Bab 8.
“Kenapa kamu begitu membenci?!” sentak Anjas, saat melihat Anjani terus merendahkan Maureen dengan mengolok-oloknya.
“Nggak seharusnya kamu bersikap seperti itu, apapun profesinya bukan urusan kamu dan aku nggak suka kamu bersikap tidak sopan seperti itu.” lanjutnya, dengan nada penuh kesal.
Sementara Anjani yang duduk disampingnya hanya mengerjap berapa kalau menatap bingung sekaligus terkejut pada sang kakak..
“Memangnya aku salah?” Anjani balik bertanya,
“Kayaknya nggak ada yang salah dengan ucapanku barusan. Dia memang seorang LC, apakah Abang lupa profesi apa itu?”
Anjas menghela, “Apapun profesinya, kamu nggak berhak menghakimi dia. Jangan bersikap seolah kamu lebih baik dari dia.”
Anjani tertawa samar. “Abang kenapa? Sensitif banget hari ini. Kalian bertengkar?” Anjani menoleh ke arah Siska, yang juga ada di bangku belakang, memperhatikan adik-kakak bertengkar.
“Tidak.” Siska menggelengkan kepalanya, “Kami baik-baik saja.” lanjutnya dengan senyum.
“Tapi sikapmu memang sedikit keterlaluan, kalau tidak salah wanita tadi itu salah satu karyawan di kantor Adiguna, bagian kebersihan, Maureen namanya.”
“Kakak kenal?” Anjani menoleh ke arah Siska.
“Tentu, dia salah satu karyawan kami dan hubungan kami cukup baik, dia salah satu OB yang paling disukai, selain karena cantik, juga rajin.”
“Oh,, begitu.” Anjani menganggukkan kepalanya.
“Hati-hati, dia itu LC, yang artinya wanita nggak baik. Jaga Abang dengan baik, bisa aja dia menggoda Abang dan mengincar hartanya.”
Anjas langsung menoleh tidak suka ke arah Anjani, namun adiknya itu hanya tersenyum jahil dan menunjuk ekspresi menyebalkan.
“Kak Siska nggak ada niatan ingin memecatnya?”
“Tidak. Anjas lelaki baik-baik, nggak mungkin tergoda dengan wanita seperti itu. Lagipula, apapun yang dilakukan Maureen di luar jam kerja itu bukan urusan ku, yang penting dia bekerja di perusahaan kami dengan baik dan penuh tanggung jawab.”
“Tetap harus hati-hati, Kak. Wanita seperti itu sangat berbahaya!” Anjani tetap menyarankan Siska bersiap waspada, setelah meyakini bahwa kecantikan Maureen bisa saja menggoda Anjas.
“Sepertinya kamu punya dendam pribadi padanya, ada apa? Nggak biasanya kamu seperti itu?” Selidik Siska, yang belum mengetahui penyebab kebencian yang dirasakan Anjani terhadap Maureen.
“Dia menggoda Niko, nyosor gitu di tempat umum. Gatel banget dia!” Anjani bergidik ngeri,
“Untungnya aku cepat datang dan bisa mencegah hal yang tidak-tidak terjadi.”
“Oh,, gitu. Pantesan aja kamu kelihatan kesal sama dia, ternyata ada api yang nyaris membakar princess ya..”
Ditengah obrolan kedua wanita itu, Anjas justru sibuk dengan pikirannya sendiri. Pertemuannya dengan Maureen kerap membuat suasana hatinya semakin tidak karuan.
Anjas tidak tahu bagaimana cara menjelaskan bagaimana suasana hatinya saat ini, di satu sisi ia merasa kecewa yang begitu besar, tapi di satu sisi lainnya ia pun merasa begitu kesal, tapi dua perasaan itu sulit diungkapkan dan sangat mengganggu. Bahkan setelah pertemuannya dengan Maureen beberapa waktu lalu, ia terus dilanda berbagai macam perasaan yang sulit dijelaskan.
“Nggak mampir dulu?” tanya Siska, saat mobil Anjas sampai di depan pintu gerbang rumahnya.
“Tidak, sudah sangat malam untuk mampir, lain kali saja.” tolak Anjas, saat ia keluar dari dalam mobil, mengantar Siska sampai ke depan pintu gerbang rumahnya.
“Baiklah.”
“Salam untuk ayah dan ibu,”
“Untuk anaknya nggak ada salamnya nih!” goda Siska.
Anjas tersenyum dan mendekat, lantas mencium singkat kening wanita itu.
“Masuklah, sudah malam.”
“Oke. Hati-hati ya, jangan lupa kabarin aku kalau sudah sampai rumah.”
“Iya.”
Siska pun masuk kedalam rumah, sementara Anjas masih berdiri di depan pintu gerbang untuk memastikan Siska masuk ke dalam rumahnya.
Lambaian tangan mengiringi saat pintu tertutup, sampai akhirnya sosok wanita itu hilang di balik pintu besi berwarna hitam
“Udah oy!!! Kayak nggak pernah ketemu aja, padahal setiap hari ketemu.” teriak Anjani dari dalam mobil.
“Buset dah… jadi nyamuk nih!” sindir Anjani.
Anjas hanya tersenyum samar, tidak meladeni ledekan adiknya.
“Aku antar sampai depan rumah, masuk dan langsung tidur.” ucapnya, saat kembali mengemudi.
“Abang mau kemana?” tanya Anjani, pasalnya waktu sudah tidak memungkinkan untuk berkeliaran tanpa ada tujuan yang jelas.
“Bukannya besok meeting? Nggak takut kesiangan, masih berkeliaran aja?!”
“Ada urusan sebentar,”
“Apa?”
“Anak kecil nggak boleh tau.” balas Anjas, lantas ia memilih untuk diam, tidak meladeni pertanyaan Anjani yang sangat ingin tahu kemana dan apa tujuannya.
Anjas benar-benar hanya mengantar Anjani sampai di depan pintu gerbang rumah saja, setelahnya ia langsung pergi menuju suatu tempat untuk memastikan sesuatu.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi, kemungkinannya sangat kecil untuk menemukan sosok wanita itu, tapi Anjas tetap ingin melihatnya.
Begitu penasaran dan ingin memastikan apakah wanita itu masih ada di sana atau sudah pergi.
Menuju ke pom bensin tempat ia bertemu dengannya tadi, Anjas mencari ke sekeliling, berharap Maureen masih ada di sana, atau setidaknya di sekitar pom bensin.
Memang sangat mustahil, mengingat jarak waktu yang terlewat sudah lebih dari satu jam, bisa dipastikan wanita itu sudah ada di kediamannya. Tapi rasa penasaran itu sangat mengganggu, hingga membuat Anjas terus menyusuri jalan di sekitar pom, beberapa Maureen masih ada disana.
Mobil sengaja dijalankan secara perlahan agar ia bisa memastikan, hingga saat ia melewati perempatan jalan, telat di dekat sebuah warung pinggir jalan, ia melihat sosok yang tidak begitu asing.
Sosok itu tengah menikmati semangkuk mie rebus, ditemani oleh seorang ibu-ibu yang diyakini sebagai penjual warung.
Maureen terlihat begitu menikmati makanannya, sesekali ia tersenyum sambil menoleh ke arah si Ibu.
Seharusnya di jam dua dini hari seorang wanita sudah ada di dalam kamarnya, tengah berada di alam mimpi, tapi yang dilakukan Maureen justru sebaliknya. Ia masih ada di jalanan, duduk santai sambil menikmati mie instan dan teh hangat. Tidak terlihat tanda-tanda ingin pulang secepatnya, bahkan setelah menghabiskan makanannya, ia masih saja tetap santai dan duduk menikmati udara dini hari.
Yang lebih membuat Anjas terkejut, yakni saat wanita itu mengeluarkan sebatang rokok dan menghisapnya dengan santai
Gesture tubuhnya tidak menunjukkan bahwa ia adalah pemula, tapi seperti seseorang yang sudah terbiasa menikmati sebatang rokok. Santai dan menikmati.
Tiba-tiba saja Anjas melihat sesuatu dalam diri Maureen yang tersembunyi, ia menatapnya tanpa mengalihkan sedikitpun pandang.
Seberat apakah kehidupannya selama ini?
Hingga ia terlihat begitu frustasi.
Maureen tidak mengatakan apapun, tapi dari tatapan wanita itu dan cara menikmati sebatang rokok, sudah bisa dipastikan bahwa ia banyak mengalami hal berat.
Anjas tidak mengetahui kehidupan pribadi Maureen, tapi satu hal yang ia tahu bahwa wanita itu memiliki perangai yang sedikit buruk. Dulu wanita mudah marah dan tidak terkendali, tapi hari ini Anjas melihat sesuatu yang lain darinya.
Alih-alih turun dan menemuinya secara langsung, Anjas lebih memikirkan tetap di dalam mobil dan memperhatikan Maureen dari kejauhan.
Tepat pukul setengah tiga pagi, barulah ia melihat Maureen mengendarai motornya, menuju sebuah gang.
Anjas pun mengikutinya diam-diam, sampai di sebuah persimpangan ia tidak lagi melihat sosok Maureen. Anjas kehilangan jejak wanita itu.
Merasa gagal karena tidak berhasil mengetahui tempat tinggal Maureen, anjas pun turun dari dalam mobil.
“Kemana perginya? Cepat sekali.” gumamnya pelan.
“Kamu ngikutin aku?!” tiba-tiba terdengar suara Maureen dari arah belakang, yang membuat Anjas langsung menoleh seketika, dimana Maureen tengah tersenyum jahil menatap ke arahnya.
Ya ampun! Darimana datangnya wanita itu?!