zombie yang ada di film-film.” Maureen hanya mengangguk pelan. “Mau tidur bentar aja, jangan bilang Pak Budi ya?” “Jangan lama-lama, ingat kita masih punya banyak kerjaan. Tangga darurat belum dibersihkan.” Maureen hanya menggumam pelan dengan kedua mata tertutup. Ia butuh beberapa menit untuk menghilangkan kantuk, tapi mengingat banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan, dan ia tidak digaji untuk tidur, Maureen pun harus tetap melakukan tanggung jawabnya. Kurang tidur dan begadang sudah menjadi bagian dari hidupnya, tapi untuk hari ini ia merasa sedikit lebih lelah dari sebelumnya. Entah karena efek berkelahi dengan dua orang dalam satu malam, atau mungkin tubuhnya sudah menunjukkan sinyal tidak baik. *** Saat menginjakkan kakinya di kantin Adiguna, matanya terus mencari sesuatu. Mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru tempat yang dilewati, namun sayang hasil pencariannya nihil. “Tumben siang,” seorang wanita menyambut kedatangannya dengan senyum manis. “Iya, kesiangan.” balasnya, yang mengakui bahwa hari ini ia sedikit terlambat datang ke kantor akibat hal konyol yang baru pertama kali terjadi dalam hidupnya, yakni bangun kesiangan. “Nggak biasanya bangun kesiangan, kenapa? Nggak enak badan?”. Bukan hanya Siska, ia pun merasa aneh sendiri, tidak biasanya anjas bangun kesiangan. “Pasti tidur malam, kan?” tebak Siska. “Iya. Sedikit lebih malam.” “Mau kopi?” “Boleh.” “Tunggu, aku minta seseorang untuk membelinya.” Siska dan Anjas segera menuju ruang dimana mereka bekerja, untuk saat ini Anjas memang akan lebih sering ada di kantor Adiguna, setelah kerjasama terjalin di antara kedua perusahaan. Oleh karena itu, untuk waktu yang tidak bisa ditentukan, Anjas akan berada di kantor Adiguna dan kemungkinannya akan bertemu Maureen setiap hari. Namun sayangnya, sampai beberapa waktu berlalu, Anjas tidak kunjung melihat Maureen, padahal ia begitu penasaran dengan keadaan wanita itu. Seorang wanita mengantar kopi yang dipesan Siska, “Bu, ini kopinya.” “Terimakasih, Alifa.” balas Siska. “Tumben bukan Maureen,” ucap Anjas spontan yang membuat Siska menoleh seketika. “Maureen nggak ada, Pak. Lagi beresin tangga darurat.” balas Alifa. Anjas tidak menjawab, ia hanya mengangguk samar. “Tumben nanya hak nggak penting kayak gitu.” Siska tersenyum jahil. “Biasanya nggak peduli dengan hal-hal sepele kayak gitu.” lanjutnya. Sadar bahwa pertanyaannya tadi bisa mengundang banyak spekulasi negatif, dan mungkin saja menimbulkan kecemburuan Siska, ia pun segera mengambil tindakan yang diyakini bisa menghilang kecurigaan Siska. “Karena yang aku tahu hanya dia, beberapa kali kamu meminta Maureen membelikan kopi, dan juga Anjani,” Anjas menggantungkan ucapannya, menatap lembut ke arah Siska. “Siksa sering mengumpat nya, jadi namanya mudah sekali diingat.” lanjutnya. Siska tersenyum, membalas tatapan Anjas. “Nyaris saja membuat aku cemburu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD